Didalam cafe, Verrel mengeluarkan gaji karyawannya yang berupa amplop. Dari amplop tersebut sudah ada namanya masing-masing, jadi hanya memanggil mereka secara bergiliran. Yang paling terakhir adalah Aldo. Sejujurnya Aldo agak kecewa meraba amplopnya yang terlihat tipis, sementara amplop milik yang lain agak tebal.
"Kok kayaknya punya gue nggak sama kayak yang lain sih?" Gerutu Aldo melihat Nasya yang lagi menatap amplop gajinya. "Coba buka, gue mau lihat"
"Memangnya gaji lo kenapa? Kecil?"
"Nih" Aldo menunjukkan amplopnya.
"Makanya jadi karyawan itu harus rajin masuk"
"DO..." Panggil Verrel, Aldo menoleh seketika. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo"
Aldo pun mengikuti Verrel ke belakang, agak jauh dari mereka.
"Ada apa?" Tanya Aldo agak dingin.
"Pasti lo kecewa kan sama isi amplop itu?" Namun Aldo hanya terdiam. "Itu sesuai dengan absen lo, kalau lo masuk terus, otomatis jumlah gaji lo juga akan full, gue sebagai atasan ya harus adil terhadap karyawan, kalau jumlahnya gue samain ya mereka nggak bakal terima dong, bener nggak?"
Meskipun hanya helaan nafas yang Verrel terima, tapi setidaknya ia bisa melihat raut wajah Aldo yang mulai mengerti dengan penjelasannya.
"Lo serius kan mau kerja sama gue? Jujur do, gue itu pengen kita bisa seperti dulu"
"Gue serius mau gabung di cafe lo, tapi lo sendiri yang ngebuang gue, bahkan gue nggak dilibatin sama sekali dalam permasalahan cafe"
"Nggak ada yang ngebuang lo do, kita udah nungguin sampai satu jam, tapi lo malah nggak datang-datang, lo juga nggak ngasih tau kita apa alasannya, sedangkan kita harus jalan terus biar urusan selesai"
Aldo kembali berupaya menetralisirkan pikiran jernihnya. Menangkap hal-hal positif atas apa yang terjadi.
"Kalau gue nggak perduli sama lo, mungkin gue akan bersikap bodo amat sama lo, nggak kayak gini" Sambung Verrel lagi.
"Rel gue sama Aldo nyari lokasi sekarang ya" Ucap Wira sembari menghampiri.
"Ya udah, nanti gue nyari di tempat lain"
"Ayo do" Ajak Wira.
Semangat Aldo kini timbul setelah suasana hatinya sempat memanas. Kini tinggallah Verrel sendiri yang masih berada di cafe. Saat ingin mengunci pintu, ponselnya berbunyi.
"Assallamualaikum..." Jawabnya.
"Yah Imam sama Yusuf sekarang udah bisa tepuk tangan lho..." Seru Febby bercerita.
"Serius? Udah bisa tepuk tangan?" Sahut Verrel dengan kehebohan yang sama.
"Tapi kita harus nyanyi sama tepuk tangan dulu baru dia mau, tapi tepuk tangannya masih malu-malu yah, udah gitu nggak ada suaranya lagi, lucu banget yah..." Febby tak bisa menahan tawanya setiap melihat Imam dan Yusuf berbaring memainkan jemari mungilnya.
"Terus Almeera gimana?"
"Almeera kayaknya belum bisa deh yah, mungkin karena cewek kali ya makanya agak lambat"
"Nggak apa-apa lambat juga yang penting sehat"
"Ayah lagi dimana?"
"Ayah lagi mau ngunci cafe"
"Oh ya udah, hati-hati di jalannya"
"Nanti Ayah pulang bunda mau dibeliin apa?"
"Martabak manis, tapi yang rasa coklat, red velvet, taro sama green tea"
"Ya udah ya, assallamualaikum"
"Wallaikumsalam"Ternyata Ammar mengajak Bella menjenguk Wahyu di penjara. Saat melihat mereka dari sudut ruangan, langkah Wahyu terhenti. Wahyu malu harus menunjukkan keadaan dirinya yang seperti tak berharga.
"Papa..." Toleh Bella dari tempat duduk.
Wahyu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sambil menundukkan sedikit kepala ia menghampiri. Bella dan Ammar menyalaminya secara bergantian.
"Kenapa kalian datang kemari?" Datar Wahyu duduk agak berjauhan, karena ia tak mau berhadapan langsung dengan anak sulungnya itu.
"Apa Bella salah menjenguk papa?" Tanya Bella sambil menahan air matanya.
"Memang tidak ada salahnya, tapi papa tidak suka kamu menjenguk papa dalam keadaan seperti ini, apa kamu mengerti?"
"Tapi pa..."
"Sudahlah, papa tidak ingin kalian mengasihani papa, biarkan papa menjalani hukuman ini untuk menebus semua kewalahan papa" Wahyu berdiri ingin kembali ke sel.
"Pa..." Bella kembali memanggil ingin berdiri.
"Dan satu lagi, jangan biarkan Verrel datang lagi kemari" Tanpa menoleh Wahyu memperingatkannya, setelah itu ia benar-benar kembali ke dalam sel.
Ammar menahan lengan Bella yang ingin mengejarnya.
"Jangan di paksakan, karena papa bukan type laki-laki yang bisa dipaksa"
"Tapi saya tidak tega melihat keadaan papa seperti ini mas"
"Iya saya tau, tapi kita bisa berbuat apa"
Ammar mengikuti Bella yang melangkah keluar.
"Ya setidaknya kita harus melakukan sesuatu mas, biar papa bisa bebas"
"Tidak semudah membalikkan telapak tangan Bella, semua butuh proses yang panjang"
"Saya tidak peduli mau sepanjang apa prosesnya, yang penting papa bebas"
"Tapi kalau papa Wahyu cepat bebas, maka papa Rifki tidak akan membiarkannya"
"Sudahlah, saya tidak ingin membahasnya sekarang"
Bella membuka pintu mobil, namun pintunya terkunci. Lantas Ammar cepat membukanya. Ia tau saat ini pikiran Bella sedang tidak baik, jadi ia tak mau membuat kesalahan sedikitpun, apalagi sampai telat membuka pintunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...