part 100

215 17 6
                                    

Kala Verrel mengerenyitkan dahi, melihat cumi gosong yang di hidangkan Febby diatas meja makan, Febby duduk menopang dagu dengan kedua tangan. Wajah itu tampak murung.
"Mmm cuminya gosong yah" ucap Febby merasa bersalah.
"Hehehe..., Kalau Bunda yang masak pasti rasanya masih enak kok" Verrel tetap memujinya agar tidak menyia-nyiakan rasa lelahnya.
Dengan semangat, Verrel menyantap cumi gosong itu pakai nasi yang sudah tersedia.
"Pasti rasanya pahit ya?" Tanya Febby. "Maafin Bunda ya, tadi Imam nangis jadinya Bunda lupa kalau lagi masak"
"Nggak apa-apa, ini masih enak kok" Verrel kembali menyendok. "Ayah janji akan mencari uang tambahan, biar bisa sewa asisten rumah tangga, untuk meringankan beban Bunda di rumah" ia membatin sambil tersenyum.
"VERREL...FEBBY..."
Terdengar suara panggilan Wahyu dari luar.
Saat mereka keluar, mereka mendapati Wahyu dengan muka lebam-lebam dan juga Wira.
"Papa..., Papa kenapa?" Verrel kaget dan meraba muka itu.
"SAKIT TAU NGGAK..." Bentak Wahyu menepis tangan itu.
"Ya udah kita masuk dulu pa"
"Ngapain aku masuk rumah kamu yang kecil seperti ini"
Verrel kemudian melirik Wira yang tampak tak mengerti.
"Terus papa mau apa?" Tanya Febby.
"Aku butuh pekerjaan, jadi aku pinjam uang 50 juta"
Febby menarik tangan Verrel mengajaknya masuk.
"Kita nggak punya uang sebanyak itu" ucap Febby setelah berada didalam kamar.
"Ayah juga bingung, kalau nggak dikasih pasti papa semakin benci sama Ayah"
Mereka berputar-putar mencari ide. Setelah itu Verrel membuka laci, namun ia menemukan buku diary tanpa nama. Verrel ingin membuka diary itu.
"JANGAN DIBUKA..."
Nada keras yang keluar dari mulut Febby, bikin Verrel kaget.
Febby merebutnya, tapi Verrel tidak terlalu memikirkan itu, karena yang ia cari adalah uang tabungan.
"Tabungan Bunda mana?"
"Yah tabungan kita sekarang tinggal 20 juta, terus kita mau makan apa kalau dikasih semua sama papa?"
"Ya udah kasih 10 juta aja nggak apa-apa"
Dengan berat hati, Febby mengeluarkan uang sebanyak 10 juta dari dalam lemari simpanannya. Tapi mata Verrel penasaran dengan diary ditangan Febby yang sambil menyerahkan uang itu.
"Punya nggak sih uangnya?" Cerca Wahyu ketika Verrel berlari kecil mendekatinya.
"Verrel cuma ada segini pa"
"Cuma 10 juta...? Aku kan pinjamnya 50 juta kamu gimana sih?"
"Verrel nggak punya banyak uang untuk sekarang-sekarang ini pa"
"Alhamdulillah om, masih ada yang mau minjemin om, lumayan tuh untuk ongkos nyari kerja" bela Wira.
Wahyu pergi begitu saja tanpa penjelasan, sementara Wira membisikkan sesuatu ke telinga Verrel.

Ammar dan Bella menemani Mawar yang belum siuman di pembaringan ranjang pasien. Ammar bingung bagaimana menjelaskannya nanti, kalau Mawar bertanya mengenai janin yang ada dalam kandungannya. Untung ada Bella yang selalu menguatkan hatinya. Tak berapa lama, Mawar perlahan-lahan sadar dan mengingat dirinya jatuh di tangga.
"Gimana dengan bayiku? Dia baik-baik aja kan?" Rintihnya mengusap perut, tapi mereka hanya saling lirik. "Apa bayi yang ku kandung baik-baik aja? Jawab..." Mawar kemudian hampir terjatuh karena ingin memencet bel.
"Tolong kamu tenang dulu Mawar" pinta Ammar membantunya kembali berbaring.
Tentu rasa cemburu yang dimiliki Bella kembali muncul, karena hatinya harus merelakan berbagi suami dengan perempuan lain.
"Kamu keguguran Mawar" jawab Bella.
Ammar kaget kenapa Bella tiba-tiba mengatakan yang sebenarnya? Padahal mereka sudah sepakat untuk menutupinya.
"Apa...? Aku keguguran...?" Mawar menangis pilu. Ia membenci dirinya sendiri yang tak bisa menjaga janinnya. Ia bahkan memukul mukul perutnya.
"Inilah yang dinamakan takdir Mawar" tegas Bella. "Kamu harus tau itu, jadi jangan menyalahkan diri kamu sendiri" Bella berupaya menenangkannya.
Bella memeluk Mawar yang merintih menahan pilu didada, sedangkan Ammar keluar ingin melaksanakan shalat ashar. Namun sebelum itu ia menghubungi Verrel yang lagi di cafe mini memeriksa catatan keuangan yang selama ini dipegang Aldo.
"Assalamualaikum kak"
"Walaikumsallam, Oia kamu berdua sama Febby aja ya yang ke Bali, soalnya kakak ada urusan yang lebih penting"
Ammar langsung menutup telepon itu, sedangkan Verrel memanggil Wira dan Livia yang membereskan meja bekas pelanggan makan. Namun saat dipanggil, mata Wira dan Livia saling beradu pandang.
"Ini bukan saatnya pacaran kali..." Sindir Verrel setengah bercanda.
"Kita...kita nggak pacaran kok" bantah Wira dengan gugup.
"Pacaran juga nggak apa-apa, asal serius, jangan cuma main-main" dukung Verrel.
Lagi-lagi Livia mencuri pandang ke Wira yang kepergok sedang menatapnya.
"Besok pagi gue mau ke Bali, tolong lo handle cafe ini ya"
"Tapi rel, kayaknya Aldo mundur deh, dan kita nggak bisa kalau cuma berdua aja"
"Nanti gue pikirin lagi deh"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang