part 130

165 21 3
                                    

Setelah Verrel berlari ke ujung komplek, dan orang-orang mulai menjauhi Febby, laki-laki itu mendekati si kembar.
"Ganteng banget sih anaknya" Pujinya sembari menggendong Yusuf.
"Makasih" Sahut Febby tak menaruh curiga sama sekali.
Namun ketika Febby ingin duduk di bangku peristirahatan, laki-laki itu membawa Yusuf, sedangkan yang satu lagi menutup mulut Febby yang hendak berteriak.
"LEPASIN..." Suara serak Febby memberontak, namun tangannya dipegangi dari belakang.
"AAA..."
Febby menggigit jari tangan yang menutup mulutnya itu. Febby lalu menambahkan injakan pada kaki, serta sikutan di rusuknya. Karena tak ingin gagal dalam rencana, si laki-laki mulai menakut-nakutinya dengan tangan mengepal ingin menyerang, tapi Febby keburu menendang daerah terlarangnya dengan keras.
"SIT..." Si laki-laki melompat seperti cacing kepanasan meringis kesakitan.
Febby mengejar laki-laki yang membawa Imam, namun ia kembali karena bingung bagaimana dengan Yusuf dan Almeera. Sebelum si laki-laki yang meringis memegangi kemaluannya itu ambruk atau pingsan, Febby kembali memukul perut dan lehernya. Meskipun ingin menangis, tapi kali ini ia tidak boleh cengeng. Verrel yang lagi berlari-lari kecil di ujung jalan, tiba-tiba kepikiran si kembar dan juga Febby yang di tinggalkannya.
"Kenapa perasaanku jadi gelisah begini sih?"
Larinya kemudian dipercepat, untuk memastikan kalau mereka baik-baik saja. Tapi alangkah terkejutnya ia mendengar teriakan Febby memanggil-manggil namanya.
"Ini ada apa bunda? Yusuf mana kok nggak ada?"
"Yusuf diculik sama orang, cepetan kejar"
Langsung saja Verrel mengejar mencari seseorang yang sudah berani membawa anaknya, sedangkan Febby mengikat si laki-laki yang tak berdaya itu di pohon. Setelah itu ia menghubungi pak RT, memintanya datang segera ke tempat peristirahatan komplek. Karena jarak rumah pak RT tidak lah jauh, pak RT muncul memakai motor.
"Ada apa?" Tanya pak RT.
"Ada komplotan yang menculik anak saya pak"
"Mana komplotannya?"
"Itu pak" Tunjuk Febby pada sosok laki-laki yang terikat.

Ammar masih mengenakan piyama di kediaman Naya. Mukanya kusam serta rambutnya tampak acak-acakan. Meskipun Mawar menawarkan sarapan, tapi ia tak bergeming dari tempat duduknya.
"Gimana kalau kamu saya jodohin dengan Alan?" Tanya Ammar pada Mawar yang lagi mengaduk-ngaduk kopi.
"Aku ini istri kamu, kenapa harus di jodohin?"
"Karena saya lihat kalian itu sangat cocok"
"Nih" Mawar meletakkan gelas kopi itu dengan kasar ke hadapannya.
Tanpa sadar Ammar menghirup kopi yang masih panas itu.
"Aww..., panas banget sih" Gerutunya mengelap bibir.
"Syukurin"
"Alan itu tampan, pengusaha, punya rumah mewah, kurang apalagi coba"
"Aku nggak mau"
"Kalau kamu jadian sama dia, kita kan bisa double date, jalan jalan kemana gitu" Sembari menarawang jauh ke depan.
Belum sempat membalas perkataan Ammar, perut Mawar terasa mual. Mawar bergegas menuju keran air dan memutarnya. Beberapa kali ia memuntahkan sesuatu yang kosong dari mulutnya. Wajahnya sudah pucat dan lemas.
"Kamu kenapa?" Tanya Ammar mendekatinya.
Mawar hanya memegangi dahi, karena kepalanya terasa pusing.
"Sebaiknya kamu istirahat" Sembari memapahnya ke kamar.
Karena biar bagaimanapun juga, Mawar tengah mengandung anaknya. Jadi ia memberikan sedikit perhatian, agar Ibunya tidak mengalami stress. Ia tidak mau sampai kehilangan anak untuk kedua kalinya.
          Disisi lain, Verrel akhirnya menemukan seorang laki-laki yang membawa Yusuf di lorong kecil, setelah kesana kemari mencariya.
"Tolong serahkan anak gue" Pinta Verrel dengan sungguh-sungguh.
"Hahaha..., nih"
Namun ternyata sodoran itu cuma mengerjainya saja.
"Selangkah lo maju, jangan harap anak ini masih bernafas" Ancam laki-laki itu ketika Verrel ingin mendekat.
Terpaksa Verrel mundur kembali. Memaksa otaknya untuk berpikir, bagaimana caranya bisa merebut Yusuf tanpa ada keributan dan membuat si kecil ketakutan.
"Tolong jangan sakiti anak gue, lo mau minta apa, pasti gue kasih, tapi kembalikan anak gue"
"Apa jaminannya lo bisa ngasih apa yang gue mau?"
"Tergantung apa yang lo minta"
"Gue mau lo kalah di pertandingan besok"
"Oke, kalau memang itu yang lo mau, akan gue turutin, tapi kembalikan anak gue"
"Hahaha, lo pikir gue bodoh"
Di belakang lorong sudah ada dua polisi yang siap meringkusnya. Namun polisi itu tak mau bertindak gegabah. Ia memberi tanda agar Verrel terus mengajaknya bicara.
"Kalau besok gue ngalah, apa lo bakal menjamin keselamatan anak gue?" Tanya Verrel disela polisi itu mulai pelan-pelan mendekatinya dari belakang. "Dia masih bayi, memangnya lo bisa ngurus dia, ngasih dia susu, lo itu laki-laki jadi mana bisa nyusuin anak gue" Lanjut Verrel.
"Terserah lo, yang jelas gue nggak bakalan ngasih anak lo gitu aja"
Polisi itu membekap leher si laki-laki, sedangkan yang satu lagi merebut Yusuf.
"LEPASIN SAYA..." Laki-laki itu memberontak, tapi todongan pistol yang bergerilya di lehernya, mampu membuatnya tak berkutik.
"Ayo ikut, jangan banyak bicara"
"Ya Allah nak..." Verrel menyambut Yusuf dari polisi itu. "Makasih ya pak, bapak sudah menolong anak saya"
"Kamu seharusnya berterimakasih sama istri kamu, karena dia cepat melaporkannya kepada kami"
Terlihat di ujung lorong, Febby kesusahan menggendong Imam dan Almeera. Mereka tumbuh dengan bobot yang subur, jadi wajar saja kalau Febby harus bersusah payah membawanya. Apalagi tenaga seorang perempuan memang tidak sekuat laki-laki. Verrel cepat menghampirinya.
"Imam gendong sama Ayah aja, sini"
Febby menyerahkan Imam dengan air mata yang masih membekas di pipi.
"Yusuf nggak apa-apa kan yah?" Cemas Febby mengamati seluruh tubuh Yusuf.
"Yusuf nggak apa-apa, untung tadi polisinya cepat datang"
"Syukurlah" Febby memeluk mereka.
"Sekarang kita pulang ya"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang