part 101

153 15 0
                                    

Di persimpangan jalan, pengejaran Bima yang dilakukan Andin, Dino dan geng tukang palak berhenti tiba-tiba, karena terjebak lampu merah.
"Aagh lampu merah sialan" gerutu Andin.
Ia tak sengaja berdampingan dengan kendaraan Nasya. Ketika rambu lalu lintas bergerak ke hijau, Nasya melaju meninggalkan mereka. Tanpa disadari buku diarynya terjatuh. Tangan Andin terulur memanggilnya, tapi Nasya tidak mendengar.
"Apa sih itu?" Gumam Dino dari atas motor ingin memungutnya, tapi Andin yang memungutnya lebih dulu.
"Buku apaan sih ini?" Sambil menggerutu Andin membuka lembar pertama.
"TIN TIN TIN..."
Suara klakson kendaraan yang dibelakangnya, memaksa Andin cepat menutup diary itu dan kembali ke motornya.
Sementara dikediaman Rifki yang baru, Vani terkenang akan masalalu bersama Wahyu dan juga kedua anaknya. Jujur saja ia belum sepenuhnya bisa melupakan kenangan-kenangan mereka.
"Pasti kamu lagi teringat masa lalu ya?" Celetuk Rifki dibalik pintu.
"Ini tempat yang pernah aku tinggali bersama anak-anak mas, jadi aku tidak bisa melupakannya begitu saja"
"Tidak apa-apa, bagiku itu hal yang biasa"

Setelah shalat subuh berjamaah, Febby mencium punggung tangan Verrel yang menjadi imamnya itu. Ponsel Febby berdering sebentar. Dari suaranya sih sepertinya cuma pesan. Dikiranya sangat penting, Febby lekas membukanya sebelum melepaskan mukena.
"Maaf, kalau gue ganggu lo subuh-subuh, gue cuma mau klarifikasi masalah kita, jadi gue minta waktu lo sebentar"
Itu bunyi pesan dari Nasya. Nasya yang lagi dikediaman berbeda, tampak gelisah menunggu balasan dari Febby. Tak sedetikpun ia melewatkan layar ponselnya, agar bisa melihat apakah Febby lagi mengetikkan sesuatu atau justru cuma di read saja?
"Maaf gue belum bisa ketemu sama lo, soalnya gue mau honeymoon sama Verrel...!" Febby membalas pesan itu dengan kata-kata panas.
Tentu saja Nasya yang membacanya jadi kesal.
"Liat aja ntar, kalau gue bisa ngedapetin cowok yang lebih dari Verrel, bakal gue panasa-panasin juga lo...!" Gerutu Nasya menutup ponselnya.
"Siapa sih, kayaknya serius banget?" Gumam Verrel memanjangkan leher dari belakang Febby.
"Kepoo..." Ponsel itu langsung ditutup oleh Febby.
Terus ia cepat membereskan peralatan sholatnya.
"Mmm Ayah jagain si kembar ya, takutnya mereka bangun" sembari bergegas keluar membawa handuk kecil.
"MAU KEMANA...?"
"UDAH POKOKNYA AYAH JAGAIN MEREKA..." Suara Febby semakin jauh terdengar.
Verrel membuka lemari pakaian dan memilih baju dan celana yang akan dibawa ke Bali. Usai memasukkan pakaiannya ke dalam tas gendongan, ia sengaja memasukkan lingerie dan dress Febby sambil tersenyum nakal.
"Hei..., Anak-anak Ayah udah bangun ya..." Sapanya ketika mendengar suara kicauan mereka. Lantas ia mengangkatnya keatas ranjang. Memberikan perhatian penuh dengan mencium perut, leher dan juga ketiaknya berkali-kali. Membuat mereka tak berhenti terkekeh-kekeh. Febby melangkah masuk sambil mengelap keringat dileher, karena habis jogging. Namun Rona kebahagiaannya terpancar, seketika melihat kebersamaan antara Verrel dan si kembar yang terus memberikan senyum dan tawa imutnya.
"Eeit nggak boleh" Verrel melarang antusias Febby yang ingin mencium mereka.
"Iih Ayah apa-apaan sih, ini kan anak Bunda juga"
"Bunda itu lagi keringetan, jadi dilarang keras untuk menyentuh mereka, oke"
Verrel sangat senang, sudah berhasil membalas perlakuan Febby terhadapnya ketika dilarang menyentuh mereka kalau belum cuci tangan.

Tampak Wahyu meringkuk tidur di pojok sebuah masjid. Ia tak peduli dengan suara orang-orang yang hilir mudik keluar masuk masjid selesai beribadah. Tak ada satupun orang yang berani membangunkannya, kecuali pak ustadz. Wahyu bukannya mengikuti anjuran pak ustadz yang memintanya shalat, malah marah-marah.
"Di dunia ini kita hanya sementara pak, waktu yang sudah kita abaikan juga tidak akan pernah bisa kembali, kalau waktu kita habiskan untuk bermalas-malasan, itu akan merugikan kita sendiri"
Wahyu berlagak mendengarkan nasehat-nasehat pak Ustadz.
"Maaf pak ustadz, saya khilaf"
"Ya sudah tidak apa-apa, tapi lain kali harus giat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, apalagi kewajiban kita sebagai umat muslim"
"Iya pak ustadz"
"Kalau gitu saya tinggal dulu, assalamu'alaikum"
"Walaikumsallam"
Sepeninggalnya mereka, Wahyu memeriksa tasnya. Ia bernafas lega setelah melihat uang 10 jutanya masih ada.
       Sementara di rumah sakit, Bella duduk didepan kamar Mawar sambil menggigil kedinginan. Dari semalam ia tidak menyentuh makanan sedikitpun. Selang beberapa menit, terdengarlah derap sepatu Ammar mendekat. Membawa bingkisan kecil di tangan.
"Sayang..." Ammar duduk disamping Bella sembari menatap matanya yang terlihat sayu.
"Sayang makan dulu ya" pintanya membukakan sebungkus roti.
Dipegangnya tangan Bella terasa panas sekali. Sepertinya Bella dilanda demam tinggi.
"Kok badan sayang panas sekali ya?" Ammar memegang dahi Bella untuk meyakinkan dugaannya.
Sebelum membawanya menemui Dokter, Ammar menyuapinya terlebih dahulu dan membukakan tutup botol Aqua untuknya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang