part 113

143 22 4
                                    

Sekembalinya Ammar ke rumah, ia tidak menemukan Bella yang ia cari. Tangannya terasa gemetar ketika membuka lemari, semua pakaian Bella sudah tidak ada.
"Sayang..." sambil membuka pintu kamar mandi, namun tak ada jawaban merdu seperti yang ia dengar setiap hari dari mulut istrinya. "Sayang..." panggilnya lagi.
Sesaat kemudian barulah ia menemukan sepucuk surat diatas bantal.
"Saya tau ini pasti berat buat kita berdua, tapi saya tidak punya pilihan lain selain meninggalkan kamu, saya ingin kamu bahagia dengan wanita yang di inginkan mama, agar saya bisa menebus kesalahan saya, karena saya tidak bisa membahagiakan kamu secara sempurna, jaga diri kamu baik-baik, ingat, jangan pernah tinggalkan shalat, selamat tinggal..." Tak terasa air mata Ammar menetes membasahi surat yang dibacanya itu. "Tidak, kamu tidak boleh meninggalkan saya Bella, saya harus menemukan kamu, iya" ia menghela nafas dalam-dalam, kemudian keluar dengan tergesa-gesa.
Tanpa sadar ia hampir menabrak Naya yang sedang bersama Mawar.
"KAMU MAU KEMANA AMMAR...?" Tanya Naya, tapi Ammar tak mempedulikannya.
"Udah ma biarin aja" tahan Mawar ketika Naya ingin mencegah Ammar yang menyalakan mesin mobil.
"Tapi..."
"Udah, yang penting Ammar sudah mengurus surat perceraiannya"
"Apa?"
"Iya, tadi Mawar sengaja mengikuti Ammar, dan Mawar lihat Ammar lagi mengurus semuanya di pengadilan"
Sambil menyetir Ammar memutar matanya ke kanan dan ke kiri menatap ke sekelilingnya. Berharap ia bisa menemukan sosok Bella. Sudah berapa jam ia berkeliling mengitari jalan yang sering dilalui, tapi tampaknya sia-sia. Sementara Bella berada didalam masjid yang tidak terlalu besar. Sepertinya ia baru saja selesai shalat Ashar. Dengan khusuk dan bersujud ia memanjatkan doa.
"Ya Allah...engkau yang maha tau apa yang terbaik untuk hamba, berilah hamba ketabahan dalam menghadapi setiap ujian yang engkau berikan ya Allah, hamba ikhlas kalau memang perpisahan ini yang terbaik, tapi hamba mohon, jangan kau biarkan hamba terus larut dalam kesedihan..."
Disela-sela tangisnya, ia kembali teringat dengan wajah Ammar yang selalu ada didekatnya. Bayangan itu tak mau pergi, walau Bella sudah berupaya melupakannya.
Dalam perjalanannya, Ammar berhenti sejenak dibawah pohon. Raganya mulai lelah setelah sekian lama mencari Bella, tapi ia tak putus asa. Setelah meneguk air Aqua, ia kembali bangkit dan kembali melakukan pencarian sambil mengeluarkan ponsel. Nama pertama yang muncul dilayar ponsel itu adalah my wife. Dihubungi juga tidak aktif. Lantas ia menghubungi Vani yang lagi bermain bersama si kembar di kediaman Verrel.
"Iya assalamualaikum" jawab Vani menerima telepon itu.
"Walaikumsallam, ma..." Kata-kata Ammar terhenti dibarengi dengan kegelisahan.
"Iya ada apa mar? Kayaknya kamu lagi ada masalah? Apa ini ada hubungannya sama Bella?"
"Apa mama lagi sama Bella?"
"Nggak, memangnya kenapa dengan Bella?"
"Bella pergi dari rumah ma"
"Astaghfirullahaladzim, kok bisa?"
"Panjang ceritanya, tapi beneran Bella nggak sama mama?"
"Kalau ada sama mama nggak mungkin mama nggak ngasih tau kamu"
"Mmm gini aja ma, kalau mama tau keberadaan Bella cepat telepon Ammar ya" Ammar kemudian menutup teleponnya disaat Vani ingin berbicara.

Di mall Artha gading, Febby tengah menunggu seseorang di bangku peristirahatan. Dan seseorang yang ditunggu itu tak lain adalah suaminya sendiri. Ia mulai menceracau mengenai kebiasaan Verrel yang selalu ngaret kalau janjian. Padahal yang membuat janji si Verrel sendiri. Setelah beberapa saat menunggu datanglah Verrel berdiri di belakangnya, sambil mendengarkan ocehan Febby yang tak kunjung ada habisnya. Lantas Verrel menutup mata Febby dengan kedua tangannya. Wangi tangan yang begitu khas itu meyakinkannya membuka tangan.
"Udah lama ya nunggunya?" Dengan nada bercanda, Verrel menaruh dagunya diatas pundak sang istri yang lagi manyun-manyun manja. "Ayah minta maaf deh"
"Perasaan minta maaf melulu, udah datengnya selalu telat lagi..."
"Ayah telat kan karena banyak pekerjaan" jelas Verrel dengan lembut.
"Iya deh iya"
"Ya udah yuk"
Verrel menarik lengan Febby dan menggandengnya menuju lantai atas. Akhirnya mereka sampai juga didepan gelanggang bowling.
"Tapi Bunda nggak bisa main bowling" tampak ada keraguan dimata Febby.
"Nanti Ayah ajarin, tunggu disini sebentar ya"
Verrel menyewa sepatu bowling yang pas untuk Febby, lalu menghampiri Febby yang duduk di bangku Lane, tempat permainan yang sudah di sewanya.
"Bunda harus pakai sepatu ini, jangan pakai high heels" pinta Verrel sambil melirik high heels yang melekat di kaki indahnya.
Berhadapan dengan Verrel yang berjongkok, Febby mendadak linglung melepaskan tali high heelsnya. Verrel yang mengetahui rasa grogi itu lekas membantunya, sementara Febby hanya pasrah dan tertegun menatap Verrel yang memakaikan sepatu itu di kakinya. Karena tergolong pemula, Verrel memberikan bola yang beratnya 5 kg.
"Terus ini gimana?" Tanya Febby setelah berada di gelanggang.
"Jari manis dan jari tengah masuk ke lubang bola, terus jempol ke lubang bola bagian bawah" jelas Verrel sambil mempraktekkannya.
Dengan seksama Febby mendengarkan dan memperhatikan arahan tersebut. Setelah mendekati garis, Verrel memposisikan Febby berdiri. Menekan bagian punggungnya agar lebih tegak. Terus memberikan contoh cara pelepasan bola sedetail mungkin sampai Febby benar-benar mengerti. Febby tidak hanya memperhatikan cara bicara Verrel, namun juga mendelik kearah tangan besar yang memegang jemari lentiknya. Inilah salah satu daya tarik yang membuatnya suka. Kapan saja Verrel bisa menjadi sosok orangtua yang seakan-akan sedang mengajari anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Hello..." Canda Verrel memetikkan jari ke depan wajah Febby yang lagi bengong, tapi terlihat menggemaskan.
Ia senang, karena Febby tertegun padanya.
"Oke sekarang bunda coba ya" pintanya, Febby mengangguk pelan.
Namun bola yang di lempar Febby bukan mengarah ke pin, melainkan menggelinding ke siring.
"Hihihi..." Untuk menutupi rasa malu, Febby menutup sebagian wajahnya dengan kedua tangan, apalagi ketika Verrel mendekat, ia malah berpaling karena tak kuat menahan malu.
"Pasti Ayah mau ngeledekin Bunda kan?" Celetuknya.
"Ya nggak dong sayang..., Yang namanya pemula itu memang biasa kayak gini, nanti juga pasti bisa kok" tapi Febby malah tampak lesu. "Ayo semangaat..." Dengan tangan mengepal keatas Verrel memberinya semangat.
"Oke sekali lagi Bunda akan coba"
Dan saat Febby berhasil melakukan strike dalam satu kali lemparan, Febby meloncat kegirangan memeluknya.
"Bunda berhasil yah..." Riang Febby spontan melingkari leher Verrel dengan kedua tangannya.
"Iya tapi meluknya jangan terlalu kencang nafas Ayah sesak..."
"Maaf..." Febby langsung melepaskannya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang