Xienna duduk termenung di tepi ranjang, pikirannya berkecamuk antara hidup dan mati. Air mata masih mengalir tanpa henti membasahi pipinya yang pucat. Kalung ruby di lehernya tiba-tiba bersinar redup, memancarkan cahaya merah yang hangat.
"Mungkin lebih baik aku..." belum sempat Xienna menyelesaikan kata-katanya, kalung itu bersinar semakin terang. Kehangatan aneh menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat pandangannya mengabur. Tubuhnya oleng ke samping, jatuh ke atas ranjang dengan lembut sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya.
Dalam kegelapan pingsannya, bayangan-bayangan samar bermunculan. Sosok seorang gadis yang mirip dengannya, tertawa bahagia di tengah taman mawar. Kemudian bayangan itu berubah menjadi jeritan ketakutan, api yang berkobar, dan... kegelapan. Kalung ruby itu seolah memiliki kesadarannya sendiri, melindungi Xienna dari keinginannya untuk mengakhiri hidup.
Beberapa jam kemudian, Xienna terbangun dengan kepala yang masih terasa berat. Perutnya berbunyi menandakan ia belum makan sejak pagi. Dengan enggan, ia memaksakan diri bangkit dan berjalan menuju dapur istana.
Dahulu, saat masih berada dalam kurungan Daren, Xienna selalu memimpikan kebebasan. Namun kini, kebebasan yang ia dapatkan di istana ini terasa seperti neraka yang berbeda. Setiap langkahnya diikuti tatapan mencemooh dan bisikan-bisikan kejam.
Sesampainya di dapur, aktivitas yang tadinya riuh mendadak sunyi. Para koki dan pembantu dapur menghentikan pekerjaan mereka, menatap Xienna dengan pandangan tidak suka.
"Pe-permisi..." suara Xienna terdengar kecil dan ragu. "Bolehkah saya mengambil makanan? Saya belum makan sejak..."
"Oh, lihat siapa yang datang," seorang koki wanita bertubuh gempal memotong kata-katanya dengan nada mengejek. "Sang 'tamu kehormatan' Yang Mulia akhirnya turun dari singgasananya untuk mencari makanan."
"Padahal dia hanya manusia biasa," timpal seorang pembantu dapur, "tapi bertingkah seolah-olah dia ratu di sini."
Xienna mengepalkan tangannya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. "Sa-saya tidak bermaksud..."
"Kau tahu?" koki lain menimpali sambil mengaduk sup dengan kasar, "sejak kedatanganmu, Yang Mulia bahkan jarang menyentuh darah yang kami siapkan. Beliau lebih sering mengurung diri di ruang kerjanya. Kau membuat kondisinya memburuk!"
"Ambil ini dan pergi dari hadapan kami!" koki bertubuh gempal itu melemparkan sepotong roti dan secangkir sup ke arah Xienna dengan kasar. Sebagian sup tumpah ke lantai.
Dengan tangan gemetar, Xienna mengambil makanannya dan berbalik pergi. Di belakangnya, ia masih bisa mendengar tawa mengejek dan bisikan-bisikan kejam para penghuni dapur.
Kembali di kamarnya, Xienna duduk di lantai, bersandar pada dinding dingin. Roti di tangannya terasa seperti abu di mulutnya, dan sup yang tersisa terasa hambar. Ironis, pikirnya getir, bagaimana kebebasan yang dulu ia impikan kini terasa seperti penjara yang lebih menyiksa.
"Ivory..." nama itu terucap lirih dari bibirnya, entah dari mana asalnya. Mungkin dari memori yang terkubur jauh di dalam dirinya. "Siapa sebenarnya dirimu? Siapa sebenarnya aku?"
Kalung ruby di lehernya berkilau redup, seolah meresponnya. Xienna mengusap permata itu perlahan, merasakan kehangatan aneh yang sama seperti sebelumnya.
"Xyon..." bisiknya pada keheningan kamar, "apa yang telah kulakukan padamu di masa lalu? Mengapa semua orang membenciku karena dirimu?"
Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menemaninya, bersama dengan rasa sakit dan kebingungan yang semakin dalam. Xienna memeluk lututnya, membiarkan air mata kembali mengalir dalam diam. Kini ia mengerti, terkadang sangkar emas lebih baik daripada kebebasan yang menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...