part 58

214 18 0
                                    

Sementara Livia masuk kedalam, Andin memandangi foto Verrel didalam ponselnya.
"Febby itu nggak pantes buat lo tau nggak" cercanya.
Ia tak menyadari kalau ada seorang laki-laki yang membocorkan ban belakangnya.
"Hehehe..., Jadi nggak sabar mau liat ekspresi muka Andin kayak mana" riang Livia sambil mengamati dari balik tirai.
"Bannya kempes tuh" tunjuk si laki-laki tadi pada Andin.
"Haah kempes?" Andin mengecek ke belakang. "Kok bisa kempes sih?"
Livia sangat puas melihat ekspresi Andin yang begitu kesal dan marah-marah. Sambil ngomel-ngomel, ia mengganti bannya.
"Kenapa tuh bannya?" Sindir Andin sambil mendekat.
"Nggak tau nih tiba-tiba kempes, bantuin dong"
"Sini gue bantuin" Livia pura-pura memegangi ban serep tersebut. "Muka lo ada nyamuk tuh" serunya.
Secara reflek Andin menepuk mukanya sendiri. Setelah melihat tangannya penuh oli, ia kaget.
"Hahaha..." Livia tertawa terbahak-bahak. "Muka lo lucu banget"
Lalu ia meninggalkan Andin sendiri.
"LO NGERJAIN GUE YA...?" teriak Andin, tapi Livia sudah pergi entah kemana.
Terpaksa ia harus berkutat meneruskannya sampai selesai dengan penuh kekesalan.

Verrel dan beberapa orang membawa dua pasutri korban kecelakaan ke mobilnya secara bergiliran, sedangkan anaknya terus menangis tak henti-henti meratapi kedua orangtuanya yang mengeluarkan darah dibagian kepala.
"Adek jangan nangis ya" bujuk Febby sambil menoleh ke belakang.
"Sella takut mama sama papa meninggal kak" si anak merengek-rengek.
"Kita doain aja supaya mereka baik-baik aja"
Shella memeluk keduanya sambil tersedu-sedu.
"Kita harus bawa mereka ke Rumah Sakit Medika" ucap Verrel bergegas menginjak gigi mobil.
"Ya Allah, jangan kau ambil mama dan papa Sella ya Allah, Sella belum bisa membahagiakannya" rintih Sella berdoa dengan khusyuk.
"Amin..." Sahut Febby dan Verrel.
"Doa anak yang Sholehah insyaallah akan di ijabah sama Allah..." Lanjut Febby.
Sella sedikit lebih tenang dan optimis. Sesampainya di rumah sakit, Verrel memanggil-manggil suster. Dua suster segera datang sambil mendorong tandu stretcher dan meletakkan korban di atasnya.
"Ayo sayang..." Verrel mengajak Febyy dan Sella mengikuti suster ke ruang IGD.

Diatas gedung apartemen, Wahyu menatap Naya yang mulai panik. Ada rasa iba, namun ada juga rasa kesal, karena Naya terus saja membencinya.
"Mau sampai kapan kamu membenci aku Naya?"
"Sampai kamu menghilang dari kehidupanku"
"Apa kamu menginginkan aku mati?"
Tentu saja, karena aku tidak sudi berurusan sama pembunuh seperti kamu"
"Kalau kamu tidak sudi berurusan denganku kenapa kamu mau menikahkan anak-anak kita?"
"Jelas itu berbeda Wahyu"
Disisi lain, Ammar dan petugas masih berkutat membuka kamar yang kosong satu persatu. Karena sudah kehilangan akal, Ammar langsung mengeluarkan ponsel dan menghubungi Wahyu. Dari atas gedung, Wahyu tersenyum lebar menatap ponselnya yang terus berdering.
"Ammar Ammar..." Gumam Wahyu menghela nafas.
Sontak Naya merebut ponsel itu sampai ia terpeleset dan ponselnya jatuh.
"NAYA...PEGANG TANGANKU..." Wahyu mengulurkan tangan pada Naya yang bergelantungan disisi gedung.
"TOLOONG..."
tapi Naya bersikeras menolak pertolongan Wahyu.
Mendengar suara tersebut, Ammar semakin khawatir.
"HALLO...MAMA..." teriak Ammar di dalam ponsel.
Sedangkan ponsel Wahyu yang tergeletak di dekat kaki Wahyu terus saja menyala karena Ammar belum menutupnya.
"KAMU PEGANG TANGANKU NAYA JANGAN EGOIS..." pinta Wahyu dengan berteriak.
"KAMU YANG EGOIS, KARENA SEMUA INI PERBUATAN KAMU..."

Bella cepat-cepat membuka pintu begitu mendengar suara ketukan pintu. Bella mengira kalau itu Ammar dan Naya, namun tebakannya meleset total. Karena yang muncul justru wajah perempuan yang sangat menyebalkan, yaitu Mawar.
"Apa kabar Bella?" Tanya Mawar berbasa basi sambil menyodorkan tangan.
"Nggak perlu berbasa-basi" Bella masih bersikap lembut sambil melipat kedua tangan. "Katakan saja apa maksud dan tujuan kamu?"
Mawar malah masuk dan duduk santai diruang tamu. Bella tau siapa yang sedang dihadapinya sekarang. Jadi ia tidak mau bersikap kasar, meskipun dalam hatinya sangat bertolakbelakang.

Di Rumah Sakit, mamanya Sella yang bernama Jihan perlahan-lahan sadar. Sella dan Febby ikut senang melihat sebuah keajaiban yang rasanya tak mungkin. Tapi itulah kebesaran Allah yang tak bisa diterka oleh manusia.
"Mama..." lirih Sella memeluknya erat.
"Syukurlah mba akhirnya sadar" ucap Febby sambil mendekat memakai tongkat.
"Apa kamu buta?"
Tanya Jihan.
"Iya ma, kak Febby buta, tapi kak Febby ini yang sudah menolong mama dan papa sampai kesini" jawab Sella sebelum keduluan oleh Febby.
Febby lantas membenarkannya dengan terpaksa.
"kak Verrel, keadaan papa gimana?" Tanya Sella begitu Verrel menghampiri Febby.
Verrel hanya meremas tangan Febby. Itu tandanya ia tengah kebingungan. Ia tidak tega menyampaikan berita kematian papanya.
"gimana keadaan papa kak?" Sella mengulangi pertanyaan sambil mengguncangkan tubuhnya.
"Kami, kami sudah berusaha semampu kami, tapi kenyataannya tuhan berkehendak lain" jawab Dokter tiba-tiba muncul.
"Maksud Dokter suami saya meninggal?" Rintih Jihan, tapi Dokter hanya bisa menahan kesedihan.
"PAPA..." pekik Sella menangis histeris sambil berlari menyambangi kamar papanya.
Dengan berat hati, Jihan melepaskan infus yang masih menempel di tangannya. Hampir saja Jihan terjatuh dari ranjang, tapi untung ada Verrel segera membantunya.
"Cobaan ini pasti sangat berat, bahkan lebih berat dari apa yang aku alami" lirih Febby sambil meraba kursi panjang duduk diluar.
Andin yang ingin memeriksakan dirinya ke Dokter tiba-tiba berhenti setelah melihat Febby.
"Pucuk di cinta ulam pun tiba" riangnya dalam hati, lalu menghampirinya. "Ternyata lo disini, Verrelnya mana?"
Febby bukannya menjawab melainkan pergi meninggalkannya.
"Gue nggak salah liat kan?" Andin serasa tak percaya setelah melihat Febby berjalan. Ia buru-buru mengejarnya dan melambaikan tangan didepan wajahnya.
"Febby beneran buta" mulutnya membulat saking girangnya, tapi Febby tak peduli mendengar perkataan itu.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang