part 138

186 20 7
                                    

Kini tinggal Verrel dan Febby yang masih di kantin kampus. Febby penasaran dari mana ia bisa mengetahui bukti kecurangan Andin. Dengan panjang lebar Verrel menceritakan semuanya, dari meminta penjaga cctv mengecek segala kegiatan yang ada didalam kantor, maupun juga kegiatan didalam ruangan tersebut.
"Febby pikir semua itu akan berlalu begitu aja, tapi ternyata Vibi nyari bukti itu, makasih ya, Vibi udah mengembalikan nama baik Febby" Ucap Febby.
"Hmmm..." Verrel hanya berdeham sambil menyandarkan kepalanya dibahu Febby.
Matanya mulai redup. Sepertinya ia mengantuk sekali, sampai akhirnya tertidur. Sementara Febby masih melanjutkan celotehannya.
"Vibi..." Panggilnya, tapi tak ada jawaban. "Ya Allah tidur lagi, bangun..."
"Sebentar aja sayang aku ngantuk banget, semalam aku nemenin Yusuf sampai subuh"
"Jadi Vibi sama Yusuf nggak tidur sampai subuh" Febby membatin tak tega, sehingga ia membiarkan Verrel tidur sejenak untuk melepas kantuk.
Dielus-elusnya rambut sang suami sambil tersenyum menatapnya.
"Bahu Febby kayak bantal ya, sampai tidurnya nyenyak banget...!"
Namun tiba-tiba air gelas yang ada di mejanya muncrat ke wajah mereka, akibat bola pimpong yang dilempar Iwang masuk ke dalamnya.
"Ujan ya..." Panik Verrel bangun seketika.
"Hahaha..." Iwang dan teman-temannya mentertawakan tingkah Verrel yang seperti kebakaran jenggot.
Mengetahui Febby tengah mengelap wajah basahnya, spontan Verrel melemparkan bola pimpong itu dan mengenai kening Iwang.
"AAAGH..." Iwang memekik kesakitan.
Teman-temannya sempat ingin memukul Verrel beramai-ramai, tapi Febby memasang badan menghalanginya.
"Kalau aja bukan perempuan, udah gue habisin lo" Ancam salah satu dari mereka.
"Ya udah kalau gitu, anggap aja gue laki-laki" Balas Febby.
Verrel bermaksud ingin menghajar mereka, tapi Febby justru menariknya ke belakang. "Inget ya, ini kampus punya siapa, kalau mau, Verrel bisa aja ngeluarin lo dari sini, tapi Verrel nggak pernah menganggap lo sebagai musuh"
"Aduh gue nggak ikut-ikutan deh"
"Gue juga"
"Iya gue juga"
Sahut teman-temannya meninggalkan Iwang sendiri. Akhirnya Iwang juga pergi.
"Haah..." Febby melepaskan nafas kasar, menghempaskan dirinya ke kursi. "Febby nggak mau ada kekerasan didalam kampus"

Pulang dari membawakan makanan untuk Wahyu, Vani cepat-cepat mencuci rantangnya supaya tak ada yang curiga.
"Mudah-mudahan mas Rifki masih di kantor"
"Bukannya tadi mama dari kantor papa ya?"
Pertanyaan Anice yang tiba-tiba muncul membuatnya terkejut.
"Anice kamu ngagetin mama aja deh ah"
Anice lalu lekas ke ruang keluarga ketika telepon rumah berbunyi.
"Iya hallo" Jawabnya.
"Apa mama Vani udah pulang?" Tanya Rifki yang masih dalam perjalanan.
"Udah pa"
Mendengar hal itu, Vani mulai ketakutan. Jangan-jangan Rifki tau kalau ia menjenguk Wahyu di rutan. Itu yang ada dibenaknya saat ini.
"Aduh gimana ini?" Vani tampak gelisah dan mondar mandir didalam kamar. "Nggak nggak, aku nggak boleh berpikir negatif, mungkin ini cuma perasaanku aja"
             Sementara di cafenya Alan, Mawar tengah berbicara sendiri memaki-maki sekretarisnya Rifki. Setelah dihadapkan menu oleh seorang waiters, Mawar baru sadar kalau ternyata itu cafenya Alan. Saat itu juga Alan muncul menghampirinya.
"Apa saya boleh duduk disini?" Tanya Rifki.
"Silahkan aja" Datar Mawar.
"Wah sepertinya kamu lagi ada masalah, why?"
"Biasalah urusan pekerjaan"
"Kalau dipikir-pikir sih, Mawar cantik juga, tapi kenapa Ammar cuma menikahinya saja?" Alan jadi bertanya-tanya dalam hati sembari menatap rambutnya yang seperti habis di blow itu. "Oia, apa aku boleh nanya sesuatu?"
"Memangnya mau nanya apa?"
"Apa Ammar dan Bella itu menikah atas dasar cinta?"
"Kenapa kamu nanya-nanya tentang mereka? Apa jangan-jangan kamu punya perasaan sama Bella?"
"Bukan bukan begitu"
"Terus?"
"Aku cuma nggak habis pikir aja, kenapa Ammar menduakan Bella?"
"Itu karena Bella tidak bisa mempunyai anak"
"Maksud kamu mandul?"
"Bukan mandul, tapi mengidap kista, jadi rahimnya terpaksa diangkat"
"Ooo gitu" Sembari menangkupkan kedua tangannya di dagu. "Kasian sekali Bella"

Di belakang kampus, Feverr melemparkan makanan ikan ke dalam kolam. Kolam ikan itu merupakan kepunyaan keluarganya, jadi ia yang berkewajiban memberinya makan setiap hari.
"Coba deh Vibi liat moncong ikan-ikannya" Seru Febby menunjuk ikan-ikan yang begitu semangat menyambar makanan itu.
"Kenapa memangnya?"
"Sama kayak bibir kamu kalau lagi emosi, monyong-monyong gimana gitu" Canda Febby sembari mempraktekkannya.
"Hahaha..."
"Iih ketawa lagi..."
"Coba gimana tadi bibirnya?" Verrel menempatkan kedua tangannya di pipi sang istri, berharap bentuk bibirnya bisa kembali seperti yang dipraktekkan tadi. "Kenapa aku bisa suka sama gadis seperti ini ya?" Setengah bercanda Verrel mengamati wajah, mulai dari kening, hidung, bibir, yang terakhir dagu.
"Ya jelas aja karena Febby cantik, ya kan?" Dengan pede Febby membanggakan dirinya.
"Salah"
"Haah, kok salah? Terus apa dong?"
"Karena sifat Febby yang bikin aku tertarik"
Febby memicingkan sudut matanya sambil berpikir.
"Sama satu lagi, hidung peseknya ini lho" Verrel menyentil hidung bangirnya pelan.
Eh yang di sentil malah senyam senyum. Ia senang dengan pengakuan itu. Selama ini ia selalu diejek dengan sebutan pesek, namun ternyata Verrel menyukainya.
"Oia, nanti aku mau ke rumah mama Vani" Ucap Verrel mengajaknya duduk.
"Aku ikut"
"Tapi habis itu, anterin aku ke kantor polisi ya"
"Ke kantor polisi, mau ngapain?"
"Kan motor aku masih disana belum diambil"
"Oia ya"
Febby memperhatikan Verrel yang lagi mengumpulkan beberapa batu kerikil yang ada di sekitarnya. Entah apa maksudnya? Tapi ia juga penasaran apa yang akan di lakukan Verrel setelah itu. Dari jarak yang cukup jauh, Verrel menimbang-nimbang batu yang di pegangnya. Tatapan matanya begitu tajam mengarah kepada bekas aqua gelas yang sudah di lubangi.
"Yeaa..." Girang Febby saat bidikan pertamanya masuk.
Barulah ia mengerti kalau Verrel tengah menguji tembakannya untuk mempertajam skill di bidang basket. Begitulah seterusnya.
"Eh kita udah mau masuk" Ucap Febby setelah melihat jam di pergelangan tangannya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang