part 14

245 15 3
                                    

Saat dibuka, Bima sudah terkulai lemas. Andin langsung menolongnya keluar dari bagasi.
"MAMA..." Andin memanggil Lisa.
"Ada apa?" Tanya Lisa menghampiri.
"Dia pingsan dibagasi mobil" Andin cemas dan panik.
"Astaghfirullah..., Kok bisa sih?" Lisa lalu meminta pertolongan kepada warga setempat yang lewat.
Mereka membawa Bima masuk dan menidurkannya di sofa tamu. Salah satu warga meminta minyak kayu putih kepada Andin. Andin berlari ke kamar mencari minyak kayu putih. Setelah Andin kembali, Bima langsung sadar. Bima kemudian menjelaskan kronologisnya kenapa ia bisa ada didalam bagasi mobil.
"Hmmm ada-ada aja kelakuan anak muda zaman sekarang"
"Bukannya bikin prestasi malah bikin sensasi"
Itulah reaksi warga sembari menggeleng-geleng. Lisa mengucapkan terimakasih kepada mereka sebelum mereka pergi.
Dan disaat yang sama, Bima juga pamit pergi.

Saat melihat dari kaca, nampak beberapa orang tak dikenal menggedor-gedor pintu, termasuk Juan dan Bocil.
"Itu kan Juan sama Bocil" gumam Bella panik.
"Kamu kenal sama mereka?" Tanya Ammar penasaran.
"Itu anak buahnya papa"
Untung saja mereka sudah mengganti pakaian biasa, sehingga mudah bagi Ammar mengajaknya pergi lewat pintu belakang. Ayo sayang...!"
Juan mendobrak pintu tersebut, tapi sepertinya kokoh. Lalu mereka mendobrak pintu itu secara bersamaan.
"GUBRAAK..." pintunya menganga lebar.
Mereka berpencar mencari keberadaan Ammar dan Bella ke setiap sudut, tapi terlambat. Sebagian mereka ada yang merusak kursi, namun ada juga yang memeriksa pintu luar. Untung saja, Ammar dan Bella sudah keburu jauh naik taksi.
"Saya nggak tau apa jadinya kalau papa tau kita udah nikah" ucap Bella gelisah.
"Kamu tidak usah khawatir, saya tidak akan membiarkan satu orang pun yang menyakiti kamu"
"Kita mau kemana pak?" Tanya supir.
"Ke jalan anggrek nomor 27 pak" jawab Ammar.
"Kok alamat rumah saya?" Bella bertambah bingung.
"Kita harus pulang ke rumah masing-masing, biar mama dan papa kamu tidak curiga"
Setelah sampai, Ammar meminta Bella segera masuk ke rumahnya, tapi Bella tak ingin meninggalkannya.
"Pliss, saya mohon pengertian kamu" pinta Ammar dengan wajah memelas.
"Tapi kamu harus hati-hati ya, kalau ada apa-apa harus hubungi saya"
"Iya sayang..." Ammar lalu meminta supir melanjutkan perjalanan kembali.
Baru saja mau jalan, Wahyu sudah menghadangnya. Terpaksa si supir berhenti.
"Kalian dari mana?" Tanya Wahyu setelah membuka pintu taksi itu.
"Saya habis mengantar Bella" jawab Ammar santai.
Sementara Bella dan Vani cemas melihat mereka dari depan teras.
"Kalian tadi kemana?" Tanya Wahyu lagi.
"Kami tidak kemana-mana, kecuali mendiskusikan masalah ulang tahun kampus, karena dua hari lagi eventnya akan dibuka" jelas Ammar tanpa ada keraguan sedikitpun.
"Apa kamu yakin?"
"Itu benar, kalau tidak percaya tanya saja pada Bella" Sembari Ammar melirik Bella yang nampak tegang dan gelisah.
"Apa benar begitu?" Kali ini Wahyu memberikan pertanyaan kepada Bella.
"Iya pa" jawab Bella singkat.
"Oke, kali ini saya percaya, jangan sekali-kali kamu membohongi papa" ucap Wahyu setelah berpikir sesaat.
"Pulang dulu ya ma, pa"
Membuat Wahyu geram mendengarnya.
"Maksud saya tante, om" lanjut Ammar tersenyum.
Vani membawa Bella masuk ke kamar, karena Vani tau pasti Bella masih syok dengan kejadian barusan. Didalam kamar, Bella duduk sambil menutupi cincin kawin yang melingkar dijari manisnya. Vani tau, pasti Bella sedang menutupi sesuatu. Karena terlihat jelas diwajahnya seperti menyimpan rahasia.
"Sebenarnya apa yang kamu tutupi dari mama?" Tanya Vani mendekatinya.
"Maafin Bella ma" Bella masih takut takut untuk menceritakan yang sebenarnya.

Keesokan harinya di kampus.
Saat mau keluar dari kelas, tiba-tiba ada mahasiswa dari luar mendekati Verrel. Katanya Pak Rektor memanggilnya. Apa yang ditakutkan Verrel selama ini akhirnya terjadi juga. Ia sudah menduga itu pasti masalah biaya kuliah. Febby, Livia, Wira dan Aldo ikut bersama Verrel menuju ruang rektor, tapi mereka hanya menunggu diluar.
"Bapak manggil saya?" Dengan perasaan gugup Verrel bertanya.
"Iya" pak rektor lalu mempersilahkannya duduk.
"Sebenarnya berat bagi saya untuk menyampaikannya" lanjutnya, sedangkan Verrel hanya bisa pasrah. "Pak Wahyu selaku pemilik yayasan ini meminta saya untuk memutus semua biaya kuliah kamu" lanjutnya.
Mata Verrel mulai berkaca-kaca. Ia tidak menyangka kalau papanya sendiri adalah orang yang sangat kejam.
"Saya sebagai karyawan tidak bisa berbuat apa-apa"
"Iya saya mengerti pak"
"Tapi kalau kamu bisa membayar lunas semuanya, maka kamu bisa melanjutkan kuliah kembali"
"Baik, akan saya usahakan pak"
"Oke, itu saja yang ingin saya sampaikan"
"Permisi" Verrel lalu melangkah keluar, tapi ia tidak ingin terlihat rapuh didepan teman-temannya.
"Lo dikeluarin rel?" Tanya Wira.
"Kalau gue nggak bisa lunasin semua biayanya, terpaksa gue dikeluarin" jawab Verrel dingin.
"Kok gitu, kan ini punya papa lo" ucap Febby.
"Biayanya diputus semenjak gue pergi dari rumah"
Tiba-tiba ponsel Febby berdering. Untuk menerima telepon tersebut, ia agak menjauh, sementara mereka mengikuti kemanapun Verrel melangkah.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang