part 115

140 18 0
                                    

Febby memanjangkan leher agar bisa membacanya, tapi keburu dikembalikan kepada Wira.
"Kampus kita harus ada perwakilannya rel, lo kan jago basket waktu di sekolah"
"Tapi itu dulu wir"
"Ya ibarat pisau kalau diasah terus lama-lama pasti tajam rel, kita nggak boleh melewatkan kesempatan" kali ini Reno yang angkat bicara.
"Ada apa sih?" Celetuk Livia muncul.
"Kompetisi basket" bisik Febby.
Tiba-tiba Bima membawa satu bola dan melemparnya kearah mereka dengan sengaja. Bola itu melambung tinggi dan mengenai kepala Verrel tanpa disadari.
"Aww..." Pekik Verrel meringis kesakitan.
"YA AMPUN BIMA, LO KETERLALUAN BANGET SIH..." Maki Febby ingin melabraknya.
"Udah jangan" tahan Verrel.
"SORRY GUE NGGAK SENGAJA..." Teriak Bima dari kejauhan menyeringai tak suka.
Febby memapah Verrel ke bangku pinggir lapangan bersama Livia, lalu memeriksa bagian kepalanya yang terkena bola.
"Apa sih maksudnya Bima, datang-datang ngelempar orang kayak gitu aja" gerutu Livia.
"Udah mendingan kita hajar aja" tambah Reno dengan mengepalkan tangan.
"Udah jangan, masih banyak hal yang lebih penting daripada ngeladenin orang kayak Bima" sahut Verrel disela Febby memijat-mijat kepalanya.
"Masih sakit?" Tanya Febby.
"Iya sakit banget" jawab Verrel berlagak kesakitan, padahal sebenarnya bohong.
"Bener nggak bohong?" Febby menyindirnya dengan lembut, karena ia tau itu cuma akal-akalannya saja.
"Hehehe...udah nggak apa-apa sih, makasih ya sayang..."
"Ehem ehem..." Ejek mereka pura-pura batuk.
"Gimana dengan rencana kita?" Lanjut Wira kemudian.
"Ya kita harus cari anggota untuk bikin team" jawab Verrel.
"Caranya?" Kali ini Astra angkat bicara.
"Ya bikin audisi"

Ammar masih memikirkan cara lain untuk keluar dari kamarnya. Setelah beberapa saat kemudian, Ammar memecahkan kaca jendela dengan kursi. Mendengar suara tersebut, Naya dan Mawar segera membuka kamar Ammar, namun Ammar sudah melompat melewati jendela itu.
"AMMAR..." Cegah Naya, tapi percuma karena Ammar seolah tak mendengar. "Ayo kejar kok kamu bengong aja sih"
Mawar lalu mengejar Ammar lewat pintu depan, tapi yang terlihat hanya bagian belakang kendaraannya saja.
"CK..." Naya berdecak kesal melihat kaca jendela itu berserakan. "BIK..."
"Ada apa Bu?" Tanya asistennya Mawar menghampiri.
"Ada apa ada apa, kamu nggak lihat itu kaca berantakan begitu?"
"Oh iya ya" si bibik bergegas ke dapur ngambil sapu dan sekop.
Sementara Vani lagi di sidang sama Rifki di meja makan kediamannya.
"Kenapa sih mas aku nggak boleh ngasuh si kembar? Mereka itu cucu-cucuku mas"
"Aku bukannya melarang kamu, tapi kalau tiap hari gimana dengan Anice? Dia juga butuh perhatian dari kamu"
"Tolong kamu mengerti" sambung Rifki setelah sama-sama terdiam beberapa saat, tapi Vani hanya membisu. "Aku mau berangkat ke kantor dulu"

Di kampus. Saat Febby ke toilet, diam-diam Andin menguntit sambil membawa sapu tangan. Ia membiarkan Febby masuk terlebih dahulu dan meminta mahasiswa lain untuk segera keluar. Namun dari ruang UKM, Verrel mempunyai firasat yang tidak baik terhadap Febby.
"Tadi Febby kemana Vi?" Tanya Verrel kepada Livia yang sibuk menulis sesuatu.
"Lagi ke toilet"
Tanpa berpamitan Verrel menyusul ke toilet.
"AAA..." Jerit Febby ketika mendapati wajah Andin melotot berhadapan dengannya.
Jelas saja Febby kaget bukan kepalang, karena sapu tangan berlumur darah itu dikibar-kibarkan di depannya. Rupanya itu bukan darah, melainkan cat yang berwarna merah.
"Lo kenapa? Takut...? Baru kayak begini aja udah ketakutan, lo itu nggak pantes buat Verrel tau nggak?" cerca Andin tersenyum sinis.
"Terus lo pikir, lo yang lebih pantes gitu? Nggak ada sama sekali tau nggak" balasnya.
Tak terima dengan kata-kata itu, Andin mendorong Febby ke tembok dan menekan wajahnya, namun tanpa disadari Verrel sudah ada di belakangnya.
"Apa mau lo?" Pancing Febby seolah-olah tidak mengetahui Verrel.
"Gue mau lo membuat Verrel benci sama lo"
"Apa jangan-jangan lo yang ngirim surat itu ke rumah gue?"
"Kalau iya memangnya kenapa?"
"Hmmm..." Verrel tersenyum sinis sambil menarik rambut Andin. "Lepasin nggak tangan lo?" Verrel setengah mengancamnya.
"Verrel..." Gumam Andin terkejut, lalu melepaskan tangannya. "Gue nggak bermaksud..."
"Udahlah Din gue nggak percaya sama omongan lo, mendingan lo pergi dari sini"
Andin pergi dengan tergesa-gesa, sementara Febby tersenyum karena mendapat belaan dari sang suami.
"Tunggu..." Tahan Verrel ketika Febby ingin beranjak pergi. "Mau kemana sih buru-buru?" Sambil kedua tangannya menekan tembok melingkari wajah Febby.
"Mmm..." Febby jadi bingung melihat tatapan Verrel yang kian lama kian dekat. "Vibi mau ngapain?"
Tapi Verrel tak perduli dengan pertanyaan itu, jarinya justru menyusuri pipi Febby perlahan-lahan. Lalu turun ke dagu. Matanya terpejam kala bibir Verrel semakin mendekati bibirnya, tapi ternyata Verrel hanya tersenyum geli melihat ekspresinya yang pasrah begitu saja.
"Febby lagi nunggu apa?" Pancing Verrel.
"Mmm bukannya tadi kamu mau..." Sambil memikirkan sesuatu.
"Mau apa hayo?"
Febby hanya tersipu-sipu.
Tak mau membuatnya kecewa, Verrel mencium ujung telunjuk dan jari manisnya sendiri, lalu menempelkannya di pipi dan bibir Febby.
Dengan wajah merah merona, Febby meloloskan dirinya disela tangan Verrel dan berlari.
"kok lari sih, tunggu dong" sambil tersenyum gemas Verrel mengejarnya. "Mau kemana sih buru-buru?" Kaki mereka tampak beriringan.
"Perpus"
Sampai di perpustakaan rupanya Verrel belum terpuaskan menggoda istrinya. Jadi ia terus saja mengganggu kegiatan Febby yang menyusun buku-buku yang berantakan.
"Vibi..." Tegur Febby sambil setengah melotot, namun yang ditegur pura-pura menyibukkan diri membantunya menyusun buku di sebelahnya.
"Kalau kamu terus gangguin aku, aku bisa marah lho" sambungnya lagi.
"Baik nya, saya tidak akan mengganggu"
Namun ada penyesalan dihati Febby saat Verrel menjauhinya. Dilihatnya bibir itu manyun-manyun dengan dibarengi tangan merapikan buku-buku yang tidak pada tempatnya. Tapi Febby senang menatapnya yang merajuk seperti itu. Lama-kelamaan bayangan Verrel hilang entah kemana.
"Kok pergi sih? Aku maunya Vibi nemenin aku disini"
Ia tak sengaja memegang buku sastra. Dan itu adalah buku yang belum selesai dibacanya. Ketika mengambilnya, terlihat senyuman manis digaris bibir Verrel menatap keseriusan dirinya. Tak pelak mata mereka beradu pandang.
"Suka baca buku sastra?"
"Mmm iya"
Ekspresi mereka begitu menggemaskan. Saling menutupi rasa grogi dan tersipu-sipu. Serasa pertama kali melakukan pedekate ya.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang