181 - Signs (Part 5)

150 16 41
                                    

Ia masih terus berlari, sementara rasa panas yang menggelegak masih memenuhi hati dan juga seluruh tubuhnya. Hingga tanpa sadar kakinya pun perlahan mulai melambat dan terhenti sendiri di salah satu sudut pelatnas yang jaraknya tak terlalu jauh dari hall latihan. Selama sesaat ia menundukkan kepala, dengan kedua tangannya tertaut di belakang kepalanya. Hingga tiba-tiba saja ia mendadak berseru dengan sangat kencang. Menumpahkan semua kekesalan yang tengah ia rasakan. Kemudian ia langsung menendangi tembok yang ada di hadapannya dengan sekuat tenaga, sama sekali tak bisa membendung semua emosi negatif yang tengah mengendalikan tubuhnya.


Rasanya ia benar-benar sudah melewati ambang batasnya.

Ia sudah tak sanggup lagi menekan perasaannya.


Selama beberapa menit ia dibutakan oleh emosinya sendiri, menjadikan tembok itu sebagai samsak kemarahannya. Kekecewaannya. Ketidakpuasannya. Ia hanya terfokus pada rasa marah yang tumpah ruah, mengalir deras keluar dari dalam dirinya tanpa bisa ia bendung.


Ia terlalu lelah. Ia terlalu muak.


"San"

Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah belakangnya. Ia sadar siapa pemilik suara itu, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Saat ini dirinya merasa jauh lebih penting untuk meluapkan seluruh emosinya terlebih dahulu, sebelum ia bisa menghadapi siapa pun dengan baik.

Maka orang yang memanggilnya barusan pun memilih untuk membiarkannya, memberikan waktu bagi dirinya hingga ia merasa cukup. Hingga ia selesai menyalurkan semua amarahnya.

Setelah beberapa saat ia tenggelam dalam emosinya, ia mendadak merasa lelah dengan dirinya sendiri. Membuatnya tiba-tiba saja bersandar pada dinding itu, dengan wajah yang tertunduk, dan tanpa bisa ia tahan mendadak saja air mata sudah mulai menuruni pipinya. Tahu-tahu saja ia terisak. Seketika saja ia merasa sangat lelah dengan semua ini, ia merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, ia merasa malu. Ia merasa gagal. Bahkan pelatihnya sendiri pun sampai berbicara seperti itu. Membuatnya semakin yakin bahwa ia telah gagal menjalankan tanggung jawab itu dengan baik.


Ia gagal memenuhi ekspektasi banyak orang yang telah mempercayakan tanggung jawab itu.


Selama sekian menit ia hanya bisa terisak sambil membelakangi sosok yang tadi memanggil dirinya. Ia memilih menenggelamkan dirinya dalam cengkeraman rasa frustasinya. Hingga tiba-tiba saja ada yang terasa naik dengan cepat dari dalam perutnya. Ia pun segera berlari ke sisi lain dan langsung menundukkan tubuhnya dengan kedua tangan menyangga beban tubuhnya pada tepian tembokan rendah itu, ketika dirinya memuntahkan isi perutnya secara tiba-tiba.

Lewat beberapa saat, ia bisa merasakan remasan pelan di bahunya ketika akhirnya tak ada lagi yang bisa keluar dari perutnya. Ia pun segera mengusap mulutnya dengan cepat menggunakan punggung tangannya, lalu segera berbalik perlahan dan memutuskan untuk duduk sambil bersandar pada tembokan rendah itu. Kini ia bisa melihat sosok itu yang tengah menatapnya dengan ekspresi yang menyiratkan kekhawatiran di wajah. Membuatnya merasa semakin buruk.


Membuatnya merasa ia hanya bisa merepotkan orang lain terus menerus. Selalu. Selamanya.


"San? Lo nggak apa-apa?" tanya Bona, dengan dahi yang berkernyit.

Bona memilih untuk langsung berjongkok di hadapan sahabatnya itu, namun Ahsan tak langsung menjawab dirinya. Ia bisa melihat Ahsan yang langsung menyandarkan bagian belakang kepalanya di tepian tembokan rendah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Shot [Prequel dari Way Back (Into Love)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang