part 121

149 17 1
                                    

Ammar membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah berhasil mengelabui Mawar yang terus memanfaatkan kehamilannya agar ia tetap berada di dekatnya. Sangking ngebutnya, ia hampir menabrak Wahyu yang tiba-tiba menyeberang. Melihat kalau itu kendaraan menantunya, Wahyu memukul kap mobil itu sambil memintanya keluar.
"Saya minta maaf pa, tadi saya buru-buru" Ucap Ammar begitu keluar.
"Wah wah wah...permintaan maaf sekarang gampang sekali sepertinya ya"
"Saya mengkhawatirkan Bella pa makanya saya buru-buru"
Wahyu tak memperdulikan perkataan tersebut. Ia justru tertarik dengan dompet yang terlihat menyembul dari balik saku celana bahannya Ammar.
"Papa mau ngapain pa?" Tanya Ammar seketika Wahyu merogoh dompetnya.
"Diam jangan banyak bicara" Dengan santainya Wahyu mengeluarkan semua uang tersebut. "Anggap saja ini ganti rugi karena kamu hampir menghilangkan nyawa saya, paham" Ia memindahkan uang itu ke saku bajunya.
"Oke baik pa" Ammar terpaksa merelakan uang itu lenyap dalam sekejap.
Padahal kalau di pikir-pikir gaji yang di perolehnya sebagai dosen tidak lah seberapa. Hanya cukup menghidupi kesehariannya saja bersama istri, tapi ia lebih senang bisa menjadi tenaga pengajar dari pada berbisnis.
"Hahaha..." Wahyu tertawa bahagia lepas dari kepergian Ammar.
Ia menghitung uang itu kembali untuk meyakinkan  berapa jumlahnya, namun tiba-tiba ada seseorang yang menjambretnya dari belakang. Ia tak menyadari kalau yang menjambretnya adalah si Bocil, bekas bodyguardnya dahulu. Karena posisi Bocil berlari membelakangi sehingga yang terlihat hanya bagian punggungnya saja.
"JAMBREET..." Wahyu berlari sekuat tenaga mengejarnya, namun Bocil sudah keburu naik motor.
Alhasil Wahyu tak bisa mendapatkan uangnya kembali, kecuali memgumpat si penjambret habis-habisan sambil nafas tersengal-sengal.
"AAAAGH SIAAL..."
Dengan tenaga yang lemah Ia mengusap leher, menahan sakit kepala yang mulai berdenyut-denyut. "Apa ini yang namanya karma, karena aku sudah merampas yang bukan hak milikku...!"

Sampai depan rumahnya, Feverr masuk dengan tergesa-gesa sambil membawa plastik yang berisi susu kotak. Terdengar di telinganya tangisan Imam menggema kencang memenuhi ruangan. Vani juga tampak kebingungan tak bisa menenangkannya.  Biasanya si kembar hanya menangis kalau lapar atau buang air besar dan kecil, tapi tidak untuk kali ini. Imam justru terus menangis walaupun sudah diberi susu botol.
"Ya Allah sayang..." Febby mengambil alih menggendongnya, tapi tetap tak mau berhenti.
"Coba Ayah yang gendong" Pinta Verrel mengambil Imam.
Tapi Verrel merasakan badan Imam panasnya agak tinggi. "Kok badannya panas ya? Coba bunda pegang"
"Iya panas" Febby panik saat mengusap dahi dan lehernya.
"Ya udah kita bawa ke rumah sakit aja, ayo cepetan"
Mereka lekas keluar membawa Imam.
"Mama ikut ya" Vani ikut mengiringinya.
"Kalau mama ikut gimana Yusuf sama Almeera?"
"Oo iya ya, ya udah biar kalian aja yang ke rumah sakit"
Kali ini Febby yang menyetir, sementara Verrel yang menggendong Imam.
        Sedangkan diluar pagar ada Raka dan Chiko yang berpura-pura sibuk menerima telepon sambil memalingkan muka, agar tidak dikenali. Setelah kendaraan mereka berlalu, Raka dan Chiko tampak saling tos kegirangan. Lantas Raka mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
Tampak di koridor rumah sakit, Feverr berjalan agak tergesa-gesa. Ditambah  lagi Imam tiba-tiba muntah, kepanikan mereka makin memuncak.
"Astaghfirulllahaladzim yah..." Febby mulai menitikkan air mata sambil mengelapnya pakai tissue.
"Udah bunda jangan nangis..."
Mereka masuk ke ruangan Dokter anak. Setelah melakukan pemeriksaan, si Dokter menyimpulkan kalau Imam mengalami keracunan makanan.
"Keracunan makanan...?" Mereka tercengang.
"Tapi anak saya belum makan apa-apa kecuali  susu dok" Sangkal Febby sambil menenangkannya diatas ranjang pasien.
"Susu juga punya batas waktu, jadi tanggal kadaluarsanya harus di perhatikan" Terus si Dokter meresepkan obat-obatan untuk mengatasi muntah dan demamnya. Untuk mencegah dehidrasi, ia juga memberikan si kecil sedikit air putih.
"Harus lebih sering minum air putih, berikan makanan yang mudah dicerna, seperti roti tanpa rasa yang dihaluskan, atau juga pisang, supaya perutnya tidak mual dan muntah" Jelas Dokter dengan panjang lebar.
Meskipun si Imam menangis tapi tidak sekencang sebelumnya. Ia hanya merengek-rengek.
"Apa perlu dirawat dok?" Tanya Verrel.
"Untuk sementara harus kita rawat dulu, tapi kalau dalam dua hari ke depan tidak ada perubahan, maka kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut"
Saat Dokter hendak mulai memasangkan infusnya, mata Febby berkaca-kaca menahan tangis. Ia sungguh tidak tega melihat si kecil harus di tusuk jarum.
"Anak cowok harus kuat ya sayang ya..." Bujuknya memberikan dot sambil menggendongnya, supaya pemasangan infusnya lebih mudah.
"Ya Allah..." Batinnya ikut menjerit kala Imam menangis merasakan infus tersebut, sedangkan Verrel berupaya menyanyikan lagu anak-anak untuk menenangkannya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang