part 120

143 16 4
                                    

"Apa yang kamu inginkan dari saya?" Tanya Ammar kemudian.
"Aku hanya ingin kamu menemani aku, karena ini permintaan bayi yang ada disini" Jawab Mawar menunjuk perutnya.
"Hmmm..." Ammar hanya menghela nafas. "Kalau bukan karena kamu mengandung anak saya, saya tidak sudi berada disini" Batinnya menggerutu.
Ammar berharap Mawar cepat tidur agar bisa meninggalkannya.  Ia benar-benar menyesal sudah menuruti kehendak mamanya. Seandainya waktu bisa di putar kembali. Lebih baik ia mengadopsi anak panti asuhan saja daripada harus menikahi Mawar, tapi nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terlambat. Hanya bisa pasrah mengikuti jalannya takdir.
         Sementara itu Bella menyusuri jalanan sepi. Entah mau kemana tujuannya. Tak ada yang tau. Yang jelas tatapannya tampak kosong. Ia tak menyangka kalau keberadaannya mengundang mata-mata nakal para preman untuk menggodanya.
"Hai cantik..."
"Mau kemana sih buru-buru banget?"
"Mendingan temani kita di sini"
Rayu mereka sambil menyulut puntung rokok. Wajah seram, ditambah rambut panjang bikin Bella bergidik ngeri. Semakin gencar mereka menggoda, Bella semakin ketakutan.
"Maaf saya mau lewat..." Ucap Bella ingin melewatinya, tapi ketiga preman itu justru membuat lingkaran mengepungnya.
"Kalian mau apa? Tolong minggir saya mau lewat"
Mereka tak menggubris perkataan Bella. Justru itu dianggap cuma sebuah lelucon, hingga mereka mulai gencar ingin menyentuhnya. Ada yang ingin membuka jilbabnya, ada juga yang ingin menyentuh wajah cantiknya. Tapi itu tak sampai terjadi, karena Verrel dan Febby tiba-tiba melintas menggunakan motor.
"GRENG GRENG GRENG..." Verrel berhenti sambil memainkan gas motornya. "Bunda pegangan yang kuat ya"
Langsung saja Febby memeluknya erat, karena Verrel meloncatkan motor itu kearah para si preman. Sedangkan Bella berlari ke pinggir menghindari atraksi itu. Setelah itu, Verrel berhenti.
"Bunda berani nggak ngelawan mereka?" Bisik Verrel setelah mereka turun dari motor dan menanggalkan helm.
"Siapa takut" Jawabnya dengan semangat.
"Ayo kita serang" Ajak Feverr serempak.
Tiga preman itu tampak berbisik-bisik menyeringai menatapnya. Bella sendiri ragu melihat Febby mulai ancang-ancang menantang mereka. Tapi setelah Feverr mampu saling bekerjasama, barulah keraguannya reda.
"Ya Allah lindungilah mereka..."
Saat Febby berhasil meninju muka salah satu dari mereka. Wah senangnya bukan main, hingga tawanya tak bisa ditahan. Tapi seketika tawanya terhenti, kala seorang lagi ingin menendang wajahnya. Untung Verrel cepat menangkisnya dan mendorongnya kuat hingga terhuyung ke kearah teman-temannya yang sudah tergeletak tak berdaya.
"Hmmm beraninya sama perempuan" Ejek Febby menjitak kepala salah satunya.
"Kakak nggak apa-apa kan?" Tanya Verrel sangat mengkhawatirkan Bella.
"Kakak nggak apa-apa kok"
"Bener nggak apa-apa?" Sambil mengamati tubuh dan juga wajahnya.
"Iya kakak nggak apa-apa, kamu nggak usah khawatir"
Ketika Febby mendekat, Verrel ingin menahan tawa melihat jilbabnya yang terlihat tidak rata akibat habis berkelahi.
"Kenapa? Kok ketawa sih?" Celetuk Febby.
"Sini Ayah benerin" Sembari membetulkan jilbab istrinya tersebut.
"Hmmm so sweet ya..." Puji Bella menahan gemas. "Kakak jadi iri tau nggak"
Tak ingin membuat kakaknya iri, Verrel membetulkan jilbab Bella yang memang rapi itu.
"Perasaan jilbab kak Bella nggak kenapa-napa deh..." Canda Bella.
"Anggap aja ini kak Ammar" Balas Verrel.
"Hahaha..." Bella dan Febby tertawa lepas.
Kebetulan diwaktu yang sama Wira juga melintas di jalan tersebut. Melihat kebersamaan mereka ia menepikan motornya.
"Kebetulan banget wir lo lewat" Ucap Verrel. "Lo mau ke tempat latihan kan?"
"Iya"
"Febby ikut Wira ya, aku mau nganterin kak Bella pulang dulu, gimana?" Tanya Verrel kepada Febby.
"Udah nggak apa-apa, kak Bella bisa pesan taksi kok" Tolak Bella tak mau merepotkan mereka.
"Jangan kak, biar Vibi aja yang nganterin kakak, ya" Pinta Febby.
Setelah sepakat, akhirnya Bella di bonceng Verrel, sedangkan Febby di bonceng Wira. Namun mereka berbeda tujuan, sehingga berpisah di persimpangan jalan.

Wahyu tiba-tiba datang ke cafe mininya Verrel. Dengan berlagak manis, ia melihat menu. Jujur Livia yang berada di tempat kasir tak suka dengan kedatangannya. Lalu Wahyu memanggil Shinta yang baru mengantarkan pesanan ke meja sebelah.
"Iya pak" Ujarnya menghampiri.
"Saya pesan makanan yang paling enak disini, jangan lupa sama minumannya juga"
"Makanan disini enak semua pak, jadi pilihnya apa?"
Sepertinya ia tidak mengetahui kalau itu adalah papanya Verrel.
"Ya makanan recommended yang paling enak apa? Masak begitu aja tidak tau" Cerca Wahyu sambil menyilang salah satu kakinya.
"Gaya banget sih ni bapak-bapak" Gerutu Shinta, sedangkan kedua karyawan lainnya termasuk Nasya sibuk di dapur.
"Ssst..." Livia mencoba memanggil Shinta, tapi dengan bodohnya si Shinta cuma mengerenyitkan dahi saja.
Livia ingin melambaikan tangan, tapi Shinta malah buru-buru ke dapur meminta Nasya menyiapkan pizza mie, mie mozzarella dan green tea untuk meja yang ditempati Wahyu. Namun penyajian mereka sedikit lambat, karena banyaknya pelanggan. Apalagi Wira dan Aldo ada jadwal latihan basket, jadi mereka hanya berempat.
Setelah siap, Nasya mengantarkan pesanan itu kepada Wahyu.
"Kalian ngapain aja sih? Bikin kayak begini aja sampai nunggu lama?" Maki Wahyu menatap Nasya.
"Maaf om, kita cuma berempat jadinya agak kewalahan"
"Aaagh itu cuma alasan kalian aja"
"Sekali lagi maaf ya om"
Banyak pelanggan yang menyayangkan sikap Wahyu, namun ada juga yang cuma bengong mendengarkan cercaannya. Setelah beberapa saat kemudian, semua makanan di meja Wahyu tampak tak bersisa sedikitpun.
Tiba-tiba Wahyu bersendawa akibat kekenyangan. Spontan semua yang berada di dekatnya menoleh.
"Ini berapa?" Tanya Wahyu kepada Livia.
Livia memberikan total yang harus dibayar, namun dengan santainya Wahyu melangkah pergi tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.
"TUNGGU PAK..." Shinta mengejarnya.
"Ada apa?" Toleh Wahyu.
"Kan bapak belum bayar, kok main pergi begitu aja?"
"Kamu tau tidak ini cafe siapa?"
"Mmm..."
"Ini cafe anak Saya, jadi Saya berhak datang kapan saja, mengerti"
Shinta ingin membalas cercaan itu, tapi Livia keburu menarik lengannya masuk.
"Kok lo biarin begitu aja sih?" Tanya Shinta.
"Udah biarin aja, itu papanya Verrel, bos kita"
"Haah...jadi itu beneran papanya Verrel?"
"Ssst..." Livia menempelkan telunjuknya sendiri ke bibir, tanda agar Shinta diam.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang