"VIBI..." Febby mulai ketakutan sambil meraba-raba didekatnya berharap Verrel ada.
Untung Verrel cepat kembali dan memegang pundaknya. Setelah jauh berjalan, Verrel menemukan seekor kuda yang terikat di pohon.
"Alhamdulillah ada kuda, kita bisa cepat keluar dari sini"
"Kuda...?" Febby mulai cemas. "Tapi aku takut naik kuda"
"Pliss sayang harus lawan rasa takutnya, oke, apa mau dimakan harimau?"
"Iya iya..."
Meskipun takut, tapi ia memberanikan diri untuk menaikinya dibantu oleh Verrel.Di depan rumah Verrel, Vani mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil. Tapi setelah berpikir, ia kembali memasukkan koper itu kembali. Verrel sama Febby kan masih di Bandung, aku nggak mungkin tinggal disini, sebaiknya aku ngontrak di tempat Verrel dulu!" Ia bergegas menuju kontrakan Verrel terdahulu. Sesampainya di sana, untung ada Ibu si pemilik kontrakan sedang membereskannya.
"Maaf Bu, apa tempat ini masih kosong?" Tanya Vani.
"Masih Bu, Ibu mau ngontrak disini?"
"Iya"
Setelah si Ibu melihat mobil Vani, ia mempersilahkan masuk tanpa meragukan masalah pembayaran. Ia yakin pasti tidak akan pernah nunggak. Secara punya mobil bagus, tapi sedikit ada keraguan. Kalau ada mobil bagus kenapa harus ngontrak di tempat kecil seperti ini?" Pikirnya.
Tapi Vani mengeluarkan uang sebesar 5 juta. Pikiran si Ibu kembali positif begitu melihat lembaran-lembaran uang itu.Bu RT dan pak RT gelisah karena Verrel dan Febby belum juga pulang, padahal hari sudah menunjukkan pukul 12 malam.
"Gimana ini pak mereka belum pulang-pulang juga? Apa kita minta bantuan sama tim SAR aja?" Tanya Ibu.
"Tapi ini udah malam Bu, gimana kita mau laporan"
"Terus kita harus gimana?"
"Ya kita doakan saja supaya mereka selamat sampai tujuan"
"Apa mungkin mereka menginap di tenda? Di tepi bukit kan ada tenda tempat orang beristirahat"
"Ya bisa jadi, sudahlah jangan terlalu berpikir negatif"
Sementara ditengah hutan, kuda yang ditunggangi Verrel dan Febby menerobos kegelapan malam. Kuda itu bagaikan malaikat yang bisa mengerti apa isi hati manusia. Dengan penuh pengertian ia membawanya ke tenda, tempat peristirahatan para pendaki. Atau mungkin saja kuda itu memang kuda khusus untuk menyelamatkan orang yang tersesat.
"Kok berhenti disini sih?" Keluh Verrel. "Ayo jalan" meskipun sudah beberapa kali memberi aba-aba, tapi tetap saja kudanya mogok jalan.
Si kuda cuma meringkik memberi tanda agar mereka turun.
"Memangnya kita udah sampai dimana?" Tanya Febby setelah turun.
"Kita masih di tengah hutan"
jawabnya agak dingin.
Verrel menuntunnya ke tenda itu. Melihat Febby menggigil kedinginan, Verrel melepaskan jaket dan memakaikannya pada Febby. Sepatah katapun tidak keluar dari mulut mereka kecuali duduk meringkuk menunggu pagi.
"Kalau bukan kamu yang minta, ogah banget aku kesini" keluh Verrel memecah keheningan.
"Ini juga bukan aku yang minta kok"
"Terus siapa hayo?"
"Nih" sambil menunjuk perutnya yang sedikit membuncit.
"Masak iya dia mau naik-naik gunung? Dia kan tau itu khusus adegan buat orang dewasa, jadi nggak mungkin kemauan dedek bayinya, pasti kemauan yang tua tuh" ledek Verrel.
"Ya udah kalau nggak percaya" Febby berusaha melengos, tapi ia tak sadar kalau itu justru menghadap wajahnya.
"Bilang aja kalau mau minta di sun" goda Verrel.
"Iih kata siapa jangan kepedean deh"
"Ah yang bener..., Buktinya mukanya ngadep ke aku nih"
"Heeuh..." Febby membalikkan muka.
"Hahaha..."
"Nggak usah ketawa-ketawa aku lagi marah"
"Ciee lagi marah" Lagi-lagi Verrel menggodanya dengan mencolek pinggangnya.
"Iiih geli tau..." Meskipun Febby rada jutek, tapi justru terlihat gemas.Bangun pagi, Livia menggeliatkan tubuhnya setelah membuka pintu depan. Namun ia berteriak keras mendapati seseorang tengah meringkuk tidur di kursi dengan seluruh tubuh tertutup sarung. Orang tersebut tak bergeming sama sekali, padahal suara Livia kencangnya bagaikan suara Harimau. Justru dia malah semakin menarik selimut seperti tak mendengar apa-apa.
"LO MALING YA? BANGUUN..."
"Mana malingnya?" Wira tersentak bangun. "Biar gue hajar dia mana?"
"Haaah...elo" Livia kaget bukan kepalang.
"MANA MALINGNYA...?" tantang Wira petangtang petengteng dengan berteriak.
"Elo malingnya" tuduh Livia.
"Kok gue sih? Gue bukan maling, enak aja nuduh gue sembarangan"
"Ya habisnya lo ngapain tidur di teras rumah gue?"
"Emangnya lo nggak inget apa semalam kan hujan" Wira kembali mengingatnya.
Livia baru teringat bahwa semalam setelah Wira mengantarnya pulang, hujan turun dengan derasnya.
"Jadi semalam lo belum pulang?"
"Gimana mau pulang ujannya deres banget, untung diluar ada sarung bokap lo, nih gue kembaliin" Wira menyerahkan sarung tersebut.
Livia sedikit tercengang menatap Wira pulang tanpa berpamitan. Itu efek masih ngantuk atau dongkol?

KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Hati
General FictionApakah dibenak kalian pernah terpikir, bahwa didunia ini ada seorang Dosen tampan yang killer dan tegas takluk dengan seorang gadis yang berhijab dan berpenampilan sederhana? Mereka adalah Ammar dan Bella. Bella sering datang ke kampus, karena Bella...