Xienna menatap pantulan dirinya di cermin kamar yang sudah retak di bagian ujungnya. Rambut emasnya yang berkilau tertata rapi dalam kepangan sederhana, terlalu rapi hingga membuatnya terlihat kaku. Kacamata bulat tebal membingkai mata cahaya matahari yang indah, seolah menjadi tameng untuk menyembunyikan diri dari dunia.
"Aku masih tidak bisa mengingat apapun," bisiknya pada diri sendiri, jemarinya menyentuh cermin dengan lembut. Lima tahun telah berlalu sejak dia terbangun di rumah sakit tanpa ingatan tentang masa lalunya. Yang dia tahu hanyalah namanya - Xienna - dan fakta bahwa dia tinggal bersama sepasang orang tua yang tampaknya lebih tertarik pada prestasi akademik daripada kebahagiaan putri mereka.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke kamarnya. "Xienna! Kau sudah terlambat 10 menit dari jadwal biasanya!" Suara ibunya yang tajam menembus pintu kamar.
"I-iya, Bu. Maaf," jawabnya terbata, buru-buru menyambar tas sekolahnya yang sudah tertata rapi.
Di meja belajarnya, tersembunyi di balik tumpukan buku pelajaran biasa, ada beberapa buku advanced calculus dan jurnal penelitian quantum physics yang dia baca diam-diam setiap malam. Tidak ada yang tahu bahwa di balik penampilan cupu dan nilai rata-ratanya di sekolah, Xienna memiliki pemahaman mendalam tentang matematika dan sains yang bahkan melampaui guru-gurunya.
International High School of Excellence - sebuah sekolah elite dengan koridor-koridor marmer yang mengkilap dan siswa-siswa dari keluarga terpandang. Dan di sinilah Xienna berjalan setiap hari, seperti bayangan yang berusaha tak terlihat.
"Hei, lihat si kutu buku aneh itu," bisikan-bisikan mengikuti langkahnya.
"Katanya dia anak adopsi lho. Makanya orang tuanya tidak pernah muncul di acara sekolah."
"Masa? Pantas saja penampilannya seperti itu. Tidak cocok dengan standar sekolah kita."
Xienna menunduk, berpura-pura tidak mendengar. Tangannya menggenggam erat tali tasnya, buku-buku jarinya memutih. Di dalam tasnya, ada sebuah medali emas olimpiade matematika yang dia menangkan secara online dengan nama samaran - prestasi yang tak pernah dia berani ungkapkan.
Isabella Wong, sang ratu sekolah dengan rambut hitam berkilau dan make up sempurna, sengaja menyenggol bahu Xienna saat berpapasan. "Ups, maaf. Aku tidak melihatmu. Kau terlalu... tidak mencolok," ujarnya dengan tawa mengejek, diikuti kikikan teman-teman gengnya.
Xienna membuka pintu rumahnya dengan perlahan. Mansion mewah bergaya Victoria itu sepi seperti biasa. Lantai marmer yang dingin dan dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik mahal seolah mengejek kesendiriannya.
"Aku pulang," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tak ada jawaban, tentu saja. Ayahnya, Mr. Laurent, pasti masih di kantornya sebagai CEO perusahaan multinasional. Sedangkan ibunya mungkin sedang menghadiri salah satu acara sosialita yang tak terhitung jumlahnya.
Di atas meja makan marmer hitam, sebuah notes ditinggalkan dengan tulisan rapi ibunya:
"Nilai ujian matematikamu semester lalu hanya 85. Tidak bisa diterima. Mulai besok les tambahan setiap Selasa dan Kamis. Tidak ada bantahan.
- Mom"Xienna tersenyum getir. Jika saja ibunya tahu bahwa dia sengaja menjawab beberapa soal dengan salah. Jika saja mereka tahu bahwa putri mereka bisa menyelesaikan soal-soal olimpiade internasional dalam hitungan menit.
Malam itu, seperti biasa, Xienna menyelinap ke perpustakaan pribadi ayahnya setelah memastikan para pembantu sudah tidur. Di antara rak-rak tinggi berisi buku-buku bisnis dan literatur klasik, ada sebuah ruangan tersembunyi di balik rak yang bergeser.
Ini adalah sanctuary-nya. Sebuah ruangan kecil yang dia temukan setahun lalu, yang telah dia sulap menjadi laboratorium pribadinya. Laptop canggih yang dia beli dari hasil memenangkan kompetisi online berkedip dalam kegelapan. Di layarnya terpampang sebuah forum fisika kuantum dimana dia dikenal sebagai "GoldenPhoenix" - salah satu kontributor paling dihormati.
"Selamat malam, Professor Anderson," Xienna mengetik balasan untuk sebuah diskusi tentang teori string. Tak ada yang tahu bahwa partner diskusi mereka yang brilian adalah seorang gadis SMA berusia 17 tahun.
Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang aneh di antara dokumen-dokumen lama di sudut ruangan. Sebuah amplop kusam dengan cap sebuah laboratorium penelitian. Tangannya gemetar saat membuka amplop itu.
"Subjek X-001: Hasil Tes DNA menunjukkan..."
Belum sempat dia membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari perpustakaan. Dengan cepat dia melipat kertas itu dan menyelipkannya ke saku, mematikan laptop, dan bergegas keluar dari ruangan rahasia.
Keesokan harinya, kelas 11-A kedatangan murid baru. Alexander Chen - pemuda dengan rambut hitam berantakan dan mata tajam yang entah mengapa terasa familiar bagi Xienna.
"Kau bisa duduk di sebelah Xienna," kata Mrs. Peterson, menunjuk bangku kosong di samping Xienna yang memang selalu kosong.
Alex - seperti yang dia minta dipanggil - tersenyum pada Xienna. Bukan senyum mengejek seperti yang biasa dia terima, tapi senyum yang terasa... mengetahui sesuatu.
"Sudah lama tidak bertemu, Phoenix," bisiknya pelan saat duduk, membuat Xienna hampir menjatuhkan pensilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...