Gerakan samar jari-jari Xienna membuat jantung Xyon seolah berhenti berdetak. Namun harapan itu segera sirna saat menyadari bahwa itu hanyalah refleks tubuh semata - jiwa Xienna masih tertidur dalam, terkurung dalam kutukan yang menggerogotinya.
"Tidak..." bisik Xyon parau saat melihat lebam kebiruan mulai muncul di lengan dan sisi tubuh Xienna akibat benturan tadi. Setiap memar yang muncul di kulit pucat itu terasa seperti belati yang menghujam jantungnya.
"Maafkan aku," dia mengusap lembut area yang lebam, berharap sentuhannya bisa menghilangkan rasa sakit yang mungkin dirasakan Xienna. "Aku gagal melindungimu. Lagi."
Hari-hari berlalu dengan lambat. Xyon nyaris tak beranjak dari sisi Xienna, hanya meninggalkan kamar untuk urusan-urusan yang benar-benar mendesak. Setiap malam, dia berbaring di samping kekasihnya, membisikkan cerita-cerita tentang hari mereka dulu, berharap suaranya bisa mencapai kesadaran Xienna yang terperangkap.
Lima hari kemudian, musim dingin datang lebih awal dari yang diperkirakan. Angin dingin mulai berhembus kencang, membawa butiran salju pertama yang turun dengan lembut di halaman istana.
"Lihat, sayang," Xyon berdiri di dekat jendela kamar Xienna, memandang hamparan putih yang mulai menutupi taman. "Salju pertama tahun ini. Kau selalu menyukai saat-saat seperti ini."
Dia berjalan kembali ke sisi ranjang, duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam tangan Xienna yang sedingin es. "Ingat tahun lalu? Kau memaksaku bermain perang bola salju denganmu. Kau bahkan menggunakan sihirmu untuk membuat bola salju mengejarku ke mana-mana."
Xyon tersenyum sedih mengingat tawa riang Xienna saat itu. "Lalu kau terpeleset dan jatuh, tapi bukannya kesakitan, kau malah tertawa lebih keras. Katamu wajah panikku saat itu sangat menggelikan."
Angin dingin berhembus masuk melalui celah jendela, membuat Xyon segera bangkit untuk menutupnya rapat-rapat. Dia kemudian menyalakan perapian dengan sihirnya, membuat api biru khas vampir menyala hangat.
"Kau pasti kedinginan," gumamnya, menarik selimut tebal tambahan dari lemari. Dengan hati-hati, dia menyelimuti tubuh Xienna, memastikan tak ada bagian yang terekspos udara dingin.
Ruby di leher Xienna masih tampak redup, tapi Xyon bersumpah kilaunya sedikit berbeda hari ini - seolah mencoba melawan dinginnya musim yang datang.
"Aku tahu kau masih berjuang di sana," Xyon berbisik, mengecup kening Xienna yang dingin. "Dan aku akan terus menunggumu, tak peduli berapa musim dingin yang harus kulalui."
Malam semakin larut, dan salju di luar turun semakin lebat. Xyon berbaring di samping Xienna, satu tangannya memeluk pinggang kekasihnya dengan protektif.
"Kau tahu apa yang paling kurindukan?" bisiknya sambil membelai rambut keemasan Xienna. "Caramu menghangatkanku di malam-malam dingin seperti ini. Kau selalu bilang bahwa pelukan adalah penghangat terbaik, lebih baik dari api perapian manapun."
Air mata menggenang di sudut mata Xyon saat mengingat kehangatan pelukan Xienna. "Sekarang giliranku yang menghangatkanmu, sayangku. Aku akan memastikan dingin ini tak menyentuhmu sedikitpun."
Di luar, badai salju mulai mengamuk, tapi Xyon tak bergeming dari posisinya. Dia terus memeluk Xienna, membisikkan kata-kata cinta dan janji-janji setia, berharap kehangatan cintanya bisa mencairkan es yang mengurung jiwa kekasihnya.
"Aku mencintaimu, Xienna," bisiknya sebelum mengecup lembut bibir dingin kekasihnya. "Selalu dan selamanya."
Malam itu, ditemani deru angin dan gemerisik api di perapian, Xyon tetap terjaga, matanya tak lepas dari wajah damai Xienna dan ruby redup di lehernya - seolah takut jika dia memejamkan mata barang sejenak, dia akan kehilangan satu-satunya orang yang dia cintai selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...