part 38

236 15 0
                                    

Kembali lagi kepada Febby dan Verrel yang masih tampak malu-malu di beranda rumahnya.
"Yuk..." ajak Verrel membukakan pintu mobil mewah yang ia pakai untuk kali ini.
Setelah Febby masuk, Febby ingin sekali bertanya tentang mobil yang kini mereka gunakan, tapi Febby malu. Namun saat menatap keseriusan Verrel menyetir, Febby jadi berpikir, kenapa Verrel belum mengatakan Aku cinta kamu secara langsung. Padahal sebentar lagi akan menikah.
"Apa Vibi serius mau nikahin aku?" Batinnya terus bergejolak, ia seakan meragukan perasaan Verrel.
"Mmm memangnya kita mau kemana sih? Mau ngajak Febby makan di tempat yang romantis ya?"
Pertanyaan Febby memecah kesunyian.
"Bukan" dengan polosnya Verrel menjawab.

Mawar ke makam Bella untuk memastikan kebenarannya. Tapi nama di batu nisan tersebut memang benar nama Bella. Ia lalu memanggil penjaga makam yang sedang membersihkan area pemakaman itu.
"Iya neng" si penjaga itu mendekat.
"Bapak penjaga makam disini?"
"Iya betul neng"
"Bapak tau nggak ini makamnya siapa?" Mawar menunjuk makam Bella.
"Ini Bella anaknya pak Wahyu dan Ibu Vani"
"Bapak mau uang nggak?"
"Ya mau neng kalau dikasih mah"
"Saya minta Bapak bongkar pemakaman ini secara diam-diam"
"Waduh neng, saya mah nggak sanggup, itu harus ada persetujuan dari pihak keluarga"
"Saya ini kakaknya, jadi saya juga keluarganya"
"Tapi setau saya, anaknya pak Wahyu itu cuma dua, yang pertama Bella, yang kedua laki-laki"
"Kebetulan saya ini di kuliah kan di luar negeri, makanya orang-orang nggak banyak yang tau kalau pak Wahyu itu sebenarnya punya tiga anak"
"Ooo gitu"
"Mama saya juga tidak yakin kalau ini mayatnya Bella, karena saya pernah melihat ada orang yang mirip sekali dengan Bella pak"
"Terus apa yang bisa saya bantu?"
"Nanti malam Bapak harus bantu saya ngebongkar makam ini, dan saya akan bayar Bapak 50 juta, gimana?"
"Iya saya mau neng"
"Oke, nanti malam kita ketemu disini"
"Baik neng"

Tampak Verrel dan Febby sedang duduk di tepi danau. Saling bergandengan tangan dan terdiam.
"Sebenarnya Vibi beneran mencintai aku atau nggak sih?"
"Memangnya kenapa? Apa Febby ragu sama ketulusan aku?"
"Ya karena, aku nggak pernah dengar langsung dari bibir kamu sendiri,  bukan pada saat aku bertanya aja"
"Ahhh..., Menurutku nggak harus sampai begitu"
"Lho kenapa nggak?"
"Hmmm... karena apa yah...?" Verrel tampak memikirkan sesuatu.
"Aku kan cuma ingin kamu mengatakan kalau kamu mencintai aku, Itu saja, kenapa sepertinya sulit sih?"
"Tapi aku nggak bisa"
Febby pun mulai menangis sesenggukan. Pikirannya kalut dan ia mulai yakin bahwa Verrel tidak serius kepadanya. Ia hanya bermain-main, dan ia tak pernah mencintainya.
"Kalau begitu apa tujuan kamu ingin menikahiku kalau kamu nggak mencintai aku?" Febby kembali mendesaknya dengan pertanyaan, tapi Verrel masih terdiam dan memandangi air yang mengalir tenang.
Febby membiarkan air mata membasahi pipinya.
"Kenapa kamu tega banget sih sama aku?" Lanjut Febby.
"Jadi kamu benar-benar ingin tau?"
"Ya iya lah aku pengen tau" bentaknya.
Verrel pun meraih bahu Febby dan memeluk tubuhnya itu dengan erat. Dengan perlahan dan berbisik di telinganya, "karena tiga kata itu tidak cukup mengungkapkan perasaanku untuk Febby..., cinta tak cukup hanya tiga kata, percayalah..."
Febby memahami kata-kata yang dilontarkan Verrel. Ia baru sadar, bahwa cinta tidak hanya kata aku cinta kamu saja, tapi juga bisa digambarkan dengan sikap dan perbuatan. Selain karena grogi, itulah alasan kenapa Verrel tidak mudah mengatakan cinta padanya. Perlahan-lahan Febby mengeluarkan kotak cincinnya.
"Sini aku pakein" Verrel meraihnya dan memakaikan cincin itu ke tangannya.

Saat membuka pintu, Vani tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan dua orang polisi. Salah satu dari mereka memberikan surat pengadilan untuk Wahyu yang akan di sidangkan besok siang. Dan itu bertepatan dengan hari pernikahan Verrel dan Febby.
"Makasih ya pak" ucap Vani.
"Sama-sama Bu, kami permisi"
Mereka pergi meninggalkan Vani yang masih terdiam membaca surat tersebut.
"Kenapa harus bertepatan dengan hari pernikahan Verrel?" Ia benar-benar bingung. "Tidak mungkin aku tidak mendampingi hari sakralnya Verrel, tapi mas Wahyu juga suamiku, aku tidak mungkin memilih salah satu diantara mereka, ya Allah...ini pilihan yang sangat sulit...!" Keluhnya sambil menutup pintu.
"Mau saya bikinin minum Bu" celetuk si bibik ketika mendapati Vani melamun sambil berjalan menuju kamar.
"Nggak bik makasih, saya mau istirahat"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang