part 51

233 21 3
                                    

Sementara didalam lift, Rifki menghubungi anak perempuannya yang masih berusia 15 tahun. Namanya Anice.
"Iya pa" jawab Anice sambil mengawasi Vani di kamar tamu.
"Gimana keadaannya?"
"Sepertinya sudah membaik pa"
"Ya udah kamu jagain terus ya, jangan sampai dia keluar"
"Memangnya kenapa pa?"
"Takutnya dia berbuat yang tidak-tidak, karena kondisinya lagi banyak masalah"
"Oh iya pa"
"Ya udah papa sebentar lagi juga pulang"
Setelah menutup teleponnya, Rifki mengamati petugas-petugas yang masih sibuk bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Polisi mengintai Roy didepan halte. Sepertinya Roy sedang merencanakan ingin kabur, karena ditangannya sudah ada sebuah koper yang menemani. Polisi itu lalu menyetop taksi milik Nasya. Dari kejauhan, polisi itu seperti menjelaskan sesuatu. Langsung saja Nasya mengangguk dan membiarkannya memakai taksinya, sementara ia menghubungi seseorang. Didalam taksi, polisi itu memakai jaket tebal dan menyimpan topi kebanggaannya didalam laci agar penyamarannya tidak diketahui. Ia sengaja berhenti di depan Roy. Tanpa curiga sama sekali, Roy pun naik.
"Ke terminal ya pak" ucap Roy.
"Baik mas"
Tapi ia dibawa menuju kantor polisi bukan ke terminal.
"Lho, saya kan bilangnya ke terminal bukan kantor polisi, budek apa gimana sih pak?" Maki Roy.
"Ini tempat yang lebih tepat untuk anda" tegasnya.
Mencurigai kalau itu polisi, Roy berusaha lari, tapi ia mengancamnya ingin melepaskan tembakan.
"Ampun" terpaksa Roy berhenti sambil mengangkat tangan.
Begitu tau kalau pistol itu dimasukkan ke dalam sarungnya, Roy melarikan diri. Tak ingin kehilangan jejak, Polisi itu melewati jalan pintas.
"Mau kabur kemana?" Tegas si polisi menghadangnya didepan gang.
Sepertinya Roy tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan diri, tapi lagi-lagi ia masih mencari celah dengan cara melemparnya pakai batu. Untung polisi itu bisa menghindar dan melepaskan tembakan di bagian kaki.
"AAAGH..." Roy kesakitan.
Akhirnya ia di borgol.

Di Rumah Sakit, Febby terus menatap Verrel yang terbaring melamun di ranjang pasien. Dari wangi parfumnya, Verrel bisa mengetahui kalau Febby sedang mendekatinya. Ciri khas itu sangat melekat di ingatannya. Ingin rasanya ia menjerit sekuat-kuatnya, tapi ia tak ingin Febby sampai tau betapa besarnya rasa sakit ini. Bayangannya tak bisa lagi membangunkan Febby dengan iseng seperti yang ia lakukan mulai hadir. Tak bisa menemaninya ke kampus. Takut ia tak lagi tampan dan hebat di mata sang istri. Begitu takutnya ia kehilangan Febby.
"Vibi mau makan apa? Aku beliin ya..." Sambil menghapus sisa air mata, Febby menawarkan diri.
"Nggak aku nggak laper"
"Vibi kenapa? Apa Vibi marah sama aku?"
"Aku nggak marah"
Meskipun Verrel tidak mengatakan yang sejujurnya, tapi Febby bisa merasakan kalau Verrel sedang menutupi sesuatu.
"Apa ada suatu hal yang mau Vibi ucapin?" Pancing Febby.
"Mmm nggak ada, aku cuma mau istirahat"
Febby cuma membalasnya dengan anggukan. Waktu begitu cepat berganti menjadi pukul 11 malam. Febby membaringkan kepalanya didekat tangan Verrel. Sesekali ia mengangkat kepalanya menoleh kearah Verrel yang seolah-olah tertidur pulas.
"Maafin aku, kalau aku tidak jujur sama Febby..." Verrel membatin sambil mengelus rambutnya.
Febby yang merasakan belaian itu sengaja berpura-pura tidur. Baginya itu lebih dari cukup untuk membuktikan kalau Verrel tidak sedang marah. Ia hanya bisa tersenyum manis sambil membuka mata.

Andin duduk menyendiri didalam kamar. Baru kali ia tiba-tiba gelisah tidak bisa tidur. Lantas ia kembali mengingat kejadian sebelum berada di kamar Bima beberapa hari yang lalu. Bingung bercampur kesal kenapa bisa berada di sana dalam keadaan cuma memakai tank top. Entah kenapa perutnya tiba-tiba terasa mual.
"Kenapa perut gue nggak enak banget sih? Aduh...!"
Ia masuk ke kamar mandi memuntahkannya. Baru saja berdiri ingin kembali tidur, lagi-lagi mau muntah. Sehingga ia tidak berhenti bulak balik kamar mandi.
"Tok tok tok Andin..." Lisa memanggil sambil mengetuk pintu. "Kamu kenapa sayang?"
Suaranya sampai terdengar oleh Lisa. Namun ternyata pintunya tidak terkunci. Lisa masuk dan mendapati Andin tengah muntah-muntah.
"Kamu kenapa jadi muntah-muntah begini? Masuk angin?"
"Nggak tau ma, kepala Andin juga pusing"
Lisa memapah Andin berbaring di ranjang.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang