part 56

219 18 0
                                    

"Terserah kalian mau bilang apa, yang jelas aku tidak akan menyesal" balas Wahyu dengan sombong.
"Kita lihat saja nanti mas"
"Oia, rumah itu sudah aku jual, jadi kamu tinggalkan rumah itu secepatnya"
"Baik, hari ini juga aku akan pergi"
"Ya bagus kalau begitu"
Wahyu kemudian berlalu meninggalkan mereka.
"Astaghfirullahaladzim..." Vani menarik nafas dalam-dalam.
"Sudahlah ma, orang seperti itu tidak pantas ditangisi"

Sementara dikediaman pak RT, Verrel membopong Febby ke kamar.
"Perutnya masih sakit?" Tanya Verrel.
"Masih, tapi nggak sakit banget kok"
Bu RT datang mengantarkan ramuan tradisional.
"Sekarang di minum ya, biar kandungan kamu kuat"
Verrel membantu Febby untuk meminumnya. Rasanya memang sedikit pahit, tapi Febby mampu menelannya sampai habis. Setelah itu barulah mereka menikmati makan siang bersama, merasakan hasil masakan Verrel dan Febby tadi. terdengar suara kegaduhan diluar. Ternyata dada sekelompok penagih hutang yang sengaja datang.
"AYO BAYAR SEKARANG..." Tagih Juki yang berambut gondrong pada pak RT yang baru keluar bersama Bu RT.
"Tapi saya belum punya uang" sahut pak RT dihantui perasaan takut.
"KALAU TIAP DITAGIH JAWABANNYA SELALU BELUM PUNYA UANG, KAPAN SELESAINYA...?"
"Tolong kasih kami waktu satu bulan" Bu RT sangat memohon.
Verrel ingin keluar, tapi ia ragu harus meninggalkan Febby. Disaat yang sama, tiga diantara mereka masuk mencari barang-barang berharga. Dua masuk ke kamar, yang satu lagi ke dapur.
"Siapa kalian?" Tanya Verrel masih bersikap tenang.
"Wah ada yang paling berharga nih" dia melirik Febby yang tampak panik.
Mendengar hal tersebut kedua orang yang menggeledah kamar lain langsung menghampiri.
"Gimana kalau tukar sama dia aja?" Mereka tampak berbisik-bisik sambil menatap Febby.
Langsung saja salah satunya ingin membawa Febby, tapi Verrel memukul meja yang ada di hadapan Febby dengan keras. Lalu, memukul tangan yang sedikit lagi membawanya. Tak terima, dua temannya cepat ikut menyerang. Bu RT membawa Febby ke kamar, tapi ketua preman malah mendekatinya.

Bima melihat Andin ingin muntah-muntah dipinggir jalan. Lantas Bima menghentikan motornya dibelakang mobil Andin.
"Lo kenapa Din?" Tanya Bima.
"Udah deh mendingan lo pergi" ketusnya.
"Gimana gue mau pergi kalau keadaan lo kayak gini"
"Gue nggak kenapa-kenapa kok, paling masuk angin, ntar juga sembuh sendiri"
"Apa jangan-jangan lo hamil ya?"
Pertanyaan itu sontak membuat mata Andin terbelalak. Ia menelan ludah ketika mengingat dirinya pernah tidur di kamar Bima.
"Nggak nggak mungkin" Andin pergi sambil menggeleng-geleng.
"Nggak mungkin apanya sih?" Bima mengiringinya.
"STOP..." bentak Andin setelah menoleh. "JANGAN IKUTIN GUE NGERTI..."
"Oke" sambil mengangkat tangan, Bima mundur menjauhinya. "Kalau sampai Andin beneran hamil, berarti itu anak gue dong!" Pikirnya. " Duh gawat nih"
Ia benar-benar pusing dibuatnya.

Sementara Rifki mengamati keadaan rumah Wahyu dari halaman disaat Vani, Bella dan Ammar sampai.
"Bukannya ini rumahnya Vani ya, tapi kenapa dijual?" Rifki membatin.
"Maaf Bapak siapa ya?" Tanya Ammar, tapi Rifki dan Vani sama-sama terkejut.
"Kamu, kamu ngapain disini?" Tanya Vani menunjuk Rifki.
"Mmm iya, saya juga tidak menyangka kalau rumah yang dimaksud rekan saya itu ternyata rumah kamu" jawabnya.
"Bukan, ini rumah mas Wahyu bukan rumah saya"
"Jadi Wahyu yang menjual rumah ini?"
"Mama kok..." Bella tak ingin melanjutkan perkataannya.
"Iya ini namanya pak Rifki, yang waktu menolong mama" Vani lalu memperkenalkan Rifki.

Kembali lagi pada kediaman pak RT yang dapur dan ruang tamunya tampak acak-acakan, setelah Verrel berkelahi melawan sekelompok penagih hutang. Walaupun harus bersusah payah terlebih dahulu, tapi Verrel tidak membiarkan mereka membawa Febby sebagai ancaman. Verrel terus menghajar mereka meskipun sudah tak berdaya melarikan diri.
"TUNGGU..." tahan Verrel. "BERAPA HUTANG PAK RT YANG HARUS DIBAYAR...?" teriaknya.
"5 juta" jawab ketua preman itu sambil merintih.
"Jangan nak jangan" Bu RT menahan Verrel mengeluarkan uang.
"Nggak apa-apa Bu, biar mereka tidak
mengganggu Bapak dan Ibu lagi.
"Tapi nak, ini adalah hutang kami, jadi kamilah yang harus bertanggung jawab"
"Anggap saja ini adalah bayaran kita menginap disini, jadi nggak ada istilah hutang budi bu"
Lalu Verrel memberi uang sebesar 5 juta pada ketua preman itu.
"Ingat, jangan pernah ganggu mereka lagi" ancamnya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang