Kali ini tak hanya Bella yang membujuk Mawar agar Ammar yang mengasuh Sultan, akan tetapi Naya juga tengah berusaha membujuknya lewat telepon. Hal itu membuat kepala Mawar tambah pusing. Nyaris saja ia membanting ponselnya di lantai, namun setelah berpikir ulang ia pun membantingnya diatas ranjang.
"Hallo...hallo Mawar...kamu masih ada disana kan?"
Namun Mawar tidak menghiraukan Naya yang masih berharap mendengar pembicaraannya.
"Malah di matiin lagi" Naya menggerutu kesal. "Gimana caranya supaya Mawar mau menyerahkan Sultan sama Ammar? Haah..." Naya tak bisa berpikir apa-apa kecuali melepaskan nafas kasar.
Sementara di kediamannya, Bella membantu Ammar menelan obat setelah menyuapinya makan.
"Habis ini mas istirahat ya, nggak usah mikirin Sultan dulu" Bujuk Bella membaringkannya dan juga menyelimutinya.
"Tapi dia anak saya"
"Iya saya tau mas, tapi untuk sekarang, lebih baik kamu pikirin dulu kesehatan kamu"
"Tapi..."
"Sudahlah, gimana mas bisa menyelesaikan permasalahannya kalau kondisinya sekarang seperti ini, coba mas pikirkan, apa bisa?"
Ammar menghela nafas dalam-dalam, menyadari kondisinya yang tidak memungkinkan kalau harus berupaya membujuk Mawar yang memang keras kepala. Rasanya tidak mungkin juga Mawar menyerahkannya dengan mudah, jadi ia butuh cara untuk meluluhkan hati Mawar, karena jalan satu-satunya ada di Sultan. Seandainya Sultan bisa bicara, tentu akan mudah, tapi sayangnya Sultan belum bisa bicara, itu yang membuatnya sulit meskipun ia tau Sultan merindukan sosok Ayah.
"Sekarang mas istirahat ya" Pinta Bella sembari mengusap keningnya.
"Sayang mau kemana?" Ammar menahan lengan Bella yang ingin beranjak meninggalkannya.
"Mau ke dapur"
Melihat Bella menunjuk mangkuk kotor bekasnya makan, Ammar pun membiarkannya melangkah ke dapur, tapi sebenarnya Bella justru berhenti di depan pintu kamar tanpa sepengetahuannya. Disaat itu pula Ammar menatap foto Sultan dari ponselnya.
"Maafin papa ya...kalau selama ini papa sudah menelantarkan kamu"
Miris ketika Bella mendengar kalimat Ammar yang sangat menyesali perbuatannya.
"Saya tau yang kamu butuhin hanyalah Sultan, tapi setidak-tidaknya kamu harus pikirkan kesehatan kamu mas, jujur saya sedih kalau harus melihat kondisi kamu seperti ini..." Mata Bella tampak berkaca-kaca, namun ia tak ingin sampai menangis.Setelah satu jam Febby menunggu diruang tamu, akhirnya Verrel pulang juga. Dan begitu Verrel membuka pintu, Febby sudah berdiri di depannya. Nyaris saja pintu itu mengenai jidat Febby yang menyeringai masam.
"Sorry sorry bunda, tadi Ayah nggak lihat" Tapi Febby tak menggubris permintaan maaf tersebut, ia justru menatapnya penuh selidik.
"Bunda kenapa ngeliatin Ayah kayak gitu banget sih?" Tegur Verrel mulai bergidik, apalagi posisinya pandangan Febby kini mengitari tubuhnya.
"Tadi Ayah habis ketemu sama siapa?"
"Tadi Ayah habis ketemu sama Rista, dan..."
"OOO BAGUS..." Belum juga selesai Verrel bicara Febby sudah berteriak. "Jadi diem-diem Ayah ketemuan sama penggemarnya, iya?"
"Bunda jangan salah paham dulu"
"Salah paham apa? Memangnya mau ngejelasin apa lagi hah...?"
"Iih bunda mah suka cemburuan"
"BODO..." Dengan menahan amarah, Febby masuk ke kamar disaat ketiga anaknya mengintip dari balik tembok.
Rupanya sejak awal percekcokan orangtuanya, mereka tergerak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tadinya Almeera ingin menengahi mereka, tapi Imam melarangnya.
"Kalian ngapain disini?" Tegur Febby berlagak tidak ada masalah apa-apa.
"Bunda cama Ayah tenapa? Lagi belantem ya..." Dengan lembutnya Almeera bertanya balik, "Oh Ayah sama bunda nggak apa-apa kok, bukan berantem" Verrel menjawab pertanyaan itu untuk menghapus kebingungan Febby sambil bersikap mesra padanya, karena ia tidak ingin anak-anaknya tau permasalahan mereka. "Udah sekarang kalian tidur ya, udah malem, Ayah sama bunda juga udah ngantuk mau tidur, ya kan bun?" Dengan sengaja Verrel melirik Febby dalam keadaan merangkulnya.
"Bisa banget ya ngerayunya, awas aja nanti" Febby berkata pelan setengah mengancam suaminya yang lagi tebar pesona.
Ketika si kembar kembali ke kamar, Febby langsung menginjak kaki Verrel sekuat-kuatnya. Teriakan Verrel tertahan merasakan injakan kaki Febby yang memakai sendal, tapi ia tetap berupaya untuk senyum walau sebenarnya terpaksa. Entah apa maksud Verrel, Febby juga tidak tau.
"Bunda kenapa sih? Ini namanya KDRT tau nggak, kekerasan dalam rumah tangga" Tegas Verrel.
"Terus kenapa memangnya? Mau ngadu sama pak RT atau sama polisi, oke, aku juga bisa ngadu kalau suami aku yang namanya Verrel Bramasta ini tukang selingkuh"
"Ya Allah siapa yang selingkuh sih bun, aku nggak selingkuh, aku cuma ketemu sama Rista buat..."
"Buat apa?"
Di dalam kamar pun mereka masih sama-sama egois dan tidak mau mengalah. Febby yang merasa di khianati benar-benar jengkel, disisi lain Verrel juga tidak terima atas tuduhan Febby karena ia tidak pernah melakukan seperti yang di tuduhkan itu. Akibat kemarahan Febby belum reda, Verrel jadi tidak bisa berpikir jernih.
"Ayah tidur diluar" Ketus Febby melemparkan bantal dan guling yang kemudian di tangkap Verrel.

KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...