part 140

163 21 5
                                    

Alan hanya tersenyum kaku menatap kondisi Aish yang tidak enak di pandang mata. Ia berpikir akan melihat kecantikan Bella, namun dugaannya justru sebaliknya. Ammar mempersilahkan mereka masuk sambil menggandeng Bella menuju meja makan. Aish lalu membiarkan Alan Dan Mawar mengambil nasi terlebih dahulu, tapi tangan Alan dan Mawar saling bersinggungan.
"Eh maaf" Ucap Alan.
"Iya nggak apa-apa"
Ammar berdeham batuk ketika mereka bersitatap.
"Kalau di lihat-lihat muka kalian ini mirip lho" Celetuk Ammar disela makannya.
"Iya kalian sangat cocok" Puji Bella.
"Ah kamu bisa aja deh" Alan tersipu malu. "Waah ternyata kamu pintar masak ya, ini enak banget lho"
"Mawar juga pintar masak lho jangan salah" Kali ini Ammar yang memuji Mawar. Membuat Mawar tersentak karena ia tak bisa memasak.
"Serius?" Alan makin kepo.
"Biasa aja kok nggak usah terlalu berlebihan" Jawab Mawar.
Selesai makan, Alan terpaksa meminta Mawar menuangkan minum untuknya, karena Bella bersikap cuek. Batin Bella jelas girang menatap keduanya yang saling menahan grogi. Ia berharap misinya berhasil untuk mendekatkan keduanya.

Di sebuah toko sepatu, Febby dan Livia lagi melihat-lihat sepatu. Febby masih bingung sepatu seperti apa yang di inginkan Verrel, karena Verrel lebih memilih pulang untuk menemani si kembar main, dari pada ikut ke mall. Makanya Febby meminta Livia yang menemaninya.
"Nyari sepatu apa mba?" Tanya penjaga toko.
"Sepatu olahraga buat suami saya, soalnya dia suka main basket" Jawab Febby.
Si penjaga toko itu menunjukkan model-model sepatu olahraga untuk laki-laki. Setelah mendapatkan sepatu yang sreg di hatinya, Febby meminta penjaga toko untuk membungkusnya.
"Oia, lo sama Wira gimana?" Febby membuka pertanyaan sembari duduk di samping Livia yang termangu.
"Kok jadi ngebahas dia sih? " Keluh Livia.
"Memangnya kenapa?"
"Gue sama Wira itu cuma temen aja kok"
"Iya karena lo nggak mau nerima dia"
Si penjaga toko meminta Febby membayarnya ke kasir, karena sepatunya sudah di bungkus seperti kado.
"Iya makasih" Febby pun membayarnya.
Namun Livia melongok mendapati Wira tengah bersama Nasya melintasi toko tersebut. Ingin berteriak memanggilnya, tapi ia juga sadar kalau Wira bukan siapa-siapanya.
"Kenapa vi?"
Tapi Livia seperti tak mendengar. Febby lalu mengikuti arah mata Livia yang menatap kaca luar. "Nggak ada siapa-siapa?" Pikirnya. "Hellow..." Febby melambaikan tangannya didepan wajah melongok itu, barulay Livia tersadar. "Lo ngeliatin siapa sih?"
"Tadi gue kayak liat Wira deh, tapi sama Nasya"
"Orang nggak ada siapa-siapa kok, itu artinya lo lagi mikirin Wira"
"Beneran gue nggak mikirin dia, tadi dia lewat didepan sama Nasya"
"Itu cuma perasaan lo aja kali, udah ah" Febby mengajaknya keluar.
Ketika melewati toko pakaian, mata Febby tertuju pada celana pendek bermotif garis-garis yang terpajang di patung. Ia ingin membeli celana itu untuk suaminya.
"Mau kemana lagi sih?" Tanya Livia saat Febby menarik lengannya memasuki toko itu.
"Coba lo liat celana itu?" Tunjuknya. "Bagus kan buat cowok, gue mau beliin Verrel, lo juga beli dong buat Wira"
"Idih memangnya Wira siapanya gue beliin dia segala"
"Ya sekali-kali nggak apa-apa kali, kado buat ulang tahunnya nanti"
"Bener juga ya" Pikir Livia, namun ia tak mau sampai Febby tau kalau ia punya niat seperti itu.
Sudah beberapa jam mereka silih berganti memasuki toko. Yang terakhir, yaitu toko sepatu baby. Febby tak ingin membuat anak-anaknya cemburu kalau cuma Ayahnya saja yang dibelikan sepatu. Jadi ia juga membeli sepatu dengan motif yang sama untuk si kembar.

Sementara di kediamannya, Verrel asyik bermain dengan si kembar diatas ranjang. Verrel menaikkan mereka secara bergantian diatas perutnya yang terlentang. Hingganya ranjang itu berantakan oleh beberapa mainan. Sampai-sampai spreinya jadi semrawut karena terangkat. Tapi Verrel tak mempermasalahkan itu. Yang penting baginya anak-anaknya senang diajak main. Namun saat Imam tengkurap didekat wajahnya, Imam menggigit hidung Verrel dengan sekuat tenaga.
"Aduuuh...ya ampun sakit banget, Imam kok nggigit Ayah sih?"
Syukurnya itu tak berlangsung lama, karena mulut Imam sudah beralih menggapai bajunya, tapi gigitan itu meninggalkan bekas di hidung.
"Ya ampun...pinter banget ya anak-anak bunda sama Ayahnya, sama-sama ngeberantakin tempat tidur..." Febby menggeleng-geleng muncul didepan pintu sambil membawa beberapa bingkisan plastik yang entah apa saja isinya.
"Si kembar yang ngeberantakin" Tuduh Verrel menunjuk mereka yang termangu menatap Ibunya. "Iya Ayah ketuanya" Sindir Febby yang makin gemas melihat ekpresi yang mereka tunjukkan. Setelah itu mereka malah tertawa dan berteriak, seperti mengajak Ibunya agar bisa ikut bermain.
"Bunda baru pulang sayang, kalian mainnya sama Ayah dulu ya, bunda mau mandi dulu"
Mereka pun menjawab dengan bahasanya.
Setelah Febby masuk ke kamar mandi, Verrel memijat-mijat paha Yusuf dan Imam.
"Di pijit dulu ya, biar bisa cepet jalan, oke"
Tak ingin membuatnya cemburu, Verrel pun memijat-mijat paha Almeera.
"Hehehe..." Almeera terkekeh-kekeh.
"Geli ya..." Tapi Verrel senang bisa membuatnya tertawa geli, karena gemas dan lucu. "Kok Imam sama Yusuf nggak geli ya?"
"YAH AMBILIN HANDUK BUNDA YAH LUPA..." Panggil Febby dari kamar mandi yang sedikit terbuka.
Verrel beranjak dan mengambilkan handuknya. Melihat tangan Febby terulur dibalik pintu, dua jari jahil Verrel meniti sepanjang tangan itu. Namun Febby juga menjahilinya dengan menarik rambutnya.
"Aduh duh..." Rintih Verrel menjauhkan kepalanya, lalu meletakkan handuk itu ke tangannya. Febby menariknya dengan cepat dan menutup pintu. Sebelum Febby ngomel-ngomel, Verrel meletakkan si kembar ke dalam rolling. Membiarkan mereka bermain sendiri kesana kemari mendorong rollingnya, sedangkan ia sendiri membereskan semua mainan yang berserakan diatas ranjang ke dalam satu tempat.
"Nah gitu dong di beresin, jangan cuma ngeberantakin doang" Ucap Febby dengan lembut, sembari membuka lemari pakaian, dalam keadaan memakai kimono dengan rambut digelung pakai handuk.
"Hmmm iya iya" Verrel kembali merapikan sprei dari ujung ke ujung.
"Oia, ini buat Ayah" Febby menyodorkan kado sepatu setelah Verrel selesai membereskan semuanya.
Wajah Verrel begitu sumringah melihat isi kado itu adalah sepatu basket yang memang di inginkannya.
"Waah bagus banget..., Ayah suka, makasih ya sayang"
"Coba dipake"
Dengan senang hati Verrel mencobanya. Ternyata ukurannya sangat pas di kakinya.
"Bunda juga beli buat si kembar lho, ayo sini sayang..." Febby meminta mereka mendekat.
Panggilan itu sukses membuat mereka berlomba-lomba mendekati Ibunya.
"Pakein yah" Pinta Febby memberikan sepatu mungil itu untuk di pakaikan ke Imam, sementara dirinya melepaskan sepatu lama yang masih melekat dikaki Almeera.
"Yeee...seneng nggak sama sepatunya hmmm...?" Goda Febby kepada Almeera usai memakaikan sepatu baru.
Tentu saja Almeera menjawab girangnya dengan bahasanya sendiri.
"CK...Haduuh, ayo kakinya yang diem dong Imam, jangan gerak-gerak terus..." Cerca Verrel, karena Imam terus saja menghentak-hentakkan kakinya, sehingga Verrel kesusahan. "Imam...bisa diem nggak? Gimana mau makein sepatu kalau kayak gini" Verrel tampaknya mulai jengkel.
Imam pun merengek-rengek ingin menangis.
"Ssst...nggak nggak sayang, Ayah nggak marah kok" Bujuk Febby menenangkan Imam sambil mencubit lengan Verrel yang masih berkutat memasangkan sepatu.
Verrel meringis pelan menahan cubitan itu.
"Ya abisnya kakinya nggak bisa diem, gimana mau makeinnya coba" Verrel membela diri agar cubitan itu tak kembali terulang.
"Cara memperlakukan anak itu harus sama seperti memperlakukan istri, harus lembut"
"Iya iya"
Akhirnya Febby yang berhasil memakaikan sepatu baru itu.
"Horee Prok prok prok..." Dengan semangat dan riang Febby bertepuk tangan menatap ekpresi mereka yang menggemaskan. "Ganteng banget sih anak-anak bunda, yang satu ini yang paling cantik"
"Maafin Ayah ya sayang ya" Sebagai permintaan maaf, Verrel mencium hidung dan pipi Imam.
Febby lalu memberikan kiss pada bibir mereka satu per satu.
"Satu lagi belum" Dengan memanyunkan bibir Verrel menatap Febby yang hendak berlalu.
"Yang satunya biarin aja, soalnya tadi dia udah marah-marah sama Imam" Sembari ke dapur ingin menemui bu Rahmi.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang