part 126

150 18 5
                                    

Di kampus. Tampak Bella tidur di kursi kebesarannya, sedangkan Ammar tidur di sofa. Bella baru sadar kalau ia dan Ammar ketiduran di ruangannya saat terbangun.
"Jadi semalam..." Gumam Bella sembari mengingat. "Oh my god"
Ia kemudian membangunkan Ammar dengan lembut.
"Lho kok kita disini?" Bingung Ammar mengamati sekelilingnya.
"Kita ketiduran disini dari semalam"
"Ya udah kita pulang dulu"
Bella mengangguk mengikuti Ammar keluar.
         Sementara dikediaman Naya, Mawar kebingungan karena papanya menelepon si bibik. Si bibik lalu menyodorkan ponsel itu.
"Udah bibik aja yang ngomong" Perintah Mawar menahan panik.
"Saya mau ngomong apa ini?" Sembari menutup layar telepon itu pakai tangan.
"Terserah deh" Tak mau ambil pusing, Mawar meninggalkannya ke kamar.
"Mmm iya pak, ini bibik" Jawab si bibik dengan gugup.
"Iya saya tau ini kamu, nomornya Mawar tidak bisa dihubungi makanya saya telepon kamu, oia Mawar mana?"
"Non Mawar lagi keluar"
"Oke, saya akan tanya kamu, tapi kamu harus jawab jujur, kalau kamu jujur, maka saya akan memberikan kamu uang 50 juta"
"Haah..." Si bibik terperangah kegirangan. "Baik saya akan jawab jujur"
"Apa benar, Mawar sudah menikah?"
"Iya benar juragan"
"Jadi pernikahan itu benar-benar ada?"
"Iya juragan, tapi nikah siri"
"Apa? Nikah siri? Benar-benar keterlaluan"
Setelah telepon itu ditutup, si bibik tampak senyam senyum membayangkan uang 50 juta. Ia seakan lupa dengan ancaman Mawar yang dilarang mengatakan pernikahannya.
"Sabodo teing dah, yang penting dapat 50 juta, hahai..." Girangnya dengan logat sunda.
"Tadi papa bilang apa? Nanya apa aja?" Tanya Mawar muncul tiba-tiba.
"Anu non, nanyain telepon non kenapa nggak bisa dihubungi? Katanya mau ngomong penting" Untuk menutupi rasa groginya, ia lekas ke dapur.
"Terus apalagi? Masak cuma begitu aja?" Mawar mengiringinya sampai ke dapur.
"Kalau nggak percaya, tanya aja sama juragan alias papanya non"
          Saat melewati koridor kampus, Aish melihat team basket semester atas lagi gencar gencarnya latihan.
"Oia hari ini kan kompetisi basket" Celetuk Ammar.
"Iya"
"Kok Verrel sama teman-temannya tidak ada yang latihan?"
"Biasanya mereka latihan itu sore"
"Kita harus datang, kita harus memberikan support kepada mereka"
"Kamu benar"
Tak terasa mereka sampai didepan mobilnya. Ammar membukakan pintu untuk sang istri.
"Silahkan tuan putri"
"Terimakasih" Bella tampak gemas menatapnya.
Ammar lalu berlari ke bagian kemudi.

Didalam kamar bu Rahmi, Febby kebelet ingin buang air besar, namun ia menahannya sebisa mungkin. Berhubung sudah tidak tahan lagi, ia berlari ke kamarnya. Pas tangannya ingin membuka pintu kamar mandi.
"AAAA..." Feverr memekik bersamaan saling terkejut.
Mendapati Verrel hendak keluar, hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggang. Verrel sempat terpana bisa menatap wajah istrinya.
"Kenapa lihat-lihat?" Ketus Febby.
Dengan jahil, Verrel pura-pura mau membuka handuknya, tapi Febby menjerit sambil menutup muka.
"Aku lagi nggak mau bercanda, minggir aku udah kebelet" Febby menariknya keluar.
Didalam kamar mandi itu, Febby jadi gereget sendiri. Tangannya ingin sekali meremas remas muka si Verrel sangking geregetnya, tapi itu cuma di lampiaskannya ke tembok.
Sedangkan Verrel sudah berganti pakaian. Tak lupa ia juga memasukkan seragam basketnya ke dalam tas. Tiba-tiba ponselnya berdering, panggilan dari Wira.
"Iya wir"
"Lo dimana? Kita udah kumpul di GOR nih"
"Iya iya gue berangkat sekarang"
Usai bersiap-siap, tangannya tergerak ingin mengetuk pintu kamar mandi itu.
"Tok tok tok..., bunda, aku berangkat ya, Assalamuallaikum..."
Dalam hati Febby membalas salam tersebut walau masih jengkel.
Sambil bergegas keluar, mata Verrel mencari keberadaan si kembar, tapi tak di temukan. Bahkan suara celotehan mereka saja tidak terdengar.
"Dimanapun kalian berada, doain Ayah ya nak"
Bu Rahmi yang mendengar ucapan itu, memanggilnya dari balik pintu kamar dengan sebuah tanda, agar tidak diketahui Febby.
Bu Rahmi membuka pintunya lebar-lebar. Terlihat sosok si kembar di dalam rolling. Ia cepat-cepat menciumnya, lalu segera pergi mengendap-endap, takut ketahuan.
"Selamat..." Ia mengelus dada, karena Febby tak kunjung keluar.

Mendengar kabar kalau Hadi sudah tertangkap polisi dari Bargo, Wahyu dirundung kegelisahan didalam kamarnya. Keringatnya mengucur deras menyesap pakaian, memikirkan cara agar bisa lolos dari pencarian polisi. Tiba-tiba Bargo kembali menelepon.
"Iya halo"
"Kita harus segera tinggalkan kota ini kalau mau selamat"
"Oke baik"
Wahyu menutup teleponnya dan membawa semua harta hasil pembagiannya. Namun ketika sampai diluar, ia dihadang oleh Ibu si pemilik kontrakan.
Si Ibu menagih kontrakan yang belum dibayar bulan ini. Untung Wahyu sudah punya persiapan, sehingga tak butuh waktu lama mengeluarkannya. Disaat si Ibu asyik menghitung jumlah uang itu, Wahyu lekas pergi dengan tergesa-gesa.
"Ini masih kurang" Cerca si Ibu setelah mengetahui jumlahnya kurang, tapi sayang Wahyu sudah keburu jauh. "TUNGGU INI MASIH KURANG..." Kejarnya.
Si Ibu tak bisa apa-apa lagi kecuali pasrah, karena Wahyu sudah menghilang naik sebuah motor. "Awas aja kalau pulang"
         Sementara di gelanggang olahraga basket, Wira, Zian, Reno, Astra dan Aldo sudah bersiap-siap di ruang ganti. Mereka hanya menunggu kedatangan Verrel. Sedangkan di lapangan, dua team dari Universitas yang berbeda tengah bertanding. Point yang saling kejar kejaran itu membuat supporternya khawatir.
"Gimana? Udah siap menerima kekalahan?" Dengan berlagak songong, ketua team Eagle dari semester atas nya sendiri memberikan sebuah pertanyaan dengan bernada mengejek.
Namun mereka tetap bersikap santai menghadapinya. Reno meminta Wira untuk menghubungi Verrel.
"Udah deh mendingan kalian ngalah aja, dari pada nanti malu, iya nggak sih" Ejeknya lagi sembari melirik teamnya.
"Kenapa kita harus ngalah?" Tanya Verrel muncul membawa tas. "Apa kalian takut sama anak semester bawah seperti kita-kita?" Sambungnya.
"Kita, takut sama kalian semua"
"Hahaha..., nggak salah?"
"Kita lihat aja nanti, team siapa yang bisa lolos" Balas Verrel sembari mengeluarkan seragam basketnya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang