part 132

161 16 4
                                    

Alan hanya tertegun menatapnya. Lama kelamaan yang masih terlihat hanya punggung mereka saja yang menuruni tangga menuju parkiran mobil.
"Ada apa dengan perasaanku ini? Kenapa setiap bertemu Bella jantungku deg degan? Apa aku jatuh cinta? Tapi, Bella itu sudah menjadi istri orang, aaagh..."
Alan kesal dengan perasaannya sendiri, yang terus saja memikirkan Bella. Masuk ke mall saja, ia bingung mau kemana. Ia bahkan lupa dengan tujuan awalnya datang ke mall tersebut.
"Tadi aku mau ngapain ya kesini?"
Akhirnya ia berpegangan pada besi penyangga didekat tangga,  melemparkan pandangan ke orang-orang yang hilir mudik kesana kemari di bawah sana. Berharap bisa mengingat, namun lagi-lagi pikirannya cuma mengingat nama Bella.
"BUG..." Dengan geram ia meninju besi itu, sampai-sampai sekelompok pengunjung mall yang berada di dekatnya menggelengkan kepala.

Akhirnya malampun tiba. Dari atas balkon kediamannya, Verrel terus menghubungi Wira yang tak kunjung mengangkat teleponnya. Entah sengaja atau tidak, ia juga tidak tahu. Karena kesal, kemarahannya kembali naik ke permukaan akibat Febby membohonginya. Memang sih marahnya tidak secara langsung kepada Febby. Tapi  pukulannya terhadap penyangga balkon itu, yang dibarengi ocehan-ocehan marahnya sampai terdengar oleh Febby di bawah tangga. Pelan-pelan Febby menuju keatas mengetahui apa yang terjadi. Dari samping terlihat rahang Verrel mengeras. Febby jadi takut ingin menegurnya, karena ia tau itu tandanya sang suami lagi dipenuhi amarah. Meskipun takut, tapi Febby memberanikan diri memijat-mijat lengan keras suaminya dengan lembut.
"Ayah masih marah ya sama bunda?"
Sejujurnya Verrel ingin melampiaskan kemarahannya, tapi wajah Febby yang tampak memelas membuat bibirnya terkunci.
"Bunda minta maaf..." Lanjut Febby.
Verrel menghela nafas lembut meliriknya.
"Mau Ayah maafin kan?" Tanyanya.
Febby mengangguk pelan disela pijatannya.
"Ikut Ayah" Ajak Verrel menuruni anak tangga, yang di ikuti Febby.
Sampai di lapangan basket, Verrel meraih bola itu dan melemparkannya kepada Febby yang masih bengong. Untung saja tangan Febby bisa menangkap bola itu walau dalam keadaan tidak siap.
"Anggap aja sekarang kita lagi tanding, jadi bunda harus melawan Ayah" Ucap Verrel.
"Oke kalau gitu"
Febby kini mulai mendrible bola sambil berlari kesana kemari mencari celah agar bisa meloloskan bola itu ke ring, tapi Verrel bisa menghalanginya.
Mereka tampak serius saling merebut bola, sampai akhirnya Verrel bisa melesakkan bola itu dari jauh. Wajah Febby sedikit kecewa, namun ia tak mau kalah. Ia berupaya membawa bola itu sambil sesekali mendriblenya. Begitu bolanya di lempar kearah ring, Verrel melompat menangkapnya. Lagi-lagi Febby harus cemberut ketika bolanya melekat di tangan Verrel, diselingi dengan seringaian genit terlukis di bibir suaminya itu. Febby merasa kalau Verrel sedang mengejeknya. Lantas ia merebut bolanya dengan paksa, sehingga Verrel bingung ingin melakukan apa.
"YEAA..." Dengan girangnya Febby mengangkat tangan, karena berhasil memasukkannya.
"Dasar curang" Verrel membatin, namun itu tak membuatnya kesal.
Ia justru tersenyum melihat tingkah Febby sambil memungut bolanya.
Rengekan si kembar di kamar yang berdampingan dengan lapangan basket itu samar-samar terdengar oleh mereka.
"Kayaknya itu suara si kembar" Celetuk Febby, ia lalu berlari masuk ke dalam.
Namun ternyata Verrel juga ikut lari. "Udah Ayah lanjutin aja latihannya, biar bunda yang ngurusin mereka" Sambung Febby kemudian.
Setelah di lihat mereka cuma merengek-rengek karena haus atau lapar, Verrel kembali keluar melanjutkan latihannya, namun kali ini memakai cara pebasket legendaris yang sudah di simpannya dalam ponsel. Di tempat yang berbeda, Wira juga melakukan hal yang sama, yaitu latihan basket. Meskipun dihalaman rumah Wira tidak mempunyai lapangan basket, namun ia memakai kardus yang sudah di lubangi, sebagai ring tempat memasukkan bola. Setelah lelah barulah ia berhenti dan mengecek ponsel. Mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Verrel, ia mengetikkan pesan.
"Sorry rel, gue baru selesai latihan, jadinya nggak dengar telepon lo, oia, besok kita harus pagi-pagi udah disana, ingat jangan sampai telat"
Ia juga tak lupa mengirim pesan kepada yang lain, agar besok jangan sampai telat. Karena kebetulan Verrel sedang membuka layar ponsel, ia pun membalas pesan dari Wira itu.
"Oke, thanks"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang