"Ci!"
Liliyana segera menoleh, ia bisa melihat kedua juniornya yang sedang duduk di ruang tunggu asrama putri itu tengah menatap ke arahnya. Kemudian keduanya langsung bangkit dan menghampirinya.
"Ci, gimana kata dokter? Tangan cici kenapa?" tanya Debby segera, dengan ekspresi khawatir.
"Tangan gw nggak kenapa-kenapa kok, cuma agak terkilir aja" jawab Liliyana segera.
"Ci. . ."
Mata Liliyana segera beralih ke sebelah kanan, di mana laki-laki berambut jabrik itu tengah menatapnya dengan ekspresi yang sama khawatirnya dengan Debby.
"Ci, saya minta maaf ya. Karena smash keras saya, tangan cici jadi terkilir" ujar Ahsan pelan, sambil agak menunduk. Sedikit mempersiapkan dirinya sebelum Liliyana memarahinya.
"Bukan salah lu, San. Nggak perlu minta maaf gitu" balas Liliyana segera.
Ahsan langsung mengangkat wajahnya sepenuhnya, mata cokelatnya menatap mata seniornya itu. Ia memperhatikan dengan seksama ekspresi seniornya itu, mencoba mengartikan raut wajah Liliyana saat ini. Tapi, memang tak ada ekspresi yang berbeda pada wajah seniornya itu. Liliyana nampak biasa saja, tak ada raut marah ataupun kesal.
"Emang tangan gw udah agak nggak enak dari kemaren-kemaren ini, jadi bukan karena ngelawan lu berdua hari ini tangan gw jadi begini" lanjut Liliyana, berusaha untuk meyakinkan kedua juniornya agar mereka bisa berhenti mengkhawatirkan dirinya.
"Tapi ci. . ." ujar keduanya bersamaan, namun Liliyana langsung menggeleng.
"Udah, lu berdua nggak usah khawatirin gw. Gw baik-baik aja" ujar Liliyana lagi.
"Tapi kata dokter gimana ci? Beneran nggak parah?" tanya Debby lagi, benar-benar ingin memastikan bahwa tak ada hal yang terlalu serius soal tangan seniornya itu.
"Kata dokter cuma perlu diistirahatin beberapa hari. Udah, paling beberapa hari lagi juga sembuh kok" jawab Liliyana lagi. Berusaha membuat kedua juniornya itu benar-benar yakin bahwa kondisinya baik-baik saja.
"Udah sana, kalian pada balik. Gw nggak kenapa-kenapa juga, nggak usah pada khawatir kayak gitu" lanjut Liliyana, karena kedua juniornya masih tetap bertahan di tempat itu. Ia pun akhirnya memilih untuk meninggalkan mereka semua, termasuk Tontowi yang tadi habis menemaninya memeriksakan diri ke rumah sakit.
"Yah, dia main pergi aja" gumam Tontowi, ketika melihat Liliyana yang sudah berjarak beberapa langkah dari mereka.
"Mas, itu tangannya ci Butet beneran nggak parah?" tanya Debby.
"Ya. . .tadi sih dia bilang gitu dari sejak keluar dari ruang pemeriksaan. Cuma aslinya juga gw nggak tau gimana, dia bilang ke gw kayak yang dia bilang ke kalian" ujar Tontowi.
Ahsan masih memperhatikan ke arah mana Liliyana melangkah. Jujur saja entah kenapa feelingnya mengatakan ada hal yang masih ditutupi oleh seniornya itu, tapi di saat yang sama ia juga tak ingin membuat Debby semakin khawatir. Apa lagi masa evaluasi untuk Sudirman Cup masih belum selesai, ia tak ingin jika kekhawatiran Debby yang bertambah akan membuat performa Debby menurun selama beberapa hari ke depan. Ia menoleh pada Tontowi, dan melihat temannya itu menggeleng pelan sekilas, seakan bisa menebak apa yang tengah ia pikirkan juga.
"Udah Deb, pasti ci Butet baik-baik aja kok. Kan dia sendiri yang bilang kalo kata dokter tangannya cuma harus diistirahatin aja selama beberapa hari. Udah ya, nggak usah terlalu khawatir" ujar Ahsan, sambil menepuk bahu Debby pelan.
"Tapi bang. . ." Debby hendak membantah Ahsan, namun di saat yang sama Tontowi juga langsung bersuara.
"Bener apa yang dibilang sama Ahsan, Deb. Udah, pasti ci Butet nggak apa-apa kok. Dia kan kuat banget. Pasti bakalan baik-baik aja setelah beberapa hari. Udah, nggak usah dijadiin beban pikiran ya" timpal Tontowi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot [Prequel dari Way Back (Into Love)]
Fiksi Penggemar"Mungkinkah takdir yang membuat jalan kita saling bersimpangan?". Cerita tentang mereka yang berusaha mengejar mimpi dari pelatnas Cipayung. Tentang impian, harapan, persahabatan dan juga cinta. [Prequel dari "Way Back (Into Love)"]. P.S: Sl...