part 134

148 26 17
                                    

Pulang ke rumah, Febby terlebih dahulu membawa Almeera ke kamar, namun ia dikejutkan dengan seseorang yang tidur di atas ranjangnya.
"TOLOONG..." Pekik Febby.
"Ada apa ada apa?" Wahyu yang terbangun akibat teriakan itu bangkit seperti orang linglung.
Aish yang menggendong si kembar langsung menghampiri.
"Papa..." Mereka terkejut. "Papa ngapain tiba-tiba ada disini?" Tanya Bella.
"Mmm papa cuma pengen kesini aja, soalnya kangen sama cucu-cucu papa" Wahyu memberikan alasan seadanya untuk menutupi permasalahannya.
"Iya tapi nggak harus di kamar Febby juga, kalau Febby jantungan gimana" Protes Febby.
"Maaf" Wahyu kemudian kembali meneruskan tidurnya di sofa depan. Sementara Febby menemui bu Rahmi yang lagi membereskan dapur.
"Sejak kapan papa ada disini? Kenapa bu Rahmi nggak ngasih tau Febby dulu? Seenaknya aja ngizinin orang masuk"
"Maaf non, saya juga nggak tau sejak kapan dia masuknya, tadi pas saya lagi nyetrika tiba-tiba dia udah masuk, katanya dia adalah papanya Verrel, makanya saya nggak berani ngusirnya"
Febby hanya menghela nafas kasar.
Sebelum berpamitan pulang, Bella mengajak Wahyu keluar, namun Wahyu menolak dengan alasan mengantuk. Dan seketika Bella menyinggung tentang perampokan yang dialami Vani, Wahyu tersentak kaget. Wahyu lalu pelan-pelan beringsut dari sofa mengikuti Bella sampai di gazebo.
"Apa papa ada kaitannya dengan perampokan itu?"
"Kamu kalau nuduh jangan sembarangan begitu, memangnya kamu punya bukti?" Wahyu merasa tersinggung.
"Kalau papa nggak terlibat, kenapa sikap papa akhir-akhir ini aneh banget?"
"Aneh gimana maksud kamu?"
"Kemarin papa ke kontrakan Bella kan? Terus tiba-tiba ada preman yang datang nyariin papa"
"Papa ingatkan sekali lagi, papa tidak ada hubungannya sama perampokan seperti yang kamu tuduhkan itu"
Dari dalam Ammar terus memperhatikan mereka dengan pembicaraan yang samar-samar terdengar. Karena penasaran dengan gelagat Wahyu yang makin terlihat emosi, Ammar menghampirinya, namun Wahyu pergi dengan raut wajah yang masam.
"Apa yang kalian bicarakan sampai papa emosi seperti itu?"
"Oh tidak ada mas" Bella berupaya menutupi gugupnya.
"Kamu panggil saya apa barusan? Mas?" Ammar tersenyum geli.
"Haah masak sih? Memangnya saya ngomong begitu ya?" Bella tersipu-sipu.
"Tapi saya suka kok dengan panggilan itu"
"Maksud kamu, kamu maunya saya panggil dengan sebutan itu"
"Hmm..." Sambil tersenyum Ammar mengangguk.

Kita kembali kepada Verrel dan teman-temannya yang masih berada di tambal ban. Setelah semuanya selesai, mereka bergegas memakai helm. Baru setengah perjalanan, Zian membuka kaca helm, menantang mereka ngetrek. Langsung saja itu disambut dengan kegembiraan. Karena mereka jarang melakukan aksi seperti itu dijalanan, jadi mereka ingin mencoba sesuatu yang berbeda sebagai perayaan kemenangan.
"Oke siapa takut..." Senyuman Verrel terlukis di bibir, karena ia memang sudah terbiasa melakukan atraksi seperti itu, apalagi ngetrek. Dengan semangat tinggi mereka melakukannya, namun tidak untuk Livia yang berboncengan dengan Nasya. Livia lebih memilih pulang ketimbang ikut-ikutan ngetrek. Selain ingin beristirahat, ia memang tidak bisa melakukannya.
"GRENG GRENG GRENG..." Auman suara motor mereka terdengar kencang saling mengitari kendaraan satu sama lain, berputar dan meloncat dilakukan berkali-kali. Bahkan Verrel tak segan-segan menunjukkan keahliannya meloncatkan motor dengan bergaya. Sampai akhirnya mereka harus tercyduk oleh sekelompok polisi yang sedang beroperasi.
"KITA HARUS KABUR REL..." Teriak Wira mengajaknya, tapi Verrel tak bisa kabur kemana-mana karena polisi itu sudah dekat sekali dengannya, sedangkan Zian, Astra, Reno dan Aldo sudah berpencar duluan.
Tadinya Wira sudah jauh meninggalkan Verrel, namun ia tidak tega harus meninggalkan Verrel seorang diri menghadapi polisi itu.
"Kamu harus ikut kami ke kantor" Ucap salah satu polisi.
"Tapi pak" Verrel sangat tidak menginginkan hal itu.
"Kamu juga ikut" Yang satunya lagi menggiring Wira.
"Kita cuma ngetrek doang kok pak, bukan balapan liar" Sangkal Wira.
"Silahkan nanti jelasin di kantor"
Akhirnya motor mereka di angkut, sedangkan Verrel dan Wira di gelandang ke mobil patroli.

Di kontrakannya, Wahyu kebingungan harus bersembunyi dimana lagi, untuk menghilangkan rasa takutnya. Mendengar sedikit suara saja, ia sudah berlari mengintai keadaan luar dari balik tirai jendela. Padahal itu hanya suara tetangga yang sedang ngobrol. Wahyu lalu bersembunyi dibawah kolong ranjang sambil memohon ampun kepada Allah atas segala perbuatannya. Dibenaknya timbul ingin menyerahkan diri saja, dari pada harus dihantui perasaan takut seperti ini, tapi ia tidak mau kalau harus mendekam di penjara lagi. Tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk pintu sampai berkali-kali. Karena tidak dibuka juga, suara ketukan pintu itu makin keras. Wahyu memejamkan matanya, berharap ketukan pintu berhenti.
"GUBRAK...GUBRAK..." Pintu itu didobrak oleh pasukan polisi.
Semua berpencar menggeledah isi rumah itu mencari Wahyu, namun tak ada satupun yang berhasil menemukannya. Saat berada di dalam kamar tersebut, suara ponsel Wahyu berbunyi. Tentu saja polisi itu curiga dan menunduk ke sumber suara, diwaktu Wahyu mematikan ponselnya.
"AYO KELUAR..." Bentak polisi itu.
Dengan keringat membasahi dahi, Wahyu terpaksa keluar dari persembunyiannya. Wahyu di borgol dan dibawa ke dalam mobil. Kali ini Wahyu pasrah dan tidak memberontak sedikitpun.             
            Sementara di meja makan kediamannya, Febby menerima telepon dari kantor polisi.
"Iya hallo, ini siapa?" Tanya Febby keheranan.
"Kami dari kantor polisi"
"Kantor polisi?"
"Iya betul, saudara Verrel suami anda kini berada di tahanan karena diduga melakukan balap liar"
"Astaghfirullahaladzim..." Febby tampak syok. "Iya saya segera kesana pak"
Setelah menutup telepon itu, Febby menghubungi Ammar. Ia mengatakan apa yang diberitahukan polisi tadi.
"Di tahan polisi gimana?" Ammar masih ragu.
"Ya Febby juga nggak tau kak, katanya Verrel diduga ikut balapan liar"
"Ya udah kita kesana sekarang"
Sambil menahan tangis dan panik, Febby kemudian berpamitan pergi kepada bu Rahmi. Ia juga meminta supaya menemani anak-anaknya, jangan sampai ditinggal begitu saja di kamar. Lantas ia meraih kunci mobil, segera menuju kantor polisi. Mobilnya sengaja dipacu agak ngebut supaya cepat sampai.
"Vibi ngapain sih ikut balap liar segala? Memangnya nggak punya pekerjaan yang lebih penting begitu!" ia terus ngomel sendiri memaki Verrel seperti orang stres.
Hampir saja kendaraannya bertabrakan dengan kendaraan Ammar yang sama-sama menempati parkiran kantor polisi. Febby mengucap istighfar. Di dalam sel, Verrel dan Wira duduk meringkuk dengan mengapit kedua kaki di pojokan.
"Gimana ini rel? Masak iya kita harus di penjara? Cari solusinya"
Verrel hanya menunduk tak menghiraukan ucapan Wira. Di otaknya cuma ada bayangan si kembar yang tersenyum menatapnya, namun terlintas juga wajah garang Febby yang memakinya.
"Maafin aku bun...aku nggak bermaksud membebani kamu"
"Lo udah dapet solusinya belum? Gue nggak mau di penjara rel"
"GUE JUGA NGGAK MAU WIRA..." Secara tiba-tiba Verrel membentaknya, membuat para napi yang lain terbangun.
Setelah Ammar menandatangi surat atas jaminan mereka, Verrel dan Wira dinyatakan bebas. Lalu polisi itu meminta rekannya untuk mengeluarkan Verrel dan Wira.
"Kalian berdua bebas"
"Haah" Mereka terperangah.
"Kita bebas pak?" Tanya Verrel.
"Iya kalian bebas, tapi ingat jangan di ulangi lagi" Sembari membuka gembok sel itu.
Mereka mengikuti polisi itu ke ruang tunggu, dimana Ammar dan Febby tengah menunggunya. Verrel menundukkan kepala. Ia tak sanggup menghadapi Febby yang mengamati sekujur tubuhnya.
"Ayo pulang" Febby menarik lengannya.
"Terimakasih ya pak" Ucap Ammar kepada polisi yang sudah memberi kesempatan kepada Verrel dan Wira. "Kami permisi"
"Silahkan"
Di parkiran, Verrel meminta kunci mobil kepada Febby yang tak ingin melepaskan tangannya.
"Nggak usah, biar bunda aja yang nyetir" Tolak Febby.
"Iya tapi..."
"Tapi apa?"
"Tangannya lepasin dulu dong, takut kehilangan ya...?"
"GR banget sih" Febby melepaskan tangannya sambil mendelik Verrel yang senang  menggodanya. "Ayo masuk"
"Iya nya"
Setelah Verrel masuk, barulah Febby masuk dibagian kemudi.
Lama mereka saling melirik diam-diam disela Febby menyetir. Untuk mencairkan suasana Verrel ingin menyetel musik, namun Febby memukul punggung tangannya.
"Aduh macan ngamuk" Ucap Verrel secara spontan.
"APA...?" Febby menghentikan mobil di pinggir jalan.
Verrel menunduk sambil memanyunkan bibir. Maklum saja, Verrel type laki-laki yang suka baper kalau di omelin, apalagi di omelin sama istri.
"Nggak usah sok cemberut, sekarang kasih bunda alasan, kenapa ikut-ikutan balap liar segala? Memangnya nggak punya pekerjaan yang lebih positif selain itu?" Febby kembali ngomel.
"Siapa yang ikut balap liar, nggak kok, kita cuma ngetrek doang"
"Mau ngetrek mau ngetrok, itu sama aja, sama-sama liar di jalanan"
Verrel kembali terdiam mendengarkan ocehan sang istri.
"Awas aja kalau sekali lagi masih suka ikut-ikutan kayak gitu"
"Iya nggak akan"
"Nggak akan apa?"
"Verrel berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, kecuali kalau ngetrek di tempat khusus" Dengan bibir manyun Verrel menjawab seperti pembacaan teks pancasila.
Tentu saja hal itu membuat Febby ingin tertawa, tapi Febby tak mau menunjukkannya.

Baru saja Ammar dan Wira pergi meninggalkan kantor polisi itu, datanglah kendaraan yang membawa Wahyu dalam keadaan tangan di borgol. Wahyu di giring sampai di depan sel yang di penuhi oleh para narapidana bertato. Di dalam sel itu tampak Hadi sedang memijat salah seorang. Wajahnya terlihat lelah. Sepertinya raga dan batinnya tersiksa setelah di penjara. Melihat Wahyu dimasukkan ke dalam sel yang sama, Hadi tertawa terbahak-bahak.
"Wahyu Wahyu...saya pikir kamu sudah hidup enak diluar kota sana, tapi ternyata sama saja seperti yang saya alami" Ucap Hadi setelah polisi menggembok pintunya kembali.
"BISA DIAM TIDAK, KEPALA SAYA PUSING..." Bentak Wahyu sambil menendang jeruji besi.
"YANG SEHARUSNYA DIAM ITU KAMU..." Balas yang lain mencengkeram lehernya.
"Iya maaf, saya hanya emosi"
"LEBIH BAIK KAMU PIJITIN SAYA, AYO CEPETAN..."
"Maaf saya tidak bisa, karena saya bukan tukang pijit"
Penolakan Wahyu seakan sebuah hinaan baginya, sehingga Wahyu dihajar sampai terhuyung.
"Ada apa ini?" Tanya si penjaga.
"Tolong saya pak saya dihajar sama dia" Wahyu mengadukan perbuatannya.
Akhirnya Wahyu di pindahkan ke sel tahanan yang lain, agar tidak ada lagi keributan.                                  
             Sementara itu Andin bersenang-senang di sebuah cafe. Menikmati lantunan lagu syahdu  yang di bawakan oleh seseorang sambil memainkan piano. Sesekali ia menghirup minuman bersoda yang sudah tersedia di mejanya. Disaat yang sama, Nasya masuk ke cafe itu dengan perasaan galau. Memilih meja didekat Andin yang fokus memperhatikan si penyanyi.
"Pantesan aja matanya melotot kesana, ternyata ganteng juga" Pikir Nasya, ia lalu memesan minuman kesukaannya, yaitu juce alpukat beserta makanan ringan sebagai selingan.
Berkali-kali ponselnya berbunyi, panggilan dari Livia, tapi ia tak peduli.
"Sorry vi, kayaknya gue nggak bisa tinggal lagi di tempat lo"
Lama kelamaan Nasya mengantuk, namun itu di manfaatkan Andin untuk mengerjainya. Tak disangka kakinya malah tersandung kaki meja, sehingga ia jatuh ke tubuh Nasya.
"Ih apaan sih lo" Kaget Nasya mendorongnya.
Karena tidak terima diperlakukan seperti itu, Andin mencomot gelas minumannya.
"Nih pembalasan gue" Ia mengguyur Nasya dengan minuman itu.
Nasya pun membalasnya dengan menekuk tangannya ke belakang.
"Lepasin sakit..." Rintih Andin.
"Lo pikir guyuran minuman lo ini nggak bikin gue sakit, iya?" Nasya semakin menekannya.
Berhubung ada seorang pelayan yang menghampiri, Nasya terpaksa melepaskannya.

Kita lanjut kepada Feverr yang baru sampai didepan rumahnya. Febby segera turun dari mobil, sedangkan Verrel hanya termangu seperti tak ada daya.
"Astaghfirullahaladzim...ini anak kenapa lagi" Gerutu Febby ketika Verrel masih berdiam diri di dalam mobil tak mau keluar. "Ayo turun"
Barulah Verrel bergerak mengikuti Febby yang sekilas meliriknya.
"Kenapa? Nggak suka bunda omelin?" Tanya Febby setelah berada di kamar.
"Mmm suka kok" Verrel tersenyum kaku.
"Kalau nggak suka di omelin makanya jangan bikin sesuatu yang bikin bunda syok"
"Hmmm..."
"Udah mendingan sekarang ayah mandi dulu gih"
"Ayah mau cium si kembar dulu" Sembari ingin mendekatinya.
"Iih mandi dulu sana" Febby mendorongnya pelan ke kamar mandi dan menutup pintunya. "Enak aja belum mandi mau cium si kembar, nggak bakal aku izinin" Setelah itu ia senyum-senyum sendiri. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Yang jelas ia bahagia dengan kehidupannya sekarang. Terdengar dari kamar mandi suara Verrel menyanyikan lagu Naff dengan judul akhirnya, mengiringi air shower yang mengalir deras. Febby membuka lemari pakaian Verrel. Ingin menyiapkan pakaian  untuk sang suami. Disaat itu Verrel keluar dari kamar mandi mengenakan kimono, diam-diam mendekati Febby yang sibuk memilih-milih baju.
"Fuuh..." Verrel meniup telinga Febby.
"Bunda lagi serius ah" Ucap Febby tak mempedulikannya.
Tapi begitu menoleh, Febby terkesima menatap wajah Verrel dihiasi buliran-buliran air yang masih tersisa. Dengan ditumbuhi bulu-bulu halus diatas bibir dan dagu yang mulai menghitam, jiwa kelelakiannya itu lebih terlihat.
"Nah kalau begini kan cakep, udah wangi, baru deh bunda bolehin cium si kembar" Puji Febby kemudian. "Ayah pakai yang ini ya" Sembari memberikan baju kemeja santai dan celana pendek. Namun Verrel bukannya mengambil pakaian itu, tapi menaruh dagunya dipundak Febby. Mengendus aroma minyak wangi diarea lehernya.
"Memangnya bunda udah ada persediaan dagingnya buat acara nanti?" Tanya Verrel sambil memeluknya dari belakang.
"Udah tadi bunda suruh bu Rahmi yang beli" Ia merlihat dari pantulan kaca, Verrel memeluk tubuhnya dengan sangat lembut dan mengelus-elus sekujur tangannya.
"Terus beli sosis juga nggak?"
"Iya beli"
Dalam hati Febby ingin meminta Verrel memakai pakaiannya, tapi ia juga tak ingin membuatnya kecewa.








                       *************

Terkadang hati dan jari ini terasa lelah,
Ketika harus merelakan karyaku dibaca begitu saja,
Tanpa ada balasan yang mengagumkan,
Tanpa meninggalkan jejak,
Tanpa ada tanda sebagai ungkapan suka,
Namun demi sebuah karya,
Ku coba tetap mengukir kalimat demi kalimat,
Sampai menjadi sebuah cerita,
Aku hanya berharap pembaca bisa menghargai tulisan ini,
Love u guys...

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang