"Jadi Mawar lagi hamil" Bella membatin sembari melirik kekhawatiran dimata Ammar.
"Dia anak kamu Mawar, apa kamu tega membunuhnya?" Maki Ammar dengan emosi.
"Jangan Mawar, itu adalah anugerah dari Allah, justru itu yang diharapkan sama semua orang" jelas Bella menasehati, tapi Mawar malah mengacungkan pisau dengan sepotong nanas yang siap ditelan.
"Pliss Mawar jangan, saya sangat menginginkan anak itu" Ammar kembali memohon sambil mendekat.
"Kamu cuma menginginkan anak ini, tapi nggak menginginkan aku, jadi untuk apa aku mengandungnya dengan susah payah?"
"Kata siapa Ammar nggak menginginkan kamu, Kalau Ammar cuma menginginkan anak saja, nggak mungkin dia menikahi kamu" bujuk Bella.
"Tapi Ammar nggak pernah ngasih perhatian sama aku, apalagi mencintai aku, NGGAK PERNAH..." Perlahan-lahan air mata mengalir dari sudut mata Mawar.
Ammar memanfaatkan kelemahan Mawar untuk merebut pisau dan nanas itu. Memaksa dirinya memeluk Mawar dihadapan Bella, perempuan yang sangat dicintainya. Bella berupaya menepis cemburunya, walaupun ia tau itu hanyalah keterpaksaan.
"LEPASIN..." Perintah Mawar menampik tangan Ammar yang kembali ingin merengkuhnya.
Mawar bergegas menuju tangga ingin ke kamar, sedangkan Bella pamit pulang.
"Sayang..." Panggilan Ammar begitu lirih.
"Saya bisa mengerti, jadi tolong biarkan saya pergi"
Bella berhenti sejenak didepan mobilnya yang terparkir dihalaman sembari menoleh kearah pintu. Hatinya berharap Ammar mengejarnya, tapi ia juga tahu bahwa Ammar lagi di posisi sulit.
"Maafkan saya, saya bukannya tidak mau mengejar kamu, tapi saya bingung..." Batin Ammar bergejolak menatapnya dari tirai kaca.
"Kamu tidak perlu meminta maaf, tidak ada yang salah dalam diri kamu, kamu sudah melakukan hal yang benar" Bella juga membatin.
Mereka seolah-olah bisa memahami isi hatinya masing-masing. Tangan Ammar terulur ingin memanggil, tapi Bella sudah masuk kedalam mobil dan pergi.Jam 4 subuh, si kembar sudah berkicau seperti burung yang asyik bermain sendiri di dalam boxnya masing-masing. Semakin usianya bertambah, mereka semakin lincah saja. Terkadang tawanya sampai terdengar dikamar Vani, terkadang juga berteriak kesal karena tidak bisa menggapai mainan yang menggantung di box itu. Mereka tidak memperdulikan orangtuanya yang entah masih mengantuk atau terganggu. Verrel perlahan-lahan ingin membuka matanya, namun sulit dibuka. Tangannya meraba-raba ke Febby disebelahnya, namun rasanya lembut dan lembek. Lantas ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Ternyata yang disebelahnya cuma guling.
"Hallo si tampan dan cantik..."
Senyumnya menghiasi bibir menyapa si kembar.
"Lagi main sendiri ya, kasian banget anak Ayah nggak ada yang ngajak main..." Verrel mengajaknya bicara sambil mengelus kening mereka satu-persatu. Mereka tampak riang menyambut sentuhan tangan Ayahnya itu, sehingga mereka tak henti-hentinya memberikan senyuman dan tawa.
"Bunda kalian mana...? Pasti ketiduran di kamar mandi, kebiasaan banget sih" tapi dicek dikamar mandi, kosong.
Febby yang lagi lari-lari kecil di area komplek, memang sengaja pergi diam-diam sebelum Verrel bangun. Tekadnya menurunkan berat badan sudah bulat. Apalagi mengingat penampilan Nasya yang seksi, ia semakin semangat berolahraga. Rasa lelah yang menderanya pun tak dihiraukan. Lagi enak-enaknya menggerak-gerakkan tubuh, matanya terbelalak kala melihat Nasya jogging dari kejauhan. Celana pendek diatas lutut, serta tank top yang menghiasi tubuh Nasya membuat Febby menaikkan bibirnya sebelah. Jengkel, cemburu dan iri menyelimuti pikirannya. Sementara dirinya mengenakan celana training dan baju sedikit gombor. Semangatnya yang menggebu-gebu kini hilang bak ditelan bumi.
"Febby..." Sapa Nasya terkejut. "Lo jogging juga?"
Febby memaksanya dirinya untuk senyum.
"Ada hal penting yang mau gue omongin" ucap Febby serius.
"Oia, mau ngomong apa?"
"Nanti akan gue kasih tau kita bisa ketemu dimana"
Tatapan yang dingin itu bikin Nasya penasaran dan bertanya-tanya, tapi membiarkannya pergi.Tatapan Ammar masih saja dingin terhadap Mawar yang lagi menyingkap tirai jendela kamar. Sampai saat ini Ammar belum bisa menerima Mawar sebagai istrinya. Namun ras ibanya muncul kala Mawar memegangi perutnya yang terasa mual. Ammar menghampiri Mawar yang lagi muntah-muntah. Ia sadar selama ini sudah menyia-nyiakan Mawar yang sudah mengandung anaknya. Ammar ingin menuntunnya kembali ke kamar.
"Jangan sentuh aku" ancam Mawar dengan nafas memburu.
"Hari ini kami harus tinggal bersama saya di rumah, jadi kamu harus beresin pakaian kamu"
"Maksud kamu? Aku juga harus tinggal bersama Bella, begitu?"
"Ya kenapa tidak?"
"Nggak aku nggak mau"
"Itu juga untuk kebaikan kamu Mawar"
"Kebaikan apa?"
"Supaya saya bisa menjaga kamu"
Mawar tampak berpikir. Sementara dikediaman yang berbeda, Bella risau memikirkan Mawar. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Mawar.
"Gimana kalau seandainya Mawar melakukan hal bodoh lagi?" Bella melepaskan nafas panjang. "Saya harus telpon Ammar"
Tapi setelah handphone ada dalam genggaman, ia ragu harus menghubungi Ammar atau tidak.
"Hallo..." Akhirnya ia menelepon juga.
"Iya sayang" Ammar menjawabnya bisik-bisik agar tidak didengar oleh Mawar.
"Gimana dengan keadaan Mawar?"
"Tidak usah mengkhawatirkannya, dia baik-baik aja"
"Ya udah, tapi jangan lupa nanti kita harus menghadiri pernikahan mama"
"Nanti saya jemput ya"
"Assalamualaikum..."
"Walaikumsallam..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...