part 107

157 19 10
                                    

Verrel sangat terkejut kala memasuki kamar, mendapati Febby lagi mengusir seekor ular yang mendekati si kembar.
"Astaghfirullah aladzim lailahailallah..." Tanpa melepaskan tas, Verrel menarik Febby ke belakang dan berupaya menaklukkan ular itu. "Bismillahirrahmanirrahim tolong kami ya Allah..." Ucapnya sambil mengusir  ular itu pakai gantungan baju yang diambilnya dalam lemari.
Ular itu terus mendesis karena merasa terusik. Spontan Verrel menangkapnya saat mau mematuk baby Imam. Alhasil lengan kiri Verrel yang berhasil dipatuknya.
"TOLOONG..." Febby berlari keluar meminta bantuan kepada tetangga.
Dan kebetulan ada rombongan bapak-bapak yang mau yasinan di komplek sebelah. Mereka berlarian menghampirinya.
"Ada apa?"
"Dikamar saya ada ular pak, anak dan suami saya ada didalam" jawabnya gemetar.
Mereka berbondong-bondong menuju kamar, namun salah satu diantaranya meminta yang lain untuk menunggu diluar. Menawarkan dirinya untuk menangkap ular itu seorang diri. Ternyata Verrel sudah terkulai lemas disamping anak-anaknya sambil memegangi bekas gigitan ular. Disaat orang tersebut mampu menjinakkan ular, Febby memeriksa ketiga buah hatinya, dan Alhamdulillah mereka aman-aman saja.
"Aaagh..." Verrel meringis menahan sakit.
Tanpa ragu, Febby menyingkapkan baju Verrel dan meraih tangannya. Gigitan ular itu membuat lengannya membiru. Jadi ia berinisiatif ingin menyedot bisanya.
"Apa yang mau Bunda lakuin? Jangaan..." dengan suara serak Verrel melarangnya, tapi Febby tak perduli.
Febby memegangi tangannya. Tapi Verrel segera menarik lengannya sebelum mulut Febby sampai ke kulitnya.
"Kamu ambilkan air putih cepat" perintah si penakluk ular yang sudah memasukkannya ke dalam kerangka besi.
Febby ke dapur tergesa-gesa menuang air ke dalam gelas dan kembali ke kamar.
"Minumin ke suami kamu"
"Ayah minum ya..." Pelan-pelan Febby membantu Verrel meneguk air itu.
"Kita harus bawa dia ke Rumah Sakit segera"
"Iya pak"
Febby kebingungan. Disamping harus mengantar Verrel ke Rumah Sakit, ia juga harus memikirkan bagaimana dengan si kembar. Terpaksa ia menghubungi Ammar kakaknya untuk mengajak si kembar. Secara kebetulan Ammar dan Bella memang sedang menuju ke sana. Bapak-bapak itu memapah Verrel ke mobil.
"Verrel kenapa?" Secara bersamaan Ammar dan Bella kaget dan segera menepikan mobilnya.
"Ini ada apa pak?" Sambung Ammar setelah turun.
"Verrel dipatuk ular"
"Astaghfirullah aladzim..."
"Kak Febby titip si kembar ya, mereka lagi di kamar" ucap Febby berlari dari arah pintu.
"Sayang ikut mereka aja ya, kasian Febby sendiri" pinta Bella kepada Ammar.
"Ya udah, kalau ada apa-apa telepon saya"
Bella mengangguk dan cepat masuk ke kamar Febby.

Didalam cafe, Wahyu tengah bersantai-santai dengan menaikkan dua kaki keatas meja. Ingatannya menerawang jauh ke wajah Rifki yang sudah memperistri mantannya.
"Siapapun yang pernah menghalangi keinginanku, maka dia harus merasakan sakitnya"
Ia lalu menuang segelas air yang memabukkan ke dalam gelas. Didalam cafe itu, Juan dan Bocil memutar bola matanya kesana-kemari mencari sosok Wahyu.
"Itu bos Wahyu" celetuk Bocil sumringah sambil menunjuk kearah Wahyu yang lagi meneguk minuman.
"Apa kabar bos? Sepertinya bos lagi bahagia hari ini" sapa Juan meraih gelas itu dan menuangkannya kembali.
Lagi-lagi Wahyu meneguknya. Padahal kepalanya sudah terasa puyeng.
"Oia bos, mana bayaran kita?" Tagih Juan sambil duduk didekat Bocil.
Sambil menceracau tidak karuan, Wahyu mengeluarkan amplop dan memberi mereka uang sebesar 5 juta.
"Kok cuma 5 juta bos? Kan perjanjiannya 10 juta?" Protes Juan dan Bocil bersamaan.
"Sisanya nanti"
Juan lalu memberi kode kepada Bocil untuk mengambil sisa uang di amplop itu secara diam. Lantas Bocil berpura-pura meminjam korek sambil mengeluarkan sebatang rokok. Di sela kesibukan Wahyu menggeledah tubuhnya sendiri mencari korek, Juan mengambil amplop itu dengan cepat dan menyembunyikannya.
"Maaf bos, kita pergi dulu"
"Mau kemana buru-buru amat?"
"Biasa ada pekerjaan lain" Juan mengedipkan mata ke Bocil, Bocil tersenyum menyeringai.

Dalam ruangan pasien, Verrel baru saja selesai ditangani Dokter. Setelah itu Dokter meminta Ammar ikut ke ruangannya. Dengan menahan tangis, Febby membaringkan wajahnya disamping Verrel yang berbaring. Tangannya tak berhenti mengusap lengan Verrel.
"Ayo bangun yah...jangan tinggalin Bunda sendiri ngurusin si kembar..." rengek Febby seperti anak kecil yang takut ditinggal Ibunya. "Ayah nggak boleh pergi..."
"Dasar, siapa juga yang mau mati" batin Verrel menggerutu.
"Ayah jangan tinggalin Bunda ya..." Febby masih saja merengek.
Verrel membuka mata sebelahnya melirik wajah sayu istrinya yang lagi menyeka sisa air mata. Namun ia kembali menutup matanya saat Febby melihat kearahnya.
"Hehehe...kalau Febby udah manggil aku Ayah, berarti Febby udah nyerah dong, syukur deh kalau Febby udah nggak marah lagi, ada hikmahnya juga ternyata" lagi-lagi Verrel membatin sambil mengelus rambut Febby yang terbalut jilbab.
"Ayah udah sadar?" Febby kaget sekaligus senang.
"Memangnya siapa yang pingsan? Ayah nggak pingsan kok"
"Jadi...dari tadi Ayah denger semuanya?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Iih kenapa nggak bilang dari tadi sih? Kalau tau Bunda kan nggak perlu sekhawatir ini" keluh Febby dengan manja.
"Jadi Bunda nggak khawatir nih?" Verrel menggodanya.
"Ya...ya khawatir sih" Febby menurunkan nada bicaranya. "Maksud Bunda..." Ia bingung dan gugup. "Ah nggak tau ah"
Tak berapa lama Ammar datang. Febby senang. Setidak-tidaknya ia tidak perlu menutupi rasa gengsi yang bercampur malu itu, sehingga ia terlepas dari pandangan Verrel.
"Kak Ammar pergi dulu ya, soalnya ada kelas lain" pamit Ammar.
"Iya kak" sahut Febby.
"Oia, jangan kasih tau sama siapa-siapa ya kak, apalagi mama" ucap Verrel.
"Lho kenapa?"
"Verrel nggak mau bikin mereka khawatir"

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang