"Ini nggak seperti yang bunda lihat kok" Bantah Verrel.
"Nggak seperti yang bunda lihat, terus yang aku lihat barusan apa?" Nada bicara Febby memang pelan, tapi ada kemarahan yang tertahan disudut matanya.
"Bunda, bunda dengerin dulu penjelasan aku, ya"
"PAAKK..." Secara spontan tangan halus Febby menampar pipinya.
Verrel hanya termangu merasakan pedasnya tamparan dari tangan yang biasa membelainya. Mata beserta pipinya tampak memerah. Tak sanggup menatap mata Febby. Ada perasaan menyesal di hati Febby yang sudah memberinya sebuah tamparan keras, tapi begitu melihat Nasya. Rasanya itu tak cukup memberinya pelajaran. Ia lalu cepat-cepat masuk ke mobil.
"FEBBY..." Panggil Verrel mengejarnya. "Tok tok tok..." Tangannya mengetuk kaca mobil yang mau berjalan tersebut, tapi mobilnya tetap saja melaju.
"Gue minta maaf rel, ini salah gue" Celetuk Nasya mendekatinya, tapi Verrel berlari mendekati motor yang ditaruhnya di pinggir jalan.
"Sorry sya gue harus ngejar Febby" Sambil mengenakan helm.
Pulang ke rumah, Febby masuk ke kamar sambil tersedu-sedu.
"Lho, non Febby kenapa ya? Kok nangis?" Gumam bu Rahmi yang lagi bersama si kembar di ruang keluarga.
Tanpa mengunci pintu, Febby menghempaskan tubuhnya telungkup ke tempat tidur. Hampir saja kotak music yang ada diatas dipan jadi korban pelampiasan. Untung itu tidak sampai terjadi, karena menghargai pemberian Verrel. Namun ia menyimpannya di dalam laci agar tidak terlihat. Ketika mendengar suara motor Verrel, ia mengunci pintu itu dan kembali berbaring dengan telungkup. Verrel memegang gagang pintu kamar ingin membukanya, namun ternyata terkunci.
"Sayang aku mohon buka pintunya" Sembari menggerakkan gagang pintu itu, tapi Febby tak memperdulikannya.
"Buka pintunya, sebentaar aja, kita bicarakan baik-baik" Verrel kembali memohon mendongakkan wajahnya.
"NGGAK ADA LAGI YANG PERLU DI BICARAKAN..." Jengkel Febby melemparkan bantal ke pintu.
"Tapi kita harus bicara, supaya masalahnya selesai"
"KAMU SELESAIKAN AJA MASALAH KAMU SAMA PEREMPUAN ITU..."
Melihat pertengkaran itu, bu Rahmi tercengang. Ini pertama kalinya ia menyaksikan percekcokan rumah tangga mereka. Rasa penasarannya jadi makin tinggi ketika mendengar kata perempuan itu. Tapi ia tak percaya begitu saja kalau Verrel selingkuh dengan perempuan lain. Dilihatnya Verrel berlari keluar. Entah apa yang akan dilakukan.
"Bunda..., pliss dengerin dulu penjelasan aku" Ucap Verrel diluar jendela.
Rupanya Febby lupa menutup jendela, sehingga Verrel bisa menatap Febby yang lagi membenamkan wajahnya telungkup ke guling.
"MENDINGAN KAMU PERGI SAMA NASYA SANA..." Teriak Febby sambil bangun mendekati jendela itu.
"Pliss jendelanya jangan di tutup bunda..."
Tapi Febby tetap menutup jendela itu. "AKU NGGAK ADA HUBUNGAN APA-APA SAMA NASYA..., AKU NGGAK ADA PERASAAN APA-APA SAMA NASYA, AKU CUMA MENGANGGAPNYA SEBAGAI SAHABAT NGGAK LEBIH..." Dengan panjang lebar Verrel berteriak-teriak.
Febby memang mendengar, tapi pura-pura menutup telinga.Wahyu tengah berkumpul bersama Bargo dan Hadi di sebuah markas. Wahyu meminta sebagian harta yang mereka rampok semalam.
"CETAR..." Sebuah tembakan seorang polisi dari penjuru meluncur kearah mereka, tapi sayang tembakan itu meleset, karena mereka cepat menghindar dan berpencar lari, menyelamatkan diri masing-masing.
Bodohnya polisi itu hanya seorang diri tanpa rekan-rekannya, sehingga ia tidak bisa mengejar mereka. Nafas Wahyu tersengal-sengal berlari kearah kebun pisang, sementara Bargo dan Hadi menyusuri lorong-lorong kecil.
"Sial, kemana mereka perginya?" Kesal polisi itu sambil menggerakkan bola matanya kesana kemari menatap lorong.
Ia menggeser tubuhnya melipir ke dinding mengacungkan pistol setelah mendengar ada suara, namun ternyata itu hanya tak tik dari mereka untuk mengalihkan perhatian.
"Aku harus cepat kembali ke kontrakan" Gumam Wahyu keluar dari persembunyian.
Disisi lain, pak Hidayat masih berbasa basi ngalur ngidul membicarakan tentang masalah pribadinya kepada Bella dan Ammar di ruangannya. Bella dan Ammar saling melirik satu sama lain. Mereka bosan mendengar celotehan yang tidak penting itu.
"Maaf pak, mengenai kompetisi basket besok, apa Bapak mempunyai team yang khusus?" Tanya Bella kemudian.
"Maksud kedatangan saya, saya ingin membicarakan masalah itu"
"Maksudnya?"
"Saya menginginkan team kita sebaiknya digabung saja"
"Untuk itu saya tidak setuju pak" Tolak Ammar.
"Kenapa tidak setuju? Team kampus saya semuanya pilihan, sedangkan team disini sangat meragukan, karena mereka tidak aktif di kegiatan tersebut" Remeh pak Hidayat.
"Team pilihan saya memang tidak terlalu aktif, tapi saya yakin dengan kemampuan mereka" Sahut Bella.
"Dari mana bu Bella bisa seyakin itu?" Pak Hidayat mulai memancing.
"Dari hati" Jawab Bella singkat.
"Siapa yang paling menonjol diantara mereka?"
Tapi Bella terdiam mendapat pertanyaan yang sifatnya menginterogasi itu.
"Saya yakin Ibu Bella pasti mau memberitahukan siapa yang paling diandalkan dalam setiap teamnya" Hidayat membatin sembari tak sabar menunggu jawaban Bella.
"Untuk itu saya tidak tau pak, karena tugas saya hanya mensupport mereka" Jawab Bella, karena ia tau bahwa itu jebakan, jadi ia tidak mau memberitahukan kalau Verrel lah bintangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
Fiksi UmumApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...