Sebelum meninggalkan Wahyu yang masih merasakan kesakitan, Prima kembali menghantamnya dengan baseball itu. Tak pelak tubuh Wahyu terasa remuk. Mau berdiri saja sepertinya tidak sanggup.
"Untung saya masih punya hati" nafas Prima naik turun menatapnya penuh dendam.
"Lebih baik kita pergi" ucap Naya.
Tangan Wahyu hanya bisa terulur setengah, berharap mereka membantunya untuk berdiri, tapi mereka justru meninggalkannya. Hujan turun dengan derasnya. Seakan menambah kepedihan yang dirasakan Wahyu.
"Aku berharap kamu sehancur hancurnya Wahyu" tatap Naya dari kaca spion.
Tapi sejenak kemudian. Keberuntungan masih berpihak pada Wahyu, karena ada yang menolongnya membawa ke Rumah Sakit.Pulang dari touring, Ammar beserta rombongan berpisah di persimpangan jalan pada saat cuaca masih sedikit gelap, namun sebelumnya Ammar memberi kode tetap santai di jalur yang benar dan jangan ugal-ugalan. Dari atas motor mereka mengacungkan jempol tanda mengerti. Setelah dijalan yang berbeda, mobil Verrel tiba-tiba mengalami masalah.
Verrel lalu memperlambat kecepatannya sembari menoleh ban depan dan belakang.
"Kenapa mobilnya?" Tanya Febby cemas.
"Kayaknya bannya pecah deh"
Terpaksa Verrel berhenti dan mengecek kondisinya. Setelah dilihat ternyata ban belakangnya tertancap paku.
"Huuh..., Pecah lagi"
Secara kebetulan rintik hujan mulai membasahi bumi. Demi bisa melanjutkan perjalanan, Verrel mengeluarkan ban serep untuk menggantinya. Febby lalu turun sembari membawa payung.
"Febby didalam aja hujan..." Ucap Verrel mulai mendongkrak melepaskan ban yang bocor itu.
"Aku mau mayungin Vibi biar nggak kehujanan"
Ia tau itu pekerjaan laki-laki, tapi ingin sekali ia membantunya.
"Udah nggak apa-apa aku bisa sendiri kok" Verrel seolah-olah tau apa yang sedang dipikirkannya.
"Hmmm ternyata Vibi bisa membaca pikiran aku ya"
"Ya iya lah, karena yang namanya Verrel itu memang bisa membaca pikiran orang"
"Hmmm..."
Febby lalu menengadahkan tangan merasakan sentuhan gerimisnya hujan, sehingga kepala Verrel tak sengaja kena air hujan karena payungnya agak miring. Melihat hal itu Febby kaget dan meminta maaf. Namun tatapan Verrel pada Febby yang dalem banget, bikin hatinya meleleh. Apalagi aliran air dari atas kepalanya jatuh mengaliri wajah coolnya. Tekanan tangan Verrel ke pinggangnya semakin mendekatkan tubuhnya pada aroma khas yang dimiliki Verrel. Semakin berkeringat, ia justru semakin tergoda pada sosok laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu. Untung bannya sudah terpasang, jadi ia bisa berlama-lama saling bertatapan.
"Masa kecilnya kurang bahagia ya...? Makanya mainin air hujan?"
Febby tercekat. Ia pikir Verrel akan menciumnya, tapi ternyata malah menyindirnya dengan candaan. Sedikit kecewa sih, tapi itu tak mengurangi rasa kekagumannya.
"Ayo masuk" perintah Verrel sembari memegangi payung.Sementara itu, Wira mengantar Nasya ke kontrakan rumah yang cukup sederhana, karena Nasya hidup sebatang kara. Meskipun ia bisa membeli rumah yang cukup layak, karena sukses jadi peran pendamping di sinetron suara hati, tapi ia lebih memilih tempat sederhana itu.
"Lo tinggal disini sendiri?" Tanya Wira.
"Iya, emang kenapa?"
"Ya nggak apa-apa sih, terus orangtua lo tinggal dimana?"
"Gue..., Gue udah nggak punya siapa-siapa, orangtua gue meninggal pas gue masih kecil"
"Sorry ya sya, gue nggak tau"
"Nggak apa-apa kok, lagian gue udah nggak mempan lagi untuk sedih-sedihan" Nasya tetap berusaha tegar walau harus terpaksa. Meskipun sifatnya masih tomboi, tapi tetap saja naluri sebagai perempuan tak bisa hilang. Ia cuma tidak mau menunjukkan kesedihannya didepan orang-orang. Makanya ia jadi tomboi agar tidak dianggap lemah oleh kaum laki-laki. Tapi sekarang beda. Ia sudah mengubah dirinya menjadi lebih feminim semenjak Verrel menikah dengan Febby.
"Mmm ya udah kalau gitu gue pulang ya, mau ke kampus soalnya"
"Awas jangan suka bolos" canda Nasya ketika Wira mengenakan helm.
"Sorry ye nggak pernah tuh, assalamualaikum..."
"Wallaikumsalam..."
Nasya masih mengamatinya sampai benar-benar menghilang.4. Untuk mengambil hatinya Ammar, Mawar diam-diam nyelonong ke dapur datang membawakannya bubur ayam. Kebetulan sih memang Bella belum sempat menyiapkan makanan apa-apa dimeja, karena baru pulang dari touring. Ketika ingin memanggilnya, ia tak sengaja melihat Bella memakaikan dasi Ammar. Rasa cemburunya mendadak muncul mengintip dari pintu yang terbuka sedikit. Dilihat Bella belum bersiap-siap, Ammar agak heran.
"Sayang tidak ke kampus?" Tanya Ammar.
"Mmm nanti siang saya baru ke kampus"
"Kenapa tidak sekarang saja? Biar bisa barengan"
"Saya kan belum siap-siap, lagian kamu kan ada jam pelajaran pagi ini, jadi harus berangkat duluan"
Ammar kaget melihat sekelebatan bayangan Mawar didepan pintu. Mawar sudah tidak bisa menghindar karena Ammar mendekatinya.
"Pagi..." Dengan gemetar Mawar menyapanya.
"Ngapain kamu pagi-pagi datang kesini?"
"Mmm aku kesini, cuma mau nganterin bubur ayam aja kok, siapa tau kamu belum sarapan"
"Bubur ayam?" Bella sedikit keheranan. Tidak biasanya Mawar melakukan hal-hal seperti itu. Apalagi kalau berhubungan dengan peralatan dapur. Jadi rasanya nggak mungkin banget ia mau masakin Ammar bubur ayam.
"Kamu buat sendiri apa beli?" Tanya Ammar lagi.
"Hee..." Nyengiran Mawar terlihat kaku. "Mmm beli sih, soalnya aku nggak bisa masak, tapi udah aku siapin dimeja kok"
Setelah itu Mawar pergi tanpa berpamitan pulang, apalagi ngucapin salam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...