"Bunda...sakit banget ya bun?" Almeera sangat mengkhawatirkannya. "Kak Imam cama kak Yusuf cih belicik, jadinya kepala bunda cakit..." Sembari Almeera memijat-mijat kening Febby.
Ternyata apa yang dilakukan Febby berhasil membuat mereka berhenti berlarian. Padahal sih itu cuma akal-akalan Febby saja.
"Akhirnya mereka diam juga, huuh..." Gumamnya dalam hati sambil meringis.
"Maafin kita ya bun" Imam dan Yusuf meminta maaf dengan sungguh-sungguh, namun Febby kembali beracting pingsan.
Mereka jadi tambah panik, bahkan Almeera menangis.
"Bunda bangun bunda, jangan tinggalin kita" Rengek Imam.
"Mama cuma acting sayang, mama juga nggak bakalan ninggalin kalian kok" Febby kembali berbicara dalam hati.
Sebenarnya ada rasa tidak tega sudah mengerjainya, tapi semua ini ia lakukan supaya mereka sadar, kalau tingkah mereka itu bisa berakibat fatal pada orang lain, namun ia juga ingin tertawa melihat reaksi yang mereka tunjukkan.
"ASSALAMU'ALAIKUM..." Dari ruang tamu Verrel mengucap salam.
"AYAH...AYAH..." Imam dan Yusuf berteriak ke ruang tamu memanggilnya.
"Ada apa sih kok teriak-teriak? Ayah ini baru pulang lho" Ucap Verrel bersikap biasa saja, karena ia sudah tau kebiasaan anak-anaknya yang memang hobby teriak setiap hari.
"MAMA..." Imam bingung ingin menjelaskannya, jadinya cuma nunjuk-nunjuk doang ke arah ruang kerja.
"Iya mama kalian kenapa? Ada apa?"
"Pingsan yah..." Terpaksa Yusuf yang menjawab.
Verrel buru-buru ke ruang kerja. Disana ia mendapati Almeera menangis sambil memeluk Febby yang terbaring di meja.
"Kok bisa begini sih?" Tanya Verrel, namun mereka tak berani bicara.
Lalu Verrel menggendong Febby dan merebahkannya di ranjang.
"Ambilin minyak kayu putih cepat" Perintahnya.
Mereka berebut ingin mengambil minyak kayu putih yang di simpan di laci meja, sehingga mereka saling bertubrukan.
"Bial Mila aja yang ambil minyak kayu putihnya" Ucap Almeera yang masih cadel belum bisa mengatakan huruf R.
"Biar Imam aja" Imam tak mau kalah.
"Yusuf" Yusuf juga sama saja, mereka sama-sama tidak mau mengalah.
"Udah satu orang aja Imam Yusuf Mira yang ngambilnya"
Perkataan yang menyebut nama ketiganya itu justru membuat mereka bingung. Dan saat mereka bertengkar, Febby mencubit lengan Verrel, memberi kode kalau ia hanya berpura-pura.
"Dasar..." Verrel menoyor kening Febby, sehingga secara spontan Febby mengaduh.
"Bunda..." Mereka langsung menoleh, memergoki dirinya yang mengaduh memegangi kening yang habis di toyor jari telunjuk Verrel.
"Bunda udah sadar, sekarang kalian keluar dulu ya, soalnya Ayah mau bicara sama Bunda" Pinta Verrel dengan halus.
"Iya yah" Sahut mereka serempak.
Setelah mereka keluar menutup pintu, Verrel menatap Febby yang menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. Mata mereka saling bertemu, tapi tak kata yang keluar.
"Tadi bunda pingsan beneran apa gimana?" Tanya Verrel menyilakkan beberapa helai rambut di sisi pipi Febby, tapi Febby hanya tersenyum lebar. "Bunda pura-pura ya?"
"He'eh" Febby mengangguk.
Baru saja Verrel menangkupkan tangannya di leher Febby, ingin menciumnya tapi Almeera tiba-tiba masuk memanggil bunda. Spontan Verrel melepaskan tangannya, cuma menggaruk-garuk hidung Febby.
"Masih gatal ya bun hidungnya?" Terpaksa kata-kata itu yang harus keluar dari mulut Verrel antara serius dan menahan tawa.
"Udah nggak apa-apa kok" Jawab Febby gugup. "Mira kenapa?"
"Mila takut bunda kenapa-napa" Ternyata Almeera masih mengkhawatirkan Febby.
"Bunda udah nggak apa-apa kok, coba lihat" Febby menunjukkan tubuhnya dengan penuh semangat.Sepulang dari kantor polisi, Rifki memberitahu Vani kalau Wahyu sudah bebas. Vani memang senang mendengarnya, tapi ia juga khawatir. Khawatir kalau Wahyu menaruh dendam pada suami dan juga dirinya.
"Kamu senang kan?" Tanya Rifki di tengah kekhawatirannya.
"Aku justru khawatir mas"
"Khawatir kenapa? Dia kan sudah di bebaskan, bukankah itu yang selama ini kamu harapkan"
"Aku hanya mengharapkan dia bisa menata hidupnya jadi lebih baik mas, bukan menjadi perampok seperti yang sudah di lakukan"
"Kamu menginginkan aku untuk membantunya begitu?"
"Kalau dia mendapatkan pekerjaan yang layak, aku yakin dia tidak akan menjadi seperti itu mas"
Rifki menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, memikirkan perkataan Vani.
"Oke, akan aku pikirkan" Sahutnya kemudian.
Sementara Wahyu kini membuka lembaran baru, yaitu mencari pekerjaan yang layak di setiap perusahaan. Tak perduli harus menerima berbagai penolakan dari bagian HRD, dan juga security yang mengusirnya, ia tetap tak putus asa. Setelah sekian lama berjalan menelusuri trotoar, Wahyu berhenti di depan bengkel milik Rifki, namun ia tidak tau kalau itu pemiliknya adalah Rifki, jadi masuklah ia menyodorkan berkas lamaran kerja pada pengawasnya. Ia kemudian mengikuti si pengawas yang sudah mempersilahkannya masuk. Melihat pengalaman kerja yang di miliki Wahyu sebagai Direktur PT Sinema, ia tertarik untuk menjadikannya sebagai Manager atas penggantinya Verrel. Si pengawas itu mengamati Wahyu yang tampaknya gugup. Gugup karena takut di tolak untuk ke sekian kalinya, namun ternyata ia di terima bekerja sebagai manager di bengkel tersebut.
"Sa saya di terima pak..." Antara percaya dan tidak Wahyu bicara dengan terbata-bata.
"Iya, bapak di tempatkan di bengkel ini sebagai manager"
"Alhamdulillah ya Allah..." Baru kali ini Wahyu mengucap syukur dengan penuh haru. "Terimakasih pak, kalau begitu kapan saya bisa mulai bekerja?"
"Besok"
"Oke sekali lagi terimakasih" Wahyu menyalaminya, lalu pergi dengan perasaan gembira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...