part 88

209 16 0
                                    

"Ternyata susah juga ya nyari pekerjaan, huuh..."
Sambil mengeluh panjang, langkahnya berderap lebih cepat mendekati bengkel yang berdampingan dengan showroom motor itu.
"Pak saya..."
"Maaf kami tidak membuka lowongan pekerjaan" baru juga Verrel mau ngomong, tapi kalimatnya sudah dipatahkan oleh seseorang yang berbadan tegap.
Wajahnya lesu tak bersemangat ingin pergi, tapi ia kembali membalikkan tubuh menghadapnya sembari memohon.
"Tolong saya pak saya butuh pekerjaan anak saya masih bayi tiga lagi gimana saya mau membiayai hidup mereka" ucapnya nyerocos tanpa titik koma.
Sepertinya Verrel berhasil membuat orang itu merasa iba, akibat wajah sedih yang dipasangnya. Ia pun diberi kesempatan untuk membetulkan salah satu mobil yang lagi mogok, sedangkan orang itu membawa CVnya ke kantor. Sekembalinya dari kantor, itu mobil yang ada bukannya tambah bagus, malah tambah mengeluarkan asap hitam. Sontak saja karyawan bengkel yang lainnya jadi panik, sedangkan Verrel sendiri hanya cengar cengir kaku sembari menggaruk-garuk tengkuknya, untuk menutupi rasa paniknya.
"Kamu bisa kerja nggak sih sebenarnya?" Maki orang tersebut.
"Maaf bang, ini pertama kalinya saya disuruh benerin mobil, tapi saya janji saya akan belajar lebih giat lagi"
"Harus butuh berapa lama lagi kalau mau nunggu sampai kamu bisa?"
"Secepatnya"
"Sudah lebih baik kamu cari pekerjaan lain saja"
Verrel sangat kecewa dengan dirinya sendiri. Muka udah cemong sama oli, baju udah berantakan seperti habis gulat, tapi ditolak juga.

Wira memasuki halaman rumah Livia dengan perasaan gugup. Mau memanggil atau mengetuk pintunya saja tampak ragu. Untunglah ada tetangganya yang mendengar. Lantas ia memberitahu kalau Livia sudah berangkat ke Bandara.
"Apa Bu? Ke Bandara?" Wira sangat terkejut.
"Iya, katanya mau nyusul papanya ke Amrik"
Wira semakin bingung harus berbuat apa.
"Ke Bandaranya tadi jam berapa Bu?"
"Mmm jam berapa ya...? Si Ibu mencoba mengingat. "Sekitar satu jam yang lalu, iya bener"
Tanpa permisi Wira bergegas memacu motornya menuju Bandara, tapi sampai di sana ia tidak menemukan Livia. Mungkin karena ramainya orang, sehingga ia kesulitan mencarinya. Wira bergegas melihat jam dipergelangan tangan sudah menunjukkan hampir pukul 7 malam. Ia kembali berlari ke bagian informasi.
"Untuk seseorang yang bernama Livia Demitry diharapkan duduk diruang tunggu"
Livia tercengang mendengar namanya disebut dalam pengeras suara. Suara tidak asing baginya.
"Kenapa suaranya kayak suara Wira sih?"
Ia kembali berpikir, nggak mungkin bisa ada Wira di tempat seperti ini.

Pulang dari melamar kerja, wajah Verrel tampak lesu. Dari ruang tamu Vani menegurnya. Lalu Verrel mencium tangan mamanya itu dan duduk.
"Kamu dari mana? Kok jam segini baru pulang? Terus muka kamu kenapa?" Pertanyaan Vani bak detektif yang lagi menginterogasi, tapi tetap dengan kelembutan seorang Ibu.
"Verrel, Verrel habis nyari kerja ma" jawabnya agak menunduk.
"Keberadaan mama disini pasti akan merepotkan kamu"
"Mama ngomong apa sih?"
"Tapi kamu sudah punya istri, punya anak kembar, punya keluarga yang harus kamu biayai"
"Mama nggak usah khawatir, tabungan Verrel selama main sinetron masih cukup kok"
Diwaktu yang sama, Febby yang ingin ke dapur tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Febby mendekatkan dirinya dibalik tembok agar lebih jelas.
"Pokoknya mama tetap disini, lagian si kembar juga membutuhkan mama, apalagi kalau nanti Febby udah mulai kuliah, siapa yang akan jagain cucu mama coba"
Vani hanya menarik nafas dalam-dalam menatapnya yang menuju kamar, sedangkan Febby buru-buru ke kamar agar tidak ketahuan menguping. Verrel duduk ditepi ranjang melepaskan dasi, tapi lehernya tercekik oleh dasi itu sendiri. Febby ingin tertawa, tapi itu langsung ditahan ketika melihat ekspresi Verrel yang tampak masam. Dengan lembut Febby membantu melepaskan dasi itu.
"Si kembar gimana? Apa mereka rewel?" Tanya Verrel kemudian sambil menoleh kearah box bayi.
"Sedikit, tapi aku seneng kok, soalnya ASIku udah keluar" riang Febby.
"Oia?"
Lantas Febby menutupi dadanya. Ia menyangka pasti tatapan Verrel turun ke sana, namun ternyata Verrel menunduk melepas sepatu dan kaos kaki.
"Mmm apa hari ini Ayah udah dapat pekerjaan?"
Verrel hanya menggeleng.
"Memangnya melamar pekerjaan apa sih ampe cemong begini mukanya?" Canda Febby mengelapnya pakai tissu.
"Melamar Febby Rastanty untuk jadi milikku selamanya"
Ditengah kegalauan tidak berhasil mendapatkan pekerjaan, tapi Verrel masih saja berupaya ngegombal untuk menyenangkan sang istri.
"Kan aku udah jadi istrinya Verrel"
"Iya juga ya"
Akibat candaan itu akhirnya Febby lupa ingin menanyakan tentang bau parfum perempuan yang melekat di bajunya itu.
"Hallo sayang..." Verrel menyapa si kembar dan ingin menyentuhnya.
"Iih nggak boleh" larang Febby memasang badan menghalanginya.
"Kok nggak boleh sih?"
"Ayah kan baru pulang kerja, belum cuci tangan, belum mandi"
Wajah Verrel berubah cembetut menahan kecewa.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang