"Gue udah nggak kuat lagi rel..." Keluh Febby menahan rasa perih ditangannya.
"Lo nggak boleh menyerah lo harus bertahan" Verrel menarik tangan Febby dengan kuat, tapi keringat yang membanjiri telapak tangannya membuatnya sulit untuk menariknya ke atas.
Febby sudah bersusah payah untuk berpegangan, tapi tampaknya ia mulai kelelahan. Semua crew sudah berusaha menolongnya, tapi semua sia-sia. Lama kelamaan genggaman tangan Febby mengendur.
"FEBBY..." Verrel berteriak sekencang-kencangnya ketika tangannya terlepas.
Verrel berharap ini cuma mimpi, tapi kenyataannya Febby benar-benar terjatuh. Febby...!" Lirihnya menatap bayangan Febby.
Namun dibawah semua orang sudah bersiap-siap menyediakan beberapa matras.
"BUGG..." Febby jatuh terhempas diatas matras.
Mobil ambulance sudah dipersiapkan oleh mereka untuk membawanya ke rumah sakit. Dari atas gedung, Verrel berlari dan menuruni anak tangga. Meskipun kakinya sempat terpeleset karena tergesa-gesa, tapi Verrel tak mempedulikannya. Ia kembali bangkit dan bergegas menghampiri Febby. Tanpa diminta Verrel langsung masuk kedalam ambulance menemani Febby.
"By..., ayo bangun, dengerin gue" Verrel terisak-isak menangis. Ia mendekap tubuhnya erat-erat, tapi tetap saja Febby tak bergerak sedikitpun. Sepertinya Febby mengalami patah tulang di bagian kaki dan tulang belakang. Karena posisinya terjatuh tadi kurang tepat, sehingga mengakibatkan cidera. "CETARR..." Sontak saja gelas yang dipegang Naya terjatuh.
Tiba-tiba tangannya lemas dan gemetar. Naya langsung teringat Febby dan Ammar. Ia takut terjadi sesuatu dengan anak-anaknya.Setelah di otopsi, Winda dimakamkan di TPU didekat perumahannya. Namun Livia, Aldo dan Wira heran kenapa pemakamannya tidak dihadiri oleh kedua orangtua maupun kerabatnya. Bahkan Dokter yang mengotopsi mayat Winda turut hadir. Disana juga ada dua polisi yang mengawal berlangsungnya pemakaman.
"Oia dok, bagaimana dengan hasil otopsinya?" Tanya pak polisi setelah acara pemakaman selesai. "Biar semua orang tau, karena Winda ini hidup sebatang kara" lanjutnya.
"berdasarkan hasil otopsinya, saudari Winda memang melakukan bunuh diri dengan cara menyayat urat nadinya menggunakan silet" jelas Dokter.
"Bener kan apa kata gue" bisik Aldo pada Livia.
"Sssst jangan berisik, lo mau dihantuin Winda" Livia menakut-nakuti.
"Iiih apaan sih lo..." Bulu kuduk Aldo jadi merinding menatap makam tersebut.
"Mangkanya jangan banyak omong" cerca Wira.
Dari kejauhan, Andin melihat mereka. Andin tidak berani menampakkan diri. Ia masih minder kepada teman-temannya akibat perbuatannya terhadap Febby. Gue nggak nyangka lo mengakhiri hidup dengan cara kayak gini win!" Lirihnya.
Setelah semua orang pergi, barulah Andin mendekati makamnya. Dengan menggunakan kacamata hitam, ia menaburi bunga diatasnya. Maafin gue win, mungkin kalau waktu itu gue menolak untuk kerjasama, hidup lo nggak akan berakhir seperti ini...!"Masih didepan rumah sakit. Ammar meminta izin kepada Vani untuk membawa Bella ke rumah mamanya, tapi Vani tidak mengizinkannya. Sedangkan Wahyu membuang mukanya jauh-jauh. Wahyu tidak mau beriringan bersama mereka. Ia kemudian menghubungi Juan.
"Iya bos" jawab Juan didalam telpon.
"Temui saya di cafe permata sekarang" ucapnya bisik-bisik, rupanya ia tidak mau kalau pembicaraannya sampai terdengar.
"Lebih baik Bella ikut mama" ucap Vani.
"Tapi..." Bella masih bingung siapa yang harus dipilih, yang satu suaminya yang satu lagi Ibunya.
"Ya sudah, kamu ikut mama aja dulu untuk sementara waktu" pinta Ammar.
"Nanti kalau keadaannya sudah membaik, kalian bisa tinggal di manapun yang kalian inginkan" tambah Vani.
Vani mengajak Wahyu dan Bella pulang.
"Kali ini aku akan ikuti saja dulu keinginan mereka" Wahyu membatin sambil menatap Ammar, tapi Ammar tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Saya juga akan ikuti permainan kamu Wahyu" tatap Ammar balik.
Lalu Wahyu masuk kedalam mobil bersama Vani dan Bella, sedangkan Ammar menuju ke mobilnya. Tak jauh dari mereka ambulance yang mengantar Febby datang. Suster dan Dokter yang sudah siap langsung segera membawanya ke ruang IGD. Sambil mondar mandir diluar, Verrel menghubungi Wira tapi tidak diangkat-angkat. Begitu juga dengan Livia dan Aldo. Disaat genting malah nggak bisa dihubungi, pada kemana sih semuanya?" Ingin rasanya Verrel menjerit dan membanting ponselnya.
Yang bisa ia lakukan saat ini hanya berdoa. Berharap Febby cepat sadar dan sembuh. Kemudian ia mengirim pesan kedalam grup. Saat itu Livia kebetulan sedang membaca pesan tersebut yang mengatakan kalau Febby mengalami kecelakaan dan sekarang lagi di Rumah Sakit Medika. Tanpa ba-bi-bu Livia meninggalkan pekerjaan rumahnya.
"Apa kamu keluarganya?" Tanya Dokter setelah menangani Febby.
"Saya temannya dok" jawabnya.
"Mari ikut saya" ajak dokter ke ruangannya, Verrel mengikuti dari belakang.
"Tulang kaki saudari Febby retak, jadi harus segera dioperasi, kalau tidak maka tulangnya akan membusuk" jelas Dokter.
"Lakukan yang terbaik dok, saya yang bertanggung jawab"
"Apa pihak keluarganya sudah dihubungi?"
"Sudah dok, Oia, apa saya sudah boleh masuk?"
Dokter mempersilahkannya masuk.
Verrel duduk sambil menggenggam tangan Febby sangat erat. By... lo harus sembuh, gue sayang sama lo, gue nggak mau kehilangan lo...!" Rintihnya pelan.
Verrel benar-benar takut kehilangan Febby. Namun tak disangka semua perkataan Verrel masuk kedalam mimpinya Febby.
"Udah bilang aja terus terang nggak usah malu, lagian gue tau ko kalau lo itu sebenarnya suka sama Febby dari dulu" celetuk Livia muncul secara tiba-tiba.
"Hehehe..." Verrel jadi salting nggak karuan. "Lo semua pada kemana sih? Ditelponin nggak ada satupun yang ngangkat!" Wajah Verrel berubah bete untuk menutupi rasa malunya.
"Sorry sorry, yang penting sekarang gue udah dateng kan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
Ficção GeralApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...