part 128

165 19 4
                                    

Kini Febby melepaskan tangan Verrel dan beranjak bangkit. Entah kenapa setiap nama itu disebut, ia kembali teringat kala mereka berpelukan. Apapun alasannya, baginya itu tetaplah sangat menyakitkan. Saat Verrel ingin merengkuh tubuh istrinya, si kembar menangis secara bersamaan.
"Iya sayang...bobonya keganggu ya..." Febby menenangkan mereka. "Maafin bunda ya"
"Mungkin mereka laper bunda" Celetuk Verrel.
"Ya udah bikinin susu"
"Bikin susu..." Verrel kebingungan sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Ayo cepetan nanti keburu tambah nangis"
"Iya iya" Verrel berlari ke dapur membuat tiga botol susu.
Habis itu kembali ke kamar memberikan susu itu ke mereka masing-masing, karena mereka sudah bisa memegang botol susunya sendiri.
"Kok si kembar di kasih susu kotak? kan bunda ada di rumah, kecuali kalau bunda lagi kuliah atau nggak di rumah"
Wajah Febby berubah cemas. Antara bingung dan gugup ia ingin menjelaskannya.
"Mmm..."
"Kenapa?"
"Aku, aku nggak tau, soalnya udah nggak mau keluar lagi" Sembari menutupi dadanya, Febby beralih menuju kursi didepan cermin.
Verrel menatap ada kesedihan dan juga kecemasan di matanya melalui cermin itu. Sejenak kemudian mata mereka bertemu disana.
"Apa kalau nggak bisa ngasih Asi lagi itu dosa ya?"
"Mmm setau aku yang dosa itu, kalau nggak pernah ngasih Asi dari sejak lahir"
"Alhamdulillah..."
Verrel ingin mendekatinya, tapi takut kalau Febby makin menghindar, jadi ia memainkan si kembar dengan candaan candaannya. Febby menatapnya dari kaca.
           Disisi lain, untuk menghindari pencarian polisi, Wahyu terpaksa harus berpindah-pindah tempat. Kini ia menghuni kontrakan baru yang sangat kecil. Didalamnya ia gelisah memikirkan ide. Sampai-sampai ia melepaskan kartu teleponnya, agar tidak ada yang bisa menghubunginya ataupun melacak keberadaannya. Sambil menyeringai sinis, ia merusak kartu itu dan membuangnya ke sembarangan.
"Aku harus pakai kartu baru untuk berkomunikasi dengan Bargo"
Setelah mengintai keadaan luar dari kaca, barulah ia keluar mencari counter terdekat, membeli kartu perdana.

Mawar sengaja masuk ke sebuah cafe untuk menenangkan pikirannya. Ia masih penasaran dengan pembicaraan papanya dengan si bibik kemarin. Karena si bibik sepertinya menyimpan sesuatu. Tapi ia tak bisa mendesaknya, meskipun berbagai macam rayuan dilakukan. Cafe itu dipadati oleh pengunjung, sehingga hanya menyisakan meja yang di tempatinya.
"Apa aku boleh duduk disini?"
Suara Alan yang berdiri disampingnya membuat hati Mawar tercekat.
"Oh iya silahkan"
Selang berapa menit, minuman yang dipesan Mawar datang bersama secangkir coffee latte kepunyaan Alan.
Rupanya dari tatapan mata Alan, obrolan mereka terus berlanjut.
"Oia, ngomong-ngomong aku lupa memperkenalkan diri, namaku Alan"
Dengan senang hati Mawar menyambut tangan Alan yang terulur. Namun di waktu yang sama, Naya masuk ke cafe itu dan tak sengaja melihat keakraban mereka yang saling melempar canda.
"Jadi ini tujuan Mawar datang kesini, katanya mau menenangkan pikiran, tapi malah asyik dengan laki-laki lain" Naya lalu memutar tubuhnya meninggalkan cafe tersebut.
          Sementara dijalan sempit, Nasya meminta Wira membawanya pergi.
"Memangnya lo mau dianter kemana?" Tanya Wira.
"Kemana aja terserah lo, tapi lo jangan kasih tau Verrel"
"Jangan kasih tau Verrel, memangnya kenapa?"
"Udah pokoknya lo turutin aja apa kata gue"
"Ya nggak bisa gitu dong, lo kasih tau dulu apa alasannya?"
"Ya udah gue pergi sendiri aja kalau gitu"
Nasya merajuk pergi, tapi Wira mengiringinya menggunakan motor.
"Ayo gue anter"
"Janji dulu lo jangan kasih tau Verrel"
"Iya gue janji"
Setelah cukup lama berkeliling menyusuri jalanan, Wira baru ingat kalau sore ini mau latihan basket. Wira di buat penasaran, kenapa sepertinya Nasya takut bertemu dengan Verrel. Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan.
"Oke, nanti kan ada Verrel juga, mendingan gue bawa aja Nasya kesana, penasaran gue, ada apa ya kira-kira?" Pikir Wira.

Dipinggir lapangan basket sudah ada Verrel, Zian, Reno dan Astra. Sesekali Verrel mendrible bola dan melemparkannya ke mereka bertiga sambil menunggu kedatangan Wira dan Aldo. Saat  menangkap bola, Verrel dikejutkan dengan kedatangan Wira yang membonceng Nasya. Sontak Nasya kaget setelah Verrel datang menghampiri. Nasya sempat menginjak kaki Wira dengan kuat, karena merasa dibohongi.
"Auu..." Wira menahan jeritannya. "Lo kenapa nginjek kaki gue sih?"
"Diem lo" Ancam Nasya ingin meninju perutnya, namun Wira kemudian berlindung di belakang Verrel.
"Lo ikut gue sekarang" Tarik Verrel, tapi Nasya menepisnya. "Tolong lo jelasin sama Febby supaya Febby nggak salah paham sama gue"
"Apa yang harus gue jelasin? Febbynya aja yang nggak percaya sama lo"
"Gimana dia mau percaya, kalau lo meluk-meluk gue"
Wira semakin bingung dengan percekcokan tersebut.
"Tapi kita harus latihan dulu rel" Wira menimpali.
"Tapi rumah tangga gue lebih penting dari apapun wir"
"Oke oke gue ngerti" Wira lalu menghampiri yang lain untuk memberi pengertian agar latihannya ditunda.
Zian sempat marah karena penundaan tersebut. Apalagi mereka sudah sengaja datang untuk latihan.
"Sorry yan, gue harus nyelesein masalah gue dulu, kalau masalah nggak kelar kelar gimana gue mau konsen latihan" Jelas Verrel.
"Iya bener juga, apalagi senin itu finalnya, kalau diantara kita ada yang nggak konsen gimana bisa menang" Bela Wira.
"Ya udah kita latihan sendiri aja dulu" Tambah Reno.
"Lo harus ikut gue wir, biar lo bisa bonceng Nasya" Pinta Verrel.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang