part 54

232 24 0
                                    

Minggu pagi, Verrel sudah disibukkan dengan ponsel. Ia sengaja meninggalkan Febby di kamar sendirian untuk menghubungi seseorang. Agar tidak terdengar oleh Febby terpaksa ia berbicara di teras.
"Oia dok, apa di Rumah Sakit ini ada pendonor mata?" Tanya Verrel.
Dari garis wajah yang ditunjukkan Verrel sepertinya jawabannya sangat mengecewakan. "Iya dok terimakasih"
Verrel kembali menghubungi Rumah Sakit yang kedua, tapi Verrel juga mendapatkan jawaban yang sama yaitu tidak ada. Yang terakhir, Verrel menghubungi Rumah Sakit Husada. Tapi lagi-lagi Verrel kecewa. Tiba-tiba Febby nyelonong melewatinya.
"Sayang mau kemana?"
"Vibi bisa nggak antar aku?"
"Kemana?"
"Aku mau latihan piano, pokoknya aku harus bisa"
Tanpa ba-bi-bu, Verrel langsung membopongnya ke dalam mobil.
"Vibi lepasin..." Febby meronta-ronta, tapi sebenarnya sih suka, suka banget malahan.
Hanya saja ia terlalu malu karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
"Udah jangan bawel" cerca Verrel tak peduli, namun ternyata sendal Febby terlepas.
"Tu kan sendal aku" Febby cemberut.
"Wah sendal Cinderellanya ilang..." Goda Verrel setengah bercanda.
"Iih apaan..." Febby menahan tawa meskipun ia tidak bisa melihat secara langsung guyonan si gagu kesayangannya.
Sedangkan Verrel memungut sendal Febby dan memakaikan ke kakinya.

Sementara didalam mobil, Wahyu gelisah memikirkan uang Mawar yang harus digantinya.
"Di Sinema aku udah di pecat, jalan satu-satunya aku harus menjual saham, tapi kalau aku menjual semua sahamku, otomatis aku nggak punya apa-apa lagi, haaah sial..., Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Otaknya berpikir keras. Sementara itu, Mawar terlihat seperti menghubungi seseorang dari atas balkon.
"Pa tolong kirimin Mawar uang dong"
"Kamu sudah menghabiskan uang perusahaan papa, sekarang kamu masih minta kirimin uang, memangnya semua uangnya kamu kemanain?"
"Nanti juga Mawar kembaliin pa"
"Maaf nggak bisa"
Wajah Mawar semakin kecut ketika papanya langsung menutup telponnya.
"Awas aja kalau sampai hari ini om Wahyu belum juga mentransfer uangnya, aku akan tuntut dia!"

Dibawah flyover, terlihat Wira begitu semangat lari pagi. Ia bertekad ingin memenangkan lomba lari yang diselenggarakan kampus Darmajaya. Setiap tahun kampus itu memang selalu mengadakan acara yang berjenis sea games. Wira tak ingin melewatkan perlombaan yang diikuti dari berbagai universitas. Sampai di area perkomplekan, ia bertemu dengan Ammar yang sedang mengelap keringat diwajah Bella memakai handuk kecil. Rupanya mereka baru saja selesai jogging.
"Ciee romantis banget sih pak..." Wira menggodanya.
"Apanya yang romantis, orang cuma ngelap keringat aja kok" bantah Bella.
"Oh kurang romantis kali ya" Ammar lalu mematahkan bunga di taman komplek itu.
Berhubung Bella memakai hijab, terpaksa Ammar menyematkan bunga itu diatas kepalanya. Membuat Bella seperti patung tak mau bergerak kecuali matanya melirik keatas.
"Masak di atas kepala sih?" Tanya Bella ngambek.
"Terus dimana dong? Di hidung? Hidungnya kan pesek, hahaha..."
Tak ingin jadi penonton adegan romantis-romantisan, Wira meninggalkan mereka sambil menggaruk-garuk kepala.
"Coba kalau Livia mau jadi pacar gue!" Bayangannya menerawang menjadi pacarnya Livia.
Sementara Ammar berjalan sambil merangkul Bella yang sepertinya masih marah akibat dibilang pesek. Padahal kalau dilihat-lihat tidak pesek kok. Itu hanya berupa candaan Ammar saja.

Nampak dari kejauhan, Verrel tengah menggendong Febby menyusuri bibir pantai. Menikmati hembusan angin sambil bertelanjang kaki. Febby berusaha menangkap betapa indahnya pemandangan itu. Apalagi Verrel berceloteh mengatakan apa saja yang sedang mereka lewati. Mulai dari burung-burung yang beterbangan, bukit-bukit yang jauh di sana, bahkan bisikan semilirnya angin pun diceritakan. Walaupun Febby harus berkorban, tapi Febby sangat bersyukur bisa memiliki Verrel yang begitu sayang padanya. Febby seperti anak kecil yang sedang mendengarkan dongeng dari seorang Ibu.
"Bukannya Vibi mau nganterin aku latihan piano ya?" Febby akhirnya bersuara.
"Iya sebentar lagi kita latihan"
Diatas pasir putih yang terbentang luas ada sebuah piano dan dua kursi. Verrel menuju ke sana. Didalam hati, ia sangat berterimakasih kepada teman-temannya yang sudah menyiapkan itu untuknya. Sambil tersenyum Verrel menoleh kearah Livia, Aldo dan Reno yang memperhatikan mereka dari bawah pohon. Secara tak sadar air mata Livia menetes. Mungkin karena iba atau sedih melihat sahabat terbaik harus melewati ujian yang begitu berat. Tapi ia yakin itu tidak akan berlangsung lama.
"Gue yakin mereka bisa melewati ujian ini" celetuk Aldo yang ikut terharu.
"Ya, karena cinta mereka begitu kuat" tambah Livia.
Lantas Verrel dan Febby duduk dihadapan piano itu. Saat Verrel menyentuh not not pianonya, Febby sedikit kaget tapi bibirnya tersenyum lebar.
"Sekarang kita latihan" ajak Verrel sambil menggenggam kedua tangan Febby menyentuh not piano itu. Sambil memainkan piano, mereka menyanyikan lagu Cinta Kita Muda dengan syahdu dan merdu. Dari situ Febby bisa merasakan letak-letak nada yang harus ia tekan. Sontak pengunjung pantai bertepuk tangan mengelilingi mereka. Ikut menikmati indahnya lantunan nada piano tersebut.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang