"San, pinggangmu gimana? Terasa sakit nggak?" tanyanya.
"Masih nggak terasa apa-apa kok koh. Mungkin tadi sakit banget karena kram aja kali koh" jawab Ahsan.
Dirinya menatap anak itu dengan seksama, mencoba membaca ekspresinya. Mencoba mencari tahu kebenaran dari jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Saya beneran nggak apa-apa kok, koh. Percaya deh" ujar anak itu lagi, dengan nada meyakinkan.
Dirinya hanya bisa menghela napas pelan. Anak ini bener-bener deh.
"San" ujarnya dengan penekanan.
Anak itu kembali terdiam sambil menatap dirinya.
"Tolong ya, jangan maksain diri kamu secara berlebihan lagi. Jaga diri kamu baik-baik, San. Kayak tadi. . .untung saya emang lagi mau nyamperin kamu di kolam renang. Coba kalo saya nggak kesana? Bisa aja jadi fatal, San. Udah ya. . .mulai sekarang kamu bener-bener jaga diri sendiri baik-baik. Semua orang khawatir sama kamu, San. Semuanya peduli sama kamu" ujarnya, berusaha membuat anak itu mengerti.
Anak itu masih diam menatapnya. Setelah tadi ketika mereka membawanya ke klinik yang ada di pelatnas dan semua orang, termasuk kedua pelatihnya, menasehati anak itu habis-habisan. Kido juga ikut menasehati anak itu. Sepanjang dinasehati di klinik, anak itu hanya terdiam sambil menunduk, tak berkata apa-apa. Hingga akhirnya setelah urusan di klinik selesai dan rasa nyeri di pinggang anak itu sudah tak terasa lagi setelah disemprot pain killer, dirinya dan Kido membawa anak itu ke kamarnya. Bona juga sempat kembali ke kamar karena mendengar kabar dari mas Sigit bahwa Ahsan hampir tenggelam di kolam. Kini, setelah Bona kembali lagi ke hall latihan setelah selesai memastikan bahwa Ahsan baik-baik saja dan Kido baru saja keluar untuk menerima telepon, hanya tinggal mereka berdua yang tersisa di dalam kamar ini.
Ia bisa melihat rambut gondrong anak itu yang masih cukup basah karena tadi diseka secara sembarang ketika tiba di klinik, membuat rambutnya benar-benar berantakan. Padahal tidak lama lagi anak itu akan berusia 23 tahun, tapi dengan rambut yang berantakan seperti itu dan ekspresinya ketika diam seperti ini. . .membuat kesan kekanakannya semakin kuat, membuat Ahsan terlihat seperti masih berusia belasan tahun. Entah kenapa memang anak itu selalu terkesan kekanakan, dan karena kesan kekanakannya itu mungkin tanpa sadar membuat banyak seniornya memperlakukan Ahsan seperti adik mereka. Dari mulai dijahili, disuruh-suruh, tapi juga diperhatikan dan bahkan hingga diperlakukan seperti adik kandung mereka semua. Bukan sekali dua kali mereka yang lebih senior memperlakukan Ahsan layaknya adik bungsu mereka. Karena sering kali tingkah Ahsan membuat mereka semua heran, tapi di saat yang sama membuat mereka memiliki kecenderungan untuk melindunginya. Termasuk dirinya juga. Ia juga sering merasa ingin melindungi Ahsan.
". . .lo ga bisa selamanya terus-terusan ngelindungin orang yang lo peduliin"
Tiba-tiba saja obrolannya dengan Taufik sebelum preliminary Thomas Cup waktu itu terputar lagi di kepalanya. Waktu itu Taufik menasehatinya bahwa ia harus mulai belajar membiarkan. Bahwa ia tak bisa terus-terusan terlalu peduli dan melindungi junior-juniornya. Tapi, bagaimana ia bisa membiarkan? Jika ketika ia mencoba untuk membiarkan juniornya dan malah tiba-tiba saja terjadi hal seperti hari ini. Jika saja hari ini ia tak datang ke sini, apa yang akan terjadi pada Ahsan?
Ia tak mampu membayangkannya.
Mungkin ketika ia tetap peduli pada junior-juniornya itu bukanlah sesuatu hal yang buruk. Mungkin memang tak ada salahnya ia tetap peduli pada mereka semua dan membantu mereka ketika dirinya mampu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot [Prequel dari Way Back (Into Love)]
Fanfiction"Mungkinkah takdir yang membuat jalan kita saling bersimpangan?". Cerita tentang mereka yang berusaha mengejar mimpi dari pelatnas Cipayung. Tentang impian, harapan, persahabatan dan juga cinta. [Prequel dari "Way Back (Into Love)"]. P.S: Sl...