part 116

130 20 2
                                    

Baru masuk ke mobil, Verrel mendapat telepon dari Reno. Reno bilang ada yang ingin daftar team basketnya.
"Siapa?"
"Aldo"
"Ya udah catat aja dulu, soalnya gue lagi ada urusan"
Setelah menutup telepon itu, Verrel baru mengemudikan mobilnya kembali. Tapi lagi-lagi ponselnya berdering. Sampai Febby yang mau mengajaknya ngobrol saja terhenti.
"Iya ton"
"Pengeluaran bengkel yang hari ini udah saya kirim via email pak"
"Oia nanti email-nya saya cek"
"Pak manager sibuk banget ya" datar Febby mengalihkan pandangan ke kiri.
"Si kembar semakin lama semakin besar, otomatis pengeluaran kita akan semakin bertambah, kalau Ayah nggak mikirin pekerjaan gimana masa depan mereka nanti" jelas Verrel mengelus rambutnya yang terbungkus jilbab.
Febby berusaha untuk mengerti kesibukan suaminya.

Sampai didepan rumahnya, Naya masih menyisakan kekesalannya terhadap Wahyu. Ia juga dihadapkan dengan Mawar yang siap menagih janji atas kepulangan Ammar, namun ia tak berhasil membawa Ammar pulang.
"Kok mama pulangnya sendirian? Ammar mana?"
"Kamu bisa nggak jangan nanyain Ammar terus?" Naya lalu duduk di sofa sambil mengingat kata-kata yang di lontarkan Ammar tadi. 
"Tapi Mawar butuh kepastian ma"
"Ammar nggak mau pulang, puas" sembari bangkit menuju kamar.
"Kok bisa sih? Bukannya Ammar itu selalu nurut sama mama, ini semua karena Bella, seandainya aku nggak keguguran, pasti ceritanya nggak akan begini"
Tiba-tiba ia mendapat telepon dari papanya.
"Mawar, kenapa kamu menikah diam-diam tanpa sepengetahuan papa?"
Belum sempat bilang hallo, Mawar sudah di semprot dengan pertanyaan yang mengejutkan.
"Mmm iya pa hallo, hallo..." Mawar berlagak tidak mendengar dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hallo pa, aduh sinyalnya lagi susah pa soalnya Mawar lagi diluar" Mawar kemudian mematikan telepon itu agar tidak bisa dihubungi.
       Sementara di cafe mini, Wira mendekati Livia di meja kasir. Wira menagih jawaban atas perasaan yang pernah diungkapkannya.
"Bukannya gue nggak mau nerima lo wir, tapi gue nggak mau merusak persahabatan kita, kalau gue nerima lo, otomatis lo sama Aldo akan bermusuhan, dan gue nggak mau itu terjadi" batin Livia berkata lirih.
Wira hanya bisa menghela nafas menatap kebisuan itu. Ia juga tidak ingin memaksanya untuk menjawab.
"Oke, gue nggak akan maksa lo untuk jawab sekarang"
"Gue nggak bisa nerima lo jadi pacar gue" terpaksa Livia mengungkapkan sesuatu yang tidak di inginkannya, karena Wira sudah beberapa langkah meninggalkannya.
"Kenapa? Apa semua itu karena Aldo" sedikitpun Wira tak membalikkan tubuh, karena ia tak sanggup memperlihatkan kekecewaannya.
Livia bingung ingin menjawab apa.
"Kenapa lo lebih mikirin perasaan Aldo daripada mikirin perasaan lo sendiri?" Wira kembali bertanya.
"Karena persahabatan kita jauh lebih indah, dari pada punya status tapi ada yang tersakiti"
Tak disangka Aldo mendengar semuanya. Menyaksikan dua insan yang saling memendam rasa, tapi harus terhalang oleh persahabatan. Tak ingin menahan sakit lebih lama, Wira pergi meninggalkannya dan hampir menubruk Aldo yang berpura-pura menerima telepon. Sebagai sahabat, Nasya sangat mengerti dengan kondisi tersebut, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengusap pundak Livia. Sedangkan Aldo pergi dengan tergesa-gesa tanpa sepengetahuannya.

Febby mengiringi Verrel yang membawa tas memasuki pusat kebugaran, namun bola matanya berputar kesana-kemari menyaksikan orang-orang yang berotot kekar dengan hanya mengenakan singlet tipis. Pasukan berbadan kekar itu sibuk berolahraga sesuai dengan keinginannya. Ada yang mengangkat barbel dengan sebelah tangan, ada yang sit up dengan beban yang sepertinya cukup berat, namun mata Febby berhenti pada seseorang yang berlari-lari kecil diatas treadmill.
"Nah olahraga itu kayaknya lebih gampang deh, cuma lari-lari kecil begitu doang mah aku mau" riang Febby dalam hati.
"Gimana?"
"Bunda mau olahraga kayak gitu tuh" tunjuknya.
"Oke"
"Tapi..., Bunda nggak mau kalau satu ruangan sama mereka"
"Memangnya kenapa?"
"Kan bunda mau lepas jilbab"
Verrel menggosok-gosok dagunya dengan jari. Itu tandanya lagi berpikir. Lantas ia memanggil penjaga sekaligus pelatihnya. Setelah Verrel membisikkan sesuatu ke telinganya, pelatih itu mengantarkan mereka ke ruangan khusus. Ruangan itu tertutup dan dilengkapi dengan peralatan olahraga. Sepeninggal si pelatih, mereka masuk ke bilik masing-masing untuk berganti pakaian.
"Udah belum?" Gumam Verrel menyingkapkan tirai yang menutupi bilik tempat Febby.
"Vibi..." Sontak Febby kaget, karena ia baru meloloskan lengan baju ke tubuhnya.
"Maaf..." Dengan berlagak bodoh, Verrel menutup matanya dengan jari, tapi tetap saja matanya tak ingin melewatkan perut Febby yang begitu halus dan putih itu.
Melihat hal itu Febby cepat-cepat menurunkan bajunya. Wajah Verrel nampak kecewa mengetahui pemandangan indah itu tertutup rapat. Kini jilbab Febby terbuka dengan rambut di cepol agar bisa leluasa berolahraga. Febby nampak seksi dengan pakaian serba pendek. Begitu juga dengan Verrel. Kaos tipisnya menyempurnakan otot-otot bagian tangannya.
"Iih gede banget sih tangannya" ledek Febby memegangi otot tangan suaminya itu.
"Tapi suka kan?"
Anggukan kepala Febby serta senyum menghiasi bibir memberikan jawaban yang sangat memuaskan baginya. Kini Febby menggantungkan handuk kecil ke lehernya dan naik keatas treadmill.
"Bunda bisa nggak makainya?" Tanya Verrel.
"Bisa dong" jawab Febby dengan penuh percaya diri, tapi dalam hatinya bingung cara memakainya.
Tanpa berpikir panjang ia memencet salah satu tombol. Syukurnya itu tombol yang tepat untuk melakukan pemanasan, namun Verrel  mengaitkan klip pengaman sebelum Febby memulainya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang