part 49

219 20 12
                                    

Febby berputar-putar seperti setrikaan kusut berharap mendapatkan ide. "Udah pokoknya lo harus kesana Febby, untuk memastikan apakah omongan Andin itu benar atau nggak, oke gue kesana...!"
Ia bergegas menyetop ojeg agar lebih cepat ke lokasi yang dimaksud Andin.
Sampai di perkampungan sepi, Verrel tidak menemukan siapa-siapa kecuali mobil Andin.
"Tolong..."
Terdengar rintihan dari dalam mobil itu.
"Andin..."
Verrel mendapati Andin sedang meringkuk didalam dengan tangan terikat ke belakang. Ternyata tangannya disengaja seolah-olah terikat, namun Verrel yang panik tidak menyadari akan hal itu.
"Tolong..." Rintih Andin sekali lagi.
"Gue akan lepasin ikatan tangan lo"
Rintihan itu merupakan jebakan Andin agar Febby mendengarnya. Disaat Febby muncul bersama teman-temannya, Andin merobek baju bagian lehernya sendiri.
"Lo apa-apaan sih? Lo mau ngejebak gue?" Maki Verrel setelah melihat kedatangan mereka.
"Tolongin gue" Andin pura-pura ketakutan, sementara Verrel keluar dari mobil.
Febby berusaha tegar walau hatinya terasa hancur.
"Untung kalian cepat datang, kalau nggak mungkin Verrel udak maksa gue" Andin kembali berakting pura-pura dengan nafas tersendat-sendat.
"GUE MAKSA APA? GUE KESINI KARENA LO MINTA PERTOLONGAN, JADI JANGAN NUDUH YANG NGGAK-NGGAK..." sahut Verrel menahan emosi.
Febby hampir pingsan. Untung Livia yang berada disampingnya menahan tubuhnya.
"Lo semua harus percaya sama gue, dia sengaja cuma mau ngejebak gue" Verrel berusaha meyakinkan mereka.
"Itu semua bohong, ini buktinya" dengan pedenya Andin menunjukkan robekan di bajunya.
"Hahaha...paling bisa ya lo" Verrel mentertawakannya, sementara Wira bisik-bisik pada Aldo.
Sesaat kemudian, Wira dan Aldo mengikat tangan Andin.
"Eh lo mau ngapain?" Tanya Andin sambil meronta-ronta.
"Mau ngebuktiin omongan lo barusan" jawab Wira.
Setelah mengikatnya diatas pohon, Wira dan Aldo menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan mengenai kebenarannya. Tapi tetap saja Andin bungkam.
"Oke kalau gitu kita biarin aja dia diatas pohon semalaman" Aldo menakut-nakuti.
"Jangan jangan..."
"YA UDAH SEKARANG LO NGAKU..." paksa Wira.
"Oke gue ngaku, gue yang sengaja ngejebak Verrel supaya Febby benci"
Verrel lega mendengar pengakuan tersebut, tapi tubuh Febby malah terasa lemas sambil memegangi kening.
"Febby, lo kenapa? Lo nggak apa-apa kan?" Tanya Livia kembali menahannya.
"Febby kenapa?" Kali ini Verrel benar-benar khawatir karena wajahnya tampak pucat.
"Udah mendingan kita bawa Febby pulang" ucap Livia.
"Lo naik mobil Via aja, biar gue sama Aldo pake motor lo" pinta Wira segera turun.
"LEPASIN GUE WOOYY..." teriak Andin, tapi mereka tak peduli.

Bella mengejar Wahyu sampai ke pinggir jalan besar.
"Pa, Bella minta tarik ucapan papa sama Mama Naya" pinta Bella.
"Berhubung kamu sudah tau, aku akan bongkar semuanya, dari dulu aku masih mencintai Naya, itu satu hal yang tak akan pernah hilang, ngerti"
"Kalau papa mencintai mama Naya kenapa dulu papa menikahi mama, itu sama saja papa sudah menyakiti perasaan mama"
Diwaktu yang sama, Vani tak sengaja mendengar semuanya, karena ingin mengunjungi mereka. Air matanya jatuh perlahan.
"Dulu aku memang mencintai Vani, tapi aku juga mencintai Naya"
"Papa benar-benar nggak punya perasaan" Bella tak bisa membendung air matanya. "PAPA EGOIS, SELALU MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI..." makinya.
"Mama..." Ammar terkejut ketika menghampiri Bella.
Semua menoleh kearahnya. Tapi Vani berusaha tegar, meskipun harus menyeka air matanya. Bella dan Ammar mengejar Vani yang ingin pergi.
"Mama nggak perlu dikasihani, mama pengen sendiri" ucap Vani bergegas meninggalkan mereka.
"Sudah, mungkin mama butuh waktu untuk sendiri" ucap Ammar menenangkannya, lalu ia mendekati Wahyu yang masih berdiri seperti orang tak bersalah.
"BUG...BUG..." Ammar memukul wajahnya dengan keras.
"Ayo pukul lagi, pukul" tantang Wahyu.
"Percuma Ammar, karena akal sehatnya udah nggak ada" Bella menenangkan Ammar dan membawanya.
"SAYA PERINGATKAN ANDA, MAMA SAYA TIDAK AKAN JATUH KE TANGAN ANDA..." teriak Ammar sambil dibawa Bella.

Malamnya, Wira dan Aldo mengikuti mobil Livia menggunakan motor Verrel. Sementara didalam mobil itu, Febby masih bersandar di bahu Verrel dalam keadaan masih tak sadarkan diri.
"Via ayo dong lebih cepet lagi" pinta Verrel sangat panik.
"Ini udah cepet rel, tapi jalanan macet"
"Cari jalan lain aja bisa nggak?"
"Iya iya" Livia lalu mencari jalan pintas agar lebih cepat sampai.
Verrel mengarahkan jalan kepada Livia menuju rumah yang mereka tempati sekarang ini. Karena ia memang belum pernah menceritakan tentang kepindahannya.
"Kok lewat sini sih?" Celetuk Wira yang memakai motor Verrel, sedangkan Aldo yang diboncengnya malah kebingungan. "Bukannya kontrakan mereka bukan di daerah sini ya?"
"Mungkin udah pindah kali"
Tak berapa lama, sampailah mereka di depan rumah Verrel.  Rumah yang tidak terlalu besar, namun terlihat minimalis dan adem.
Verrel membopong Febby kedalam kamar dan membaringkannya. Sedangkan yang lain mengiringi dari belakang.
"Aku dimana?" Perlahan-lahan Febby sadar.
"Febby udah di rumah" jawab Verrel.
Setelah Verrel menghubungi Dokter keluarganya, Livia, Wira dan Aldo berpamitan pulang. Sejenak kemudian, Dokter pun datang, namun Febby malah pingsan kembali. Tanpa diminta Dokter itu langsung memeriksanya.
"Gimana dok? Istri saya sakit apa?" Tanya Verrel kemudian.
"Tidak usah khawatir" jawabnya tersenyum.
"Kok Dokter malah senyum sih? Saya ini khawatir dok takut Febby kenapa-kenapa"
"Sepertinya istrinya sedang hamil"
"Apa dok? Hamil?"
"Kemungkinan besar seperti itu, untuk lebih jelasnya sebaiknya besok di USG saja"
"Iya dok"
"Kalau begitu saya permisi"
"Makasih dok"
Sebelum Dokter keluar, mereka bersalaman terlebih dahulu. Lalu Verrel mengompres kening Febby yang terbaring lemas di atas ranjang. Ia tampak begitu bahagia, walaupun berita kehamilan Febby belum pasti.

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang