part 80

246 19 0
                                    

Keadaan kampus sudah sepi. Matahari juga sudah redup. Tandanya sore akan menyapa, tapi Ammar belum mau menampakkan batang hidungnya. Sedangkan Bella kesana-kemari mencarinya.
"AMMAR...AMMAR..."
Dari dalam toilet Ammar mendengar suara panggilan itu. Pelan-pelan Ammar mengendap-endap mendekati Bella yang terus memanggilnya. Terus ia menutup mata Bella dengan kedua tangan dari belakang.
"Ini Ammar bukan?" Tanya Bella.
"Bukan"
Bella melayangkan pukulan ke perutnya.
"Aduuh..." Tangan Ammar terlepas menahan sakit.
"Ammar" Bella kaget dan sangat merasa bersalah.
"Kok saya dipukul sih?"
"Salah siapa, tadi saya tanya ini Ammar bukan, jawabannya bukan"
"Maksud saya bercanda, Oia ngomong-ngomong, si kuntilanak sudah pergi kan?"
"Haah..., Si kuntilanak? Jangan bercanda deh ini kampus sudah sepi lho" sembari melirik kiri kanan menahan takut.
"Maksud saya si Mawar"
"Biar begitu dia istri kamu lho"
"Pliss jangan sebut nama dia kalau lagi sama saya, oke" Ammar kemudian menggandengnya menuju mobil.

Diatas rerumputan nan hijau, Verrel duduk di samping Febby yang menikmati pemandangan bunga-bunga di sekelilingnya.
"Febby tunggu disini sebentar ya" ucap Verrel.
"Mau kemana?"
"Sebentar doang" Verrel kemudian pergi membawa kelapa muda tadi.
Verrel memesan satu kelapa muda lagi kepada penjual kelapa dipinggir jalan. Sekalian ia juga menyodorkan kelapa muda miliknya itu untuk di buka. Tak jauh darinya, Raka and the gengnya menggoda Livia yang hendak menyeberang. Dari kejauhan Febby ingin tertawa melihat Verrel begitu semangat membawa dua kelapa muda beserta nampannya.
"Ya ampun..., Aku pikir mau ngapain"
"Hehehe..., Febby tau nggak, Air kelapa muda ini bagus banget buat Ibu hamil" sembari mengangkat kelapa itu agar Febby lebih mudah menyedotnya. "Ayo minum"
Febby menyedotnya tanpa ragu sambil menatap Verrel yang terus tersenyum. Setelah itu giliran Febby yang meminta Verrel menyedotnya.
"TOLOONG..." Livia berusaha berteriak saat Raka terus memaksanya untuk ikut.
"Ini akibat ulah temen lo sendiri, jadi rasakan akibatnya" ucap Raka.
Untung si Wira melintas dan berhenti.
"Tolong lepasin dia"
Sayangnya mereka tak mengindahkan ucapannya. Raka mengerahkan semua teman-temannya untuk menghabisi Wira, sedangkan Raka memegangi Livia, namun Verrel dan Febby mendengar suara kegaduhan itu. Saat mereka kesana, Wira tengah dikeroyok. Pasukan Raka memang cukup banyak.
"Biar aku yang hajar mereka semua" dengan menaikkan lengan baju Febby berlagak ingin menghabisi mereka.
"Kasian baby-nya..., Udah pokoknya sayang stay disini" Verrel kemudian memancing Raka.
Diwaktu yang sama Livia menginjak kaki Raka dan melepaskan diri. Para pedagang dipinggir jalan itu yang tadinya takut, sekarang berani ikut membantu sampai semuanya kabur.
"Lo nggak apa-apa kan Vi?" Tanya Febby khawatir.
"Gue nggak apa-apa"
Setelah menjawab pertanyaan Febby, Livia mendekati Wira ingin meminta maaf tapi tidak berani.
"Untung Vibi bisa ngalahin mereka, kalau nggak, terpaksa deh aku yang harus ikut campur" celetuk Febby dengan tingkat pede yang tinggi.
"Hmmm gayanya..."
Karena gemas Verrel mencubit hidungnya. Melihat candaan candaan yang menggemaskan itu, Wira dan Livia jadi baper. Tapi Wira tetap berusaha cool. Meskipun suka kepada Livia, ia tak ingin menunjukkannya. Ia malah sok biasa saja didepannya.

Oke kita lanjut kepada Juan dan Bocil yang berhasil bersembunyi di bawah mobil Rifki, begitu Rifki keluar dari ruangan untuk memeriksanya.
"Tidak ada siapa-siapa"
Tapi perasaannya ada sesuatu yang mencurigakan.
"Ada apa mas?" Vani ikut keluar menghampiri.
"Tidak ada apa-apa, mungkin tadi yang lewat tidak sengaja kesenggol"
Ingin masuk kembali ke ruangan, alarm mobil itu berbunyi lagi.
Sementara Bocil yang tak sengaja menyentuh ban mobil langsung panik. Juan membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.
"Aneh..." Rifki kembali mendekat dan mengelilingi mobil itu.
"Ssst..." Vani memberi tanda untuk memeriksa kolong mobil.
"AAAA..." Bocil terperanjat berhadapan dengan wajah Rifki yang sedang menoleh.
"SIAPA KALIAN...?" Bentak Rifki memaksanya keluar.
Sementara Juan berhasil lolos keluar dikolong sebelahnya.
"RAMPOK..." Vani berteriak sambil melemparnya pakai batu kerikil.
Mendengar teriakan itu orang-orang di sekitarnya mengejar Juan, tapi sayang Juan menghilang bak ditelan bumi.
"Siapa yang sudah menyuruh kamu?" Rifki memaksa Bocil untuk bicara sambil menekannya ke belakang.
"Wahyu" dengan terpaksa Bocil menjawab.
"Lagi-lagi mas Wahyu" gumam Vani dalam hati.
"KATAKAN SAMA WAHYU, JANGAN JADI LAKI-LAKI PENGECUT..." Sambil menahan amarah, Rifki melepaskan Bocil dan melayangkan pukulan.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang