part 55

237 19 0
                                    

Wahyu berniaga pada seorang eksekutif muda yang akan membeli rumahnya. Setelah dia melihat sertifikat rumah itu, sepertinya dia sangat tertarik. Namun Wahyu sedikit kaget nama pembeli tersebut mengingatkan dirinya pada Rifki si pemilik hotel Marcopolo.
"Kenapa namanya sama seperti dia?" Batin Wahyu berkecamuk, mengingat pertemuannya terhadap Rifki yang selalu membuat darahnya naik. "Tapi kayaknya tidak mungkin, siapa tau namanya cuma kebetulan saja!" Gumamnya kemudian.
"Maksud pak Wahyu?"
"Oh bukan apa-apa, saya cuma ingat nama seseorang saja"
"Sekali lagi terimakasih, saya permisi" eksekutif muda itu berpamitan setelah menandatangani surat perjanjian jual beli.
"Saya yang sangat berterimakasih, karena pak Rifki mau membeli rumah saya tanpa penawaran sedikitpun"

Disisi lain, pulang-pulang Ammar membuka kamar Naya sambil memanggilnya, tapi sayangnya dikunci dari dalam, sedangkan Bella mengikutinya.
"Tok tok tok...mama..." Panggilnya agak keras.
"Ammar kenapa sih malam-malam begini?" Cerca Naya sambil beranjak bangun.
"Apa benar mama akan menikah dengan Wahyu?" Tanya Ammar dengan nada marah.
"Menikah? Siapa yang mau menikah sama Wahyu? Kamu jangan ngaco deh" bantah Naya tak terima dituduh seperti itu.
"Tadi Ammar sama Bella ketemu Wahyu, dan Wahyu bilang dia akan menikahi mama"
"Hmmm" Naya tersenyum sinis. "Nggak usah kebanyakan ngayal, kamu pikir mama mau sama manusia yang nggak punya hati kayak dia"
"Jadi itu semua cuma omong kosong papa aja?" Bella ikut nimbrung.
"Ya apalagi, Wahyu itu kan nekad, dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia mau"
"Kalau gitu mama harus hati-hati" pesan Ammar.
"Iya betul ma, Bella takut papa berbuat yang tidak-tidak" tambah Bella.
"Kalian nggak usah khawatir, mama bisa jaga diri kok, udah mendingan kalian tidur ini udah jam berapa"
Mereka bergegas ke kamar.

Walaupun jalanan masih rada gelap, tapi tak menyurutkan Verrel menyetir mobil. Di sebelahnya Febby tertidur meringkuk kedinginan berselimut tebal. Tiba-tiba ponsel Verrel berdering, dan itu panggilan dari Vani.
"Assalamualaikum ma" Verrel menjawab telepon tersebut.
"Apa kamu ada di rumah?" Tanya Vani sambil membuka pintu kamarnya.
Dari pakaiannya yang sudah rapi, sepertinya Vani ingin pergi. Padahal waktu subuh pun belum.
"Mmm Verrel lagi di jalan ma" jawabnya agak ragu.
"Di jalan? Memangnya kamu mau kemana jam segini?"
"Verrel lagi ke Bandung"
"Ke Bandung...?" Vani agak tercengang. "Mau ngapain?"
"Aku mau nyari pendonor mata buat Febby"
"Jadi Febby ikut?"
"Verrel nggak mungkin ninggalin Febby ma"
Tadinya Vani ingin mengatakan kalau hari ini ia akan cerai sama Wahyu, tapi semua itu tidak ia lakukan. Ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Verrel.
"Ya udah kamu hati-hati ya, assalamualaikum"
"Walaikumsallam"
Secara samar-samar Febby mendengarkan pembicaraan mereka, tapi ia masih ngantuk berat.
Sesampainya di depan hotel Bandung, Verrel tak mampu menahan kantuknya, meskipun matahari sudah menampakkan cahayanya. Security hotel yang melihat mereka tertidur didalam mobil itu mengira kalau mereka bukan pasangan suami istri, melainkan hubungan gelap yang sedang mabuk.
Apalagi mereka juga terbilang masih sangat muda. Tak akan ada yang menyangka kalau mereka sudah menikah. Security itu lalu memanggil dua petugas hotel untuk melabraknya.
"BANGUN BANGUN BANGUUN..." Sambil menggedor pintu mobilnya.
Tentu saja itu sangat mengejutkan mereka.
"Ada apa ya pak?" Tanya Verrel setelah membuka pintunya.
"Udah kita laporin aja ke polisi" ucap si petugas.
Febby berusaha keluar walau harus meraba-raba menggunakan tongkat.
"Sayang..., Ini ada apa?" Febby mengulurkan tangan menggapai Verrel.
"Sayang nggak usah khawatir ini bukan apa-apa"
Petugas dan security saling melirik satu sama lain.

Saat berangkat ke kampus, Andin tak sengaja melihat Nasya sedang santai bersiul-siul membawa taksi. Namun gaya songong yang ditunjukkan Nasya membuatnya benar-benar geram. Apalagi mengingat kejadian kemarin saat Nasya melumuri wajahnya dengan kue. Tak ingin melewatkan waktu, Andin menginjak gas mobil ingin memepet taksinya, tapi secara tiba-tiba Wira yang sedang berboncengan dengan Livia melaju di jalur tersebut.
"AAAGH..." teriak Wira dan Livia bersamaan.
Tapi untung saja mereka cepat ngerem dan.
"GUBRAK..." Andin nyerempet taksi Nasya.
Kejadian tersebut membuat Wira berhenti, dan mereka menghampiri Nasya yang tengah memaki-maki Andin.
"Kenapa lo jadi nyalahin gue?" Balas Andin tak mau kalah.
"Jelas-jelas lo yang sengaja nyerempet taksi gue"
"STOOP..." Wira melerai mereka dengan berdiri ditengah-tengah. "Gue lihat dengan mata kepala gue, memang lo yang salah" tunjuknya pada Andin.
"Biang rusuh sih" Livia menyindirnya pelan.
"Heeh lo nggak usah ikut campur ya" bentak Andin, tapi Wira menghalangi Livia sebagai cem-cemannya itu.
Tak ingin berurusan dengan mereka, Nasya meninggalkan mereka dengan cuek.
"Mau kemana lo?" Panggil Andin menahan emosi.
"Yang salah itu lo jadi jangan sok berani" sindir Livia lagi.
Kali ini Andin tak ingin membiarkan Nasya lolos. Ia cepat-cepat masuk ke mobil dan mengejarnya.
"Dasar cewek aneh..." Gerutu Livia.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang