Pagi itu, Xienna terbangun dengan rasa lapar yang menggigit perutnya. Sinar matahari sudah tinggi di langit, menandakan ini sudah lewat dari jam sarapannya yang biasa.
'Aku butuh makan,' pikirnya, merasakan perutnya yang mulai protes. Biasanya Xyon selalu ada di sisinya, menyuapinya dengan telaten dan penuh kasih sayang. Tapi sekarang...
Ruby di lehernya berkedip lemah, mencerminkan kebingungannya. Para pelayan pasti ada di luar, siap membantu jika dipanggil. Tapi bagaimana caranya memanggil mereka ketika suaranya masih belum kembali?
Xienna mencoba menggerakkan tubuhnya, berharap bisa menciptakan suara dari gerakan di tempat tidur. Namun setelah usahanya kemarin untuk berjalan, tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya.
'Kumohon,' dia berdoa dalam hati, 'siapapun... tolong aku...'
Dia mencoba bersuara, tapi yang keluar hanya desahan lemah yang bahkan tidak bisa didengar oleh dirinya sendiri. Air mata frustrasi mulai menggenang di matanya yang setengah terbuka.
Ruby di lehernya berkedip lebih cepat, seolah mencoba meminta pertolongan. Tapi tidak ada yang bisa melihat sinyalnya dari balik pintu yang tertutup.
'Xyon...' batinnya memanggil nama kekasihnya. 'Andai kau di sini...'
Waktu berlalu dengan lambat. Perutnya semakin terasa sakit karena lapar, tenggorokannya kering membutuhkan air. Tapi dia hanya bisa berbaring di sana, merasa tak berdaya.
Xienna mencoba mengingat kata-kata Xyon sebelum pergi: "Sebut namaku..." Tapi bahkan untuk menyebut nama itu saja, dia tidak mampu.
Ruby di lehernya terus berkedip, memancarkan kecemasan dan kefrustrasian yang dia rasakan. Dia ingin menangis, tapi tau itu tidak akan membantu situasinya.
'Mungkin sebentar lagi,' dia mencoba menghibur diri. 'Mungkin ada pelayan yang akan mengecek keadaanku...'
Tapi menit demi menit berlalu, dan tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Xienna mulai merasa pusing karena belum makan dan minum sejak semalam.
Dia memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa lapar dan hausnya. Ruby di lehernya berkedip semakin lemah, tenaganya terkuras oleh kondisinya.
'Maafkan aku, Xyon,' batinnya. 'Aku masih terlalu lemah... masih terlalu bergantung padamu...'
Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Dia merasa begitu tidak berdaya, begitu frustasi dengan kondisinya sendiri.
Ruby di lehernya berkedip redup, seperti cahaya lilin yang hampir padam. Xienna hanya bisa berharap seseorang - siapapun - akan segera datang menolongnya.
Tapi untuk saat ini, yang bisa dia lakukan hanyalah berbaring di sana, sendirian dengan rasa lapar dan hausnya, menunggu pertolongan yang entah kapan akan datang.
'Ini akan berlalu,' dia mencoba meyakinkan dirinya. 'Semua ini akan berlalu...'
Dan ruby di lehernya terus berkedip lemah, seperti isyarat minta tolong yang tak tersampaikan, sementara matahari perlahan bergerak di langit, membawa serta waktu yang terasa begitu lambat berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...