part 146

140 17 3
                                    

"Dari jarak berapa meter aja aku udah tau kalau itu kamu"
"Tau dari mana coba?"
"Ya dari parfumnya Vibi" Kini Febby beringsut menghadapnya.
"Ya udah nanti kapan-kapan aku mau ganti parfum ah"
"Iih jangan dong..."
"Kenapa nggak boleh?"
"Aku nggak mau Vibi berubah dalam segi apapun, aku maunya Vibi tetap seperti ini, begitu juga dengan parfumnya, soalnya aku suka wanginya, tapi kalau..." Febby sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Kalau apa?" Sepertinya Verrel sangat menantikan jawaban Febby.
"Tapi kalau berubah jadi tambah sayang sama aku sih nggak apa-apa, aku malah ngedukung banget, hehehe..."
"Rasa sayang aku ke Febby itu semakin hari semakin bertambah, bukan berkurang, coba aja Febby lihat hati aku dari sudut mata Febby" Verrel membusungkan dada.
"Iya aku bisa lihat kok, disini kan?" Tunjuk Febby menekan bawah dada bidang suaminya itu.
Febby juga bisa merasakan detak jantung Verrel yang berbunyi keras.
"Deg deg deg..."
"Kenapa mataku ditutup?" Febby keheranan dengan kelakuan Verrel yang menutup matanya pakai sapu tangan.
"Coba Febby belajar memetikkan piano tanpa melihat, dulu kan Febby pernah memainkannya"
"Iya tapi nutupnya jangan terlalu kencang Vibi..."
"Oh maaf maaf..." Verrel mengendurkannya.
Satu per satu nada piano di tekan untuk memastikan suaranya terlebih dahulu. Sedikit demi sedikit Febby bisa mengingat letak-letak nada tersebut. Kali ini ia mencoba nada lagunya Verrel yang berjudul bilaku jatuh cinta, sementara Verrel melantunkan lagunya. Setelah selesai, Verrel melepaskan sapu tangan yang menutupi mata Febby.
"Kalau terus di pelajari, kita bisa aja bikin konser"
"Hmm Vibi ada-ada aja deh" Febby menutup mulutnya sendiri menahan tawa.
"Kok malah ketawa sih, aku bisa aja bikin konser buat Febby, asal Febby siap"
"Mmm apa itu bisa menghasilkan uang?"
"Ya iya dong sayang..." Verrel ingin mencubit kedua pipi Febby yang menunjukkan mimik yang polos itu, tapi berbuhung Febby memejamkan mata dan mengerucutkan bibir, Verrel tidak jadi mencubitnya, akan tetapi membenahi jilbabnya.
            Terlihat dari kejauhan Iwang lagi menempel kertas pengumuman kemenangan atas terpilihnya Verrel sebagai ketua UKM basket. Selama menempel kertas-kertas itu, Wira dan teman-temannya berdiri bagaikan mandor, yang mengawasi pekerjaan Iwang. Sementara Verrel dan Febby baru saja keluar dari ruangan piano bersama Livia.
"Apa lo mau gabung di basket kita?" Tanya Verrel saat didekat Iwang.
"Sorry gue nggak tertarik" Ketus Iwang.
"Bukannya lo punya bakat di bidang itu ya?"
"Gue memang suka main basket, tapi sayang ketua dan pelatihnya yang bikin gue nggak tertarik"
"Oke, kalau memang itu udah jadi keputusan lo, tapi lo nggak bakal menyesal kan?"
Terpancing emosi, Iwang hampir saja melayangkan tinjunya, kalau saja Febby tidak menghalanginya.
"Udah sekarang kita pergi" Febby langsung menarik lengan Verrel sebelum suasana makin panas.
Disisi lain, Andin menemui Ammar di ruangannya. Menyerahkan tugas-tugas yang di perintahkan Ammar beberapa hari yang lalu. Semua sudah di rangkum dalam satu file.
"Inflasi saham, dan juga pertumbuhan ekonomi" Baca Ammar sambil manggut-manggut. "Oke bagus, lain kali jangan bikin masalah lagi, mengerti?"
"Iya pak"
"Jangan iya iya aja tapi nanti diulangi lagi"
"Saya janji saya tidak akan mengulanginya lagi pak"
"Saya pegang janji kamu"
"Baik saya permisi pak"
Dan didepan pintu masuk kampus, Wira, Reno, Astra dan Zian melihat Aldo sedang berbicara dengan beberapa orang di pinggir jalan. Cukup lama Wira berupaya mengingat wajah orang-orang tersebut.
"Itu kan yang nyerang gue sama Verrel semalam, kok bisa kenal sama Aldo sih?"
"Mereka nyerang lo?" Tanya Zian penasaran.
"Iya"
Melihat mereka, Aldo meminta orang-orang yang bersamanya segera pergi. Agar tak curiga Aldo menghampiri mereka.
"Siapa mereka?" Tanya Wira.
"Gue juga nggak tau" Jawabnya.
"Tapi kok kayaknya lo kenal sama mereka"
"Mereka nyariin orang, katanya sih kuliah di kampus ini, cuma gue nggak seberapa kenal sama orang yang mereka cari"
"Siapa namanya?"
"Mmm mereka nyari yang namanya Vicky"
Meskipun itu alasan yang masuk akal, tapi Wira menatapnya penuh selidik. Dan Aldo sangat menyadari itu.
            
Di koridor kampusnya pak Hidayat, Bella berpapasan dengan beliau. Tentu saja kedatangannya disambut hangat oleh pak Hidayat, namun didalam hati pak Hidayat menaruh kebencian akibat penolakannya.
"Kebetulan kita bertemu disini" Ucap Bella.
"Sebaiknya kita bicara didalam saja" Ajak Pak Hidayat berlalu lebih dulu menuju ruangan pribadinya.
Terpaksa Bella mengikutinya dari belakang. Pak Hidayat lalu mempersilahkannya duduk. Ruangan itu cukup besar, tapi terlihat berantakan.
"Apa Ibu Bella sudah berubah pikiran?" Tanya pak Hidayat.
"Kedatangan saya kemari hanya ingin mengembalikan harta bapak" Sembari menyodorkan cek diatas meja.
"Hmm..." Pak Hidayat tersenyum sini memperhatikan Bella dan juga cek itu. "Apa ini tidak cukup?"
"Saya bukan perempuan yang silau dengan harta pak"
"Kenapa? Apa karena Verrel itu adiknya Ibu Bella?"
"Seandainya dia bukan adik saya sekalipun, saya tetap tidak akan mengizinkannya mengajar di tempat lain"
"Oke, saya bisa memahami keputusan Ibu sebagai pemilik yayasan"
Lalu pak Hidayat merobek-robek cek itu sampai menjadi kecil-kecil. "Beres kan, simple kok" Dengan menahan amarah ia membuangnya ke kotak sampah.
"Sekali lagi saya minta maaf pak"
"Oh tidak apa-apa, itu tidak masalah bagi saya"
"Kalau begitu saya permisi"
Pak Hidayat tidak menjawab. Ia justru memutar-mutar kursi kebesarannya menatap Bella yang beringsut dari tempat duduknya meninggalkan ruangan.
             Sementara dikediaman Vani, Rifki menatap kepulangan Vani yang baru saja sampai.
"Kamu dari mana?" Ketus Rifki bertanya. "Kamu tau nggak, aku ini lagi banyak masalah di kantor, tapi kamu malah pergi pergi pergi terus nggak pernah ada di rumah"
"Aku minta maaf mas, aku bikinin mas kopi sebentar"
"Aku belum selesai bicara Vani" Tahan Rifki ketika Vani ingin ke dapur.
Vani terpaksa kembali mundur dan duduk di sofa mengikuti Rifki.
"Terus mas mau minta aku berbuat apa?"
"Aku hanya ingin kamu ada di rumah tidak kelayapan kemana-mana"
"Baik, kalau memang itu yang mas inginkan, mulai sekarang aku nggak akan keluar kemana-mana" Vani lalu ke dapur. Duduk berdiam diri disana tidak melakukan apa-apa. Ia berupaya memahami apa yang sedang dialami Rifki.
"Aku berharap masalah di kantor kamu cepat selesai mas, aku juga mendoakan supaya kamu baik-baik saja" Vani berbicara sendiri
"Terimakasih, aku pikir kamu sudah tidak memperdulikan aku lagi, ternyata aku salah" Ternyata Rifki yang ingin ke dapur mendengarnya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang