part 158

122 19 4
                                    

"Bunda minta maaf..." Febby kembali meminta maaf tanpa melepaskan pelukannya, tapi Verrel masih tak bergeming. "Memangnya Ayah mau ya kalau Almeera liat kita masih berantem-beranteman kayak gini?"
Verrel melirik kamar Almeera sesaat, lalu menggendong Febby ke kamar secepat kilat karena takut ketahuan.
"Apa ini artinya Ayah udah baikan?" Tanya Febby setelah Verrel mendudukannya disisi ranjang.
Verrel tidak menjawab. Yang ia lakukan hanya menyusuri pipi Febby dengan jemari. Bibirnya mendekati bibir Febby sembari membaringkan tubuhnya perlahan, tapi tiba-tiba Almeera masuk tanpa mengetuk pintu dan permisi. Spontan saja kepala Feverr berbenturan karena terkejut. O ow, Almeera melongo mengamati wajah kedua orangtuanya yang mati kutu karena kepergok ingin bermesraan.
"Bunda..." Almeera merengek manja mendekati Febby. "Mila bobo dicini ya cama bunda cama Ayah..."
"Lho kenapa?" Verrel sepertinya kecewa dengan kehadiran Almeera.
"Mila takut bobo cendilian"
"Kan ada Imam sama Yusuf" Bujuk Verrel berharap kalau Almeera mau kembali ke kamar, tapi nyatanya Almeera malah nyempil di tengah-tengah mereka.
"Ya udah Mira bobo disini ya" Ucap Febby ingin mengeloninya, tapi Verrel menggeleng memberi tanda jangan.
Tanpa sepengetahuan Almeera, Febby memberi tanda pada Verrel kalau sebaiknya Verrel mengikuti persetujuannya. Terpaksa Verrel menurut dan tidur membelakangi mereka, tapi tangan Febby mencolek telinga Verrel. Verrel yang mengerti apa maksud istrinya itu langsung membalikkan tubuh menghadap mereka.
"Hahaha..." Dalam hati Febby tertawa geli melihat reaksi Verrel yang menahan kecewa karena tidak bisa bermesraan dengannya.
"Yaah balonnya ternyata kempes..." Febby sangat kecewa setelah sadar melihat balon-balon yang pernah di berikan Verrel dulu tak sengaja tersentuh oleh tangannya dalam keadaan kempes. "Apa artinya cinta Verrel terhadap aku akan susut juga seperti balon ini" Pikirnya dalam hati, ia kemudian bangun dan mengamati balon-balon itu.
"Bunda kenapa?" Verrel terbangun dan memperhatikan kesedihan di wajah Febby.
"Dulu bunda sengaja ngiket balon-balon ini, karena bunda mau tau sampai kapan balon ini bisa bertahan, maka sampai saat itu juga perasaan Ayah ke bunda"
"Jadi bunda berpikir kalau perasaan Ayah ke bunda itu sama seperti balon ini, iya?"
"Iya" Febby mengangguk menyesali apa yang sudah di ucapkannya dulu.
"Ya nggak bisa di samain dong, asal bunda tau, rasa sayang Ayah ke bunda itu semakin  hari semakin besar, bukan semakin mengecil seperti balon ini"
"Makasih ya yah"
Verrel tersenyum lembut. "Bunda harus ingat dengan janji kita, bahwa kita harus jujur dan saling percaya"
"Iya bunda janji"
Verrel menyambut kelingking Febby yang mengacung padanya sebagai perjanjian.

Sampai pagi ini keadaan Ammar bukannya membaik, malah makin melemah. Bella benar-benar khawatir, lalu ia membawanya ke rumah sakit. Dalam perjalanan kesana, ia menghubungi Naya memberitahu keadaan Ammar yang sebenarnya. Hal itu membuat Naya ikut panik dan segera ke rumah sakit sesuai yang di katakan Bella. Namun ternyata Sultan juga mengalami demam secara tiba-tiba. Berhubung cuma si bibi yang ada di rumah menemani Sultan, jadi Mawar dan Alan yang sedang mempersiapkan pernikahannya beberapa hari lagi tidak mengetahuinya. Si bibik langsung menghubungi Mawar dengan terbata-bata.
"Iya kenapa? Kalau ngomong yang jelas yang bener jangan kumur-kumur kayak gitu aku nggak ngerti"
"Sultan demam non"
"Kok bisa sih? Orang tadi Sultan baik-baik aja"
"Ya nggak tau non, tiba-tiba aja badannya panas"
"Ada-ada aja deh ah" Keluh Mawar setelah menutup teleponnya.
"Sultan kenapa?" Panik Alan.
"Sultan katanya demam, udah sekarang kita pulang"
Di Rumah Sakit, Naya mencari kamar pasien yang di tempati Ammar, namun ia tidak bisa menemukannya. Sesaat kemudian ia tak sengaja bertemu dengan Bella yang berdiri didepan pintu ingin menghubungi Febby.
"Gimana keadaan Ammar?" Tanya Naya menghampiri.
"Mas Ammar masih di tangani sama Dokter ma"
Saat mereka duduk di kursi tunggu, lewat lah Mawar dan Alan yang membawa Sultan sambil berteriak-teriak memanggil Dokter. Sontak mereka terkejut dan berdiri. Disaat yang bersamaan Dokter spesialis anak datang menghampiri mereka.
"Dok tolongin anak saya dok, badannya panas sekali dok" Ucap Mawar sangat mengkhawatirkan keadaan Sultan yang berada dalam gendongannya.
"Mari ikut ke ruangan saya" Ajak sang Dokter.
"Jadi Sultan juga mengalami hal yang sama seperti mas Ammar" Bella membatin saat Naya meliriknya.
Diam-diam Naya ke ruangan Dokter spesialis anak, namun ternyata mereka sudah tidak ada lagi disana kecuali seorang suster yang sedang mencatat sesuatu.
"Pasien anak kecil tadi dirawat dimana ya sus?" Tanyanya.
Suster pun memberitahu ruangan dimana Sultan dirawat.
"Apa yang terjadi sama Sultan?" Tanya Naya setelah berada di ruangan, namun suster memintanya keluar karena tidak boleh lebih dari satu orang yang menjaganya.
"Tapi saya mau lihat keadaan cucu saya Sus" Tolak Naya tidak mau keluar.
"Tolong ma...mama tunggu diluar aja ya, Sultan nggak apa-apa kok jadi nggak usah khawatir" Mawar mengusir Naya secara halus, karena ia tidak mau kalau anaknya terlalu dekat dengan keluarga Ammar.
Terpaksa Naya keluar menghampiri Alan.
"Aku yakin ini ada ikatan batin antara keduanya, makanya mereka sampai sakit di waktu yang bersamaan seperti ini" Gumam Naya sembari melirik kearah pintu, berharap bisa melihat Sultan namun tetap saja tidak terlihat.
"Jadi Ammar juga merasakan hal yang sama?" Hal itu mengundang tanya bagi Alan.
"Ya, Ammar juga di rawat disini" Jawab Naya, lalu ia kembali ke ruangan Ammar, dimana Bella sedang berbaring menemaninya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang