Pada saat yang sama, sekelilingnya terasa seperti ruang hampa udara.
Tak ada oksigen yang tersisa untuknya. . .untuk bernapas.
Rasanya sesak.
Tanpa ia sadari, kakinya sudah kembali membawanya ke arah yang berlawanan. Tanpa sadar ia kembali menuju ke dalam lift yang tadi ia gunakan untuk turun ke lantai bawah hotel itu, jarinya menekan tombol 5. . .lantai di mana kamarnya berada. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya lift itu terbuka di lantai 5. Ia segera berlari dan setengah mendorong pintunya dengan paksa saat berusaha membuka pintu itu secepat mungkin. Setelah melepas sepatunya dan melepas jaketnya dengan asal ke kursi yang ada di kamar itu, ia langsung melemparkan diri ke atas kasur dengan posisi telungkup. Ia bisa mendengar dengan jelas suara jantungnya yang berdegup keras, campuran efek dirinya berlari kencang dari lift sampai ke dalam kamar dan juga gelombang tak mengenakkan yang ia rasakan sejak ia tiba di lobby itu.
Rasanya seperti ada sesuatu yang hendak meledak di dalam dirinya.
Entah berapa menit ia berada dalam posisi telungkup itu, hingga tiba-tiba saja ia bisa mendengar suara handphonenya yang berbunyi pelan sesaat selama beberapa kali dari jaketnya yang tersampir asal di kursi itu. Tanpa perlu mengeceknya, Ahsan sudah bisa menduga siapa yang mengirim pesan beberapa kali ke handphonenya itu. Tapi ia sama sekali tak peduli, ia masih tak bergerak dalam posisinya yang masih sama seperti tadi.
Hingga handphone itu kembali berbunyi lagi, kali ini sedikit lebih lama. Panggilan masuk.
Namun hingga beberapa kali handphone itu berdering menghabiskan lantunan nada deringnya, Ahsan masih tak bergeming dari atas kasur. Ia terlalu masa bodoh dengan semua hal, untuk saat ini. Karena gemuruh di dalam dirinya masih belum reda, masih tidak bisa reda.
Ia tahu, saat ini ia tengah berperilaku bodoh. Sangat sangat bodoh. Tapi ia tak peduli.
Hatinya sakit. Perih.
Memori memuakkan itu terus terputar berulang-ulang di kepalanya.
Memori tentang Anastasia yang tengah memeluk Hendra.
Memeluk Hendra.
Hendra.
Laki-laki yang sangat ia cintai, meskipun ia tahu kemungkinannya sangat kecil untuk bisa memiliki laki-laki itu.
Tapi, kenapa. . .
Kenapa. . .ia harus melihat mereka berpelukan. . .di lobby hotel?
Ada banyak tempat lain di hotel ini. . .yang bisa mereka pilih untuk berpelukan seperti itu.
Atau, jangan-jangan. . .
Mata cokelat itu mendadak melebar seketika. Dan sesaat kemudian langsung tertutup rapat.
Jemarinya mencengkeram seprai dengan kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot [Prequel dari Way Back (Into Love)]
Fanfiction"Mungkinkah takdir yang membuat jalan kita saling bersimpangan?". Cerita tentang mereka yang berusaha mengejar mimpi dari pelatnas Cipayung. Tentang impian, harapan, persahabatan dan juga cinta. [Prequel dari "Way Back (Into Love)"]. P.S: Sl...