part 127

153 15 10
                                    

Di kantor polisi, Hadi duduk berhadapan dengan seorang polisi yang siap menginterogasinya. Tapi Hadi bersikeras tidak mengakui kalau itu perbuatannya.
"Sekarang kamu sudah tidak bisa mengelak lagi, karena berdasarkan bukti sidik jari yang ada, ada tiga orang lagi selain kamu, salah satunya adalah Bargo, karena itu memang sindikat kalian, jadi tolong katakan siapa lagi selain kalian berdua?" Tegas polisi itu sambil memain-mainkan mistar besi diatas meja itu. "AYO JAWAB...?"
"Ss saya tidak tau pak, karena itu pertama kalinya saya bertemu dengannya" Jawabnya terbata-bata.
"Siapa namanya?"
"Kalau tidak salah nama panggilannya Wahyu"
"Wahyu...?" Celetuk Rifki dan Vani yang baru tiba.
"Apa kalian kenal dengan Wahyu?" Tanya polisi.
"Wahyu itu mantan suami saya pak, tapi rasanya tidak mungkin kalau dia yang melakukannya" Jawab Vani.
"Coba tunjukkan fotonya?"
Begitu Vani menunjukkan foto Wahyu, si Hadi menelan ludah. Mengingat ancaman Bargo yang tidak pernah main-main, membuatnya takut untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Apa ini orangnya?" Tanya polisi menekan Hadi.
"Mmm bukan pak"
Jawaban Hadi bikin hati Vani sedikit lega, meskipun tadinya sempat ragu. Ia takut sekali kalau Wahyu sampai terlibat. Karena bagaimanapun juga itu adalah mantan suaminya, Ayah dari anak-anaknya.
"Saya ingin mereka mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya pak" Pinta Rifki.
"Kami akan memberikan hukuman sesuatu dengan pasal yang berlaku, jadi pak Rifki tidak usah khawatir" Polisi itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membawa Hadi ke dalam sel tahanan. Terus mengambil uang dan perhiasan hasil rampokan Hadi.
"Ini sebagian yang berhasil kami dapatkan" Ucapnya sambil menyerahkan harta itu.
"Terimakasih pak" Sahut mereka serempak. "Kalau begitu kami permisi"
"Silahkan"

Tampak di parkiran GOR, team Tiger berkumpul membicarakan tentang kemenangan mereka. Dan mereka hanya punya waktu satu hari untuk latihan, karena senin adalah babak penentuannya. Disaat mereka bersiap-siap menaiki motor masing-masing, Verrel sibuk menghubungi Nasya yang tak kunjung aktif.
"Ayo rel" Ajak Wira.
"Lo semua duluan aja soalnya gue masih ada urusan"
"GRENG GRENG GRENG..." Suara motor mereka menderu-deru.
"Oia jangan lupa nanti sore kita latihan lagi" Sambung Verrel.
"Oke siap" Balas mereka.
          Sementara di depan rumah Feverr, sudah ada kendaraan Naya yang nongkrong entah sejak kapan. Naya langsung keluar saat kendaraan Ammar tiba. Ia menyambut kepulangan si kembar dengan hati yang riang. Itu cukup mengejutkan Febby. Karena tak biasanya sikap Naya begitu lembut tak sabar ingin menggendong salah satunya.
"Mama boleh kan membawa mereka ke rumah?" Tanya Naya setelah mereka berada didalam.
"Nggak ma" Jawab Febby singkat.
"Kok nggak boleh kenapa?"
"Karena di rumah mama ada Mawar, dan Febby nggak mau sampai dia menyentuhnya"
Mereka lalu menaruh si kembar ke kamar, karena terlihat sudah beberapa kali menguap dan merengek-rengek. Sepertinya mereka sangat lelah dan mengantuk.
"Iya iya sayang kita bobo ya..." Bujuk Febby.
"Kenapa kamu tidak mau memberikan kesempatan untuk mama mengasuh mereka?"
"Febby nggak pernah ngelarang mama untuk mengasuh mereka, justru Febby seneng banget, tapi jangan bawa mereka ke rumah itu"
"Tolong mama ngertiin perasaan Febby" Terpaksa Ammar angkat bicara, karena Naya terus memaksanya.
"Kompak banget ya kalian memusuhi mama, siapa sih yang ngajarin kalian jadi seperti ini?"
"Tidak ada yang ngajarin kita ma, jadi tolong jangan mengalahkan siapa-siapa" Bantah Ammar.
"Seharusnya mama bisa membuka hati mama, supaya jangan egois, mama sekarang beda banget sama yang dulu, kemana mama Febby yang dulu yang lembut yang perhatian, yang nggak pernah memaksakan anak-anaknya untuk melakukan sesuatu yang nggak di inginkannya" Dengan panjang lebar Febby menyampaikan uneg-unegnya.
"Oke, mungkin selama ini mama yang salah" Lirih Naya setelah meresapi kata-kata itu. "Mama minta maaf" Naya lalu pergi membawa perasaan bersalah.
Bella ingin mengejarnya, tapi ditahan Ammar.
"Tidak usah di kejar, mama butuh sendiri untuk berpikir"

Verrel mencari Nasya di lapangan skateboard tempat biasanya Nasya nongkrong, namun hanya ada segelintir anak-anak saja yang bermain skateboard.
"Ada yang liat Nasya nggak?" Tanya Verrel mendekati mereka yang kesana kemari meluncur bebas diatas papan.
"Nasya sekarang udah sibuk dengan pekerjaan barunya, jadi dia udah nggak pernah lagi kesini" Jawab si anak dari atas papan skateboardnya.
"Biasanya dia kemana lagi selain tempat ini?"
Si anak hanya meninggikan kedua bahu, pertanda kalau ia tidak tau.
"Sial, tu anak nggak bertanggungjawab banget sih" Batin Verrel menggerutu. "Di telponin susah banget, aku harus nyarinya kemana lagi coba" Ia mempercepat langkahnya menuju motor.
Kali ini ia menyusuri jalanan yang sering dilalui Nasya, dengan bola matanya ke kanan dan kiri, namun sosok Nasya tidak di temukan juga. Yang ada malah bertemu dengan orang-orang yang tak di kenal mengiringinya. Mereka terus memepet motor Verrel yang melaju santai.
"BERHENTI..." Perintah salah satu yang ingin menyenggolnya.
Terpaksa Verrel menepikan motornya, karena sudah tidak bisa kemana mana lagi akibat terkepung.
Belum sempat menaruh helm, mereka sudah mengeroyoknya. Verrel melawan mereka menggunakan helm itu sebagai alat bantu. Di seberang jalan, tampak kapten Eagle memperhatikan dari setiap gerakan Verrel dari dalam mobil. Ia membuka kacanya sedikit agar lebih jelas.
"Hebat juga tu anak, bisa ngalahin anak-anak buah gue" Pikirnya kala mereka terkapar tak berdaya. "Gue yakin tanpa dia, team Tiger bukanlah apa-apa, jadi gue harus cari cara supaya dia nggak bisa tanding" Ia lalu menutup kaca itu kembali saat sudut mata Verrel tak sengaja menangkapnya.
"Siapa kalian sebenarnya?" Tekan Verrel, tapi yang di tekan pura-pura pingsan, sedangkan yang lain buru-buru naik motor Dan kabur.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang