part 69

199 17 0
                                    

Didepan rumah Verrel, tampak Bima sedang menimbang nimbang batu kecil sambil sesekali memutar-mutarnya. Alis matanya menyatu seketika mendengar candaan-candaan Verrel dan Febby yang samar-samar terdengar. Lemparan batu kecil itu meluncur ke udara dan.
"CETAR..."
Lemparan itu tepat mengenai kaca dan menembus ke kening Febby.
"Aaagh..." Rintih Febby melepaskan buku yang dibacanya.
"Astaghfirullahaladzim..." Verrel berlari keluar, tapi Bima bersembunyi.
Melihat darah mengalir pelan dari kening Febby, Verrel cepat-cepat ngambil obat dikamar dan mengobatinya.
"Sakit..." Rengek Febby ingin menangis.
"Sayang tahan sedikit ya, perihnya cuma sebentar kok"
Usai diberi Betadine, Verrel meniup kening itu dan memplesternya pakai hansaplast.
"Gimana masih sakit?" Tanya Verrel sambil membelai wajahnya.
"Rasa sakit ini akan berkurang kalau ada didekat kamu"
"Ya ampun...sejak kapan istri aku yang jelek ini bisa mengucapkan kata-kata mutiara?"
"Iih ngeledekin lagi" Febby memukul tangannya.
"Hehehe..." Sontak mereka tertawa.
Lantas Verrel membersikan pecahan kaca itu.
Sedangkan Bima ngedumel sendiri sambil menelusuri jalan setapak. Ia benci dengan dirinya sendiri yang tak kunjung berhasil membuat Febby lepas dari Verrel.

Ammar masuk ke masjid dan duduk didekat Bella yang masih mengaji. Setelah selesai, Ammar menatap wajahnya yang terlihat manis dan teduh. Didekat Bella, Ammar seperti berteduh dibawah pohon yang rindang. Rasanya sejuk dan nyaman.
"Kenapa kamu bisa ada disini?" Tanya Bella.
"Hati yang membawa langkah saya kesini"
Mereka beranjak keluar sambil berbincang-bincang.
"Saya bukan perempuan yang sempurna buat kamu" ucap Bella sejenak kemudian.
"Itu menurut kamu, tapi bagi saya, kamu yang paling sempurna, kamu sudah melengkapi hidup saya"
"Kamu salah Ammar, saya hanyalah seorang perempuan yang tidak bisa memberikan kamu keturunan, itu artinya saya bukan perempuan sempurna seperti yang kamu bilang" Bella membatin sambil bersedih. Tak terasa mereka sampai di depan rumahnya, tapi Naya sengaja berdiri didepan pintu dengan tatapan yang marah. Bella dan Ammar mencium tangannya.
"Kenapa tadi kamu tidak menemui Mawar?" Naya bertanya.
Bukannya jawaban yang didapatkan Naya, melainkan dengusan nafas panjang. Dan tanpa bicara apa-apa Ammar masuk.
"Tolong maafin Ammar ma" ucap Bella. "Mungkin Ammar butuh waktu"
"Mama bisa mengerti, tapi nggak boleh seperti itu juga, kan kasian Mawarnya nungguin dari tadi tapi Ammar nggak datang-datang"
"Nanti Bella omongin sama Ammar"
"Ya udah, mama minta tolong sama kamu"

Dino mengajak Andin ke atas bukit dipinggir kota disaat lampu-lampu mulai menyala. Terlihat lampu-lampu kendaraan yang berlalu lalang, bagai kunang-kunang yang bergerak kesana-kemari. Andin terpukau menatap ke sekelilingnya. Baru saja menikmati segarnya semilir angin. Ponsel dari balik saku jaketnya berdering kencang.
"Mama..." Lirihnya melihat panggilan itu.
"Kenapa teleponnya nggak diangkat?" Tanya Dino ketika bunyi ponsel itu tak berhenti.
"Ini dari mama"
"Ya udah angkat aja siapa tau penting"
"Nggak penting juga, pasti mama bakal maki-maki gue lagi"
"Kan belum diangkat, dari mana lo tau kalau nyokap lo bakal maki-maki lo?"
"Kok lo maksa gue sih, kalau gue nggak mau ya nggak mau" cerca Andin.
"Ya bukannya gitu"
"Terus apa namanya kalau bukan maksa?"
Dino mengejar Andin yang hendak pergi.
"Lo mau kemana?"
"Gue mau kemana aja itu bukan urusan lo, ngerti" ancam Andin sembari menoleh.
"Tapi masalahnya lo itu kabur dari Rumah Sakit"
"Nggak masalah kok buat gue" Andin meninggalkan Dino yang tampak kecewa dengan sikapnya.
"Gue cuma nggak tega aja sama lo ndin" lirih Dino dalam hati, ia kembali menatap gemerlapan cahaya yang bertebaran dimana-mana.

Lepas magrib, Verrel dan Febby masuk ke mobil. Febby agak heran sama sikap Verrel yang sepertinya merahasiakan sesuatu. Setiap ditanya mau kemana, pasti jawabannya nanti juga bakal tau sendiri. Sementara dikediaman Ammar, Ammar tengah merayu Bella agar mau diajak keluar.
"Kenapa sih harus malam ini?" Tanya Bella.
"Ya soalnya ini Verrel yang minta, saya juga nggak tau, katanya dadakan" jawabnya memohon.
"Ya udah iya saya mau"
Mereka lekas bersiap-siap.
"Memangnya kita mau kemana sih?" Febby kembali bertanya sambil menatap Verrel yang menyetir.
Verrel sengaja tidak menjawab dan membelokkan mobil ke cafe romantis. Rasa penasarannya pun hilang. Ya apalagi yang dilakukan orang-orang di cafe romantis seperti itu kalau bukan ngedate dan mesra-mesraan. Pas masuk, mereka berpapasan dengan Bella dan Ammar. Dua couple ini memang sangat serasi sekali. Sama-sama tampan dan punya kharisma masing-masing, sedangkan pasangannya sama-sama cantik dan berhijab. Setelah saling bersalaman, mereka mencari tempat yang sudah dipesan sebelumnya oleh Verrel.
"Mari mas mba ikut saya" ajak seorang pelayan muda.
Ternyata pelayan itu mengantar mereka ke ruangan kompetisi dansa. Disana sudah ada beberapa pasangan yang sudah bersiap-siap. Jelas mereka bengong dan bingung.
"Cafe kami baru saja buka, jadi kami sengaja mengundi beberapa pasangan untuk mengikuti kompetisi dansa ini, dan selamat kalian sudah terpilih dalam kategori pasangan yang serasi" jelas si pelayan dengan panjang lebar.
"Mmm maksudnya kita terpilih sebagai pasangan yang serasi, dan harus mengikuti kompetisi dansa, gitu?" Verrel meyakinkannya lagi.
"Iya mas, dan ini ada door prize juga, jadi kalau menang, maka kalian berhak mendapatkan hadiah istimewa dari cafe kami"
"Sayang..." bisik Febby pelan ditelinga Verrel.
"Iya kenapa?"
"Gimana mau ikut dansa kalau aku begini" keluh Febby menunjuk perutnya pakai bibir.
"Bisa kok tenang aja, nanti aku ajarin"
"Gimana?" Tanya Ammar pada mereka.
"Ya udah siapa takut"
"Siap ladies?"
Para ladies mengangguk dengan penuh semangat.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang