part 63

217 19 0
                                    

Rifki mengajak Anice makan siang di restoran. Rifki memanggil waiters yang berdiri didepan kasir. Si waiters tersebut menghampiri sambil membawa menu. Ia menyerahkan menu itu pada Anice dengan tersenyum ramah. Usai memesan makanan dan minuman, Rifki bertanya tentang Vani.
"Mmm memangnya kenapa pa?" Anice tampak keheranan menopang dagu.
"Menurut Anice, Tante Vani itu baik nggak sih?"
"Ya meskipun baru pertama kali ketemu, tapi menurut Anice baik kok" Anice menerawang ingatannya pada saat ngobrol dengan Vani.
"Gitu ya?" Rifki seperti berpikir sambil menekan jari ke dahi.
Anice langsung menyeruput minuman segar yang baru diantar oleh waiters. Sementara di meja pojok, Wahyu mengawasi mereka dengan berpura-pura membaca menu.
"Jadi dia punya anak perempuan, aku bisa memanfaatkannya nanti"
"Mau pesan apa pak?" Tanya waiters.
"Oh maaf" Wahyu malah pergi begitu saja.
"Tolong menunya jangan dibawa pak" tegur waiters saat Wahyu tak sengaja membawanya.
Rifki menoleh kearah mereka, tapi Wahyu cepat-cepat membalikkan tubuhnya.
"Kenapa aku seperti mendengar suara Wahyu?" Ingatan Rifki menerawang.

Berhubung di kampus Wira tidak ditemukan, Livia mengajak Febby dan Aldo ke hutan mangrove, lokasi ajang kompetisi balap lari dengan kategori, yakni 5KM. Sampai di sana, nampak Ammar sebagai panitia, pak Rektor dan Vani sudah berada ditempat yang tersedia. Sebagai Ibu dari pemilik yayasan otomatis Vani ikut serta dalam acara tersebut, karena Bella tidak bisa menghadirinya. Terlihat ada empat pelari dari universitas Darmajaya yang berkompetisi bersama pelari nasional lainnya yang datang dari berbagai universitas. Mulai dari universitas Gunadarma, universitas Indonesia dll. Peserta yang telah bersiap-siap ada sekitar 30 orang. Namun mereka tidak menemukan Wira diantara peserta-peserta itu.
"Wira kemana?" Febby bertanya pada Livia yang sudah gelisah sejak tadi.
"Gue juga dari tadi nelponin tapi nggak aktif-aktif"
Ammar memberi pengumuman kalau peserta yang bernama Wiratama di diskualifikasi karena waktunya sudah habis.
"Aduh..." keluh Aldo menepuk jidat.
Mereka benar-benar kecewa dan tidak punya harapan lagi, karena kompetisinya sudah berlangsung seru. Terlihat dari kejauhan medannya memang cukup menantang. Selain rute datar, 40 persen treknya adalah off road dan menembus hutan, kadang terhalang akar pohon, dan berbatu saat menembus hutan. Namun mata Livia tak sengaja menangkap sesosok wajah yang tertutup jaket sweater berdiri memperhatikan para pelari. Wajah itu tak asing baginya, karena ia sangat mengenali jaket yang suka dipakai Wira.
"Itu kan Wira" celetuk Livia bergegas menghampirinya.
"Mana?" Aldo penasaran mengikutinya bersama Febby.
Saat Livia menyingkap jaket itu ternyata benar, tapi mereka terkejut melihat wajahnya yang memar-memar. Jelas saja memar. Semalam kan ia habis dihajar oleh Bima dan Erry.
"Muka lo kenapa?" Tanya Livia ingin menyentuhnya.
"Nggak kenapa-napa" Wira menghindar.
"Bonyok begini lo bilang nggak kenapa-napa" cerca Aldo.
"Mendingan lo jujur aja wir" pinta Febby.
"Semalam gue habis dipukulin Bima sama Erry"
"Tu orang nggak ada kapok-kapoknya ya" Aldo mengerucutkan bibir menahan emosi. "Bima pasti sengaja supaya Wira nggak bisa ikut kompetisi ini"
"VERREL..." sontak Febby dan Livia kepikiran Verrel.
"Kita harus cegah Bima jangan sampai berbuat curang, ayo" ajak Aldo.
"Tapi Verrel ada di rumah" Febby masih ragu.
"Lo kayak nggak tau sifat Verrel aja"
Mengingat Verrel orangnya nekad dan tidak gampang menyerah, Febby jadi panik. Mereka lantas buru-buru pergi.

Naya masuk ke kedai kopi sambil mencari sosok Mawar seperti yang ada di dalam ponselnya.
"Tante Naya masih ingat aku kan?"
Tepukan tangan Mawar di pundaknya membuatnya agak kaget. Naya membalikkan tubuh menghadapnya.
"Tante apa kabar?" Sambil menyodorkan tangan, Mawar berbasa basi.
Sebelum Naya flashback mengenai Mawar, Mawar sudah terlebih dahulu mengajaknya duduk. Agar terlihat lebih santai, Mawar memesan dua cangkir kopi.
"Ada apa kamu mengajak saya ketemuan disini?" Tanya Naya bersamaan dengan datangnya kopi.
"Tante minum aja dulu, biar rileks" pinta Mawar sambil memegang cangkir kopinya, lalu sedikit demi sedikit ia meminumnya. "Apa Tante akan membiarkan anak Tante tidak punya keturunan sampai maut memisahkan?"
Naya tersedak minumannya mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa? Apa Tante terkejut?" Mawar kembali bertanya.
"Dari mana kamu tau Bella tidak bisa mempunyai anak?"
"Itu tidak sulit kok Tante, karena dari dulu saya mencintai Ammar, dan saya bisa memberikan Tante cucu kalau Tante mau"
"Bener juga, Ammar kan laki-laki normal, dia harus punya keturunan" pikir Naya.
"Gimana Tante? Tante juga lama-lama akan tua lho, masak iya sampai mati nggak ngerasain nimang cucu" Mawar terus mengompor-ngomporinya.
"Kamu benar, saya nggak mungkin terus-terusan seperti ini"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang