Ruang strategi istana dipenuhi peta-peta dan rencana penyerangan. Luna berdiri di samping Axel, menunjukkan lokasi tepatnya markas Shadowmere yang tersembunyi di pegunungan berkabut.
"Mereka memiliki penghalang sihir," Luna menjelaskan, jarinya menelusuri garis-garis di peta. "Tapi aku bisa mematahkannya. Itu... itu alasan mereka memilihku untuk tugas ini."
"Sudah berapa lama mereka menahan adikmu?" tanya Axel lembut, menyadari tangan Luna yang gemetar saat menjelaskan.
"Dua bulan," Luna menahan isak. "Mereka datang di malam bulan baru. Lily... dia hanya berusia 16 tahun. Dia bahkan belum menguasai sihirnya sepenuhnya."
Xyon yang berdiri di sudut ruangan, mengamati interaksi mereka dengan senyum tipis. Ia melihat bagaimana putranya secara naluriah selalu berusaha menenangkan Luna.
"Kita akan menyerang dari tiga arah," Axel menjelaskan pada para komandan pasukan elitenya. "Tim utama akan menyerang dari depan sebagai pengalihan. Tim kedua akan masuk melalui terowongan bawah tanah yang ditunjukkan Luna. Dan tim ketiga..."
"Tim ketiga akan terdiri dari kita bertiga," Xyon melangkah maju. "Aku, Axel, dan Luna akan masuk melalui celah di penghalang sihir untuk mencari Lily."
"Yang Mulia," salah satu komandan bersuara ragu, "membawa gadis ini dalam misi berbahaya... bagaimana jika ini jebakan?"
Luna menunduk, rasa bersalah kembali menghantamnya. Tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, Axel sudah berdiri di depannya, melindunginya.
"Aku mempercayainya dengan nyawaku," kata Axel tegas. "Dan siapapun yang meragukan keputusanku, bisa keluar dari ruangan ini sekarang."
Menjelang tengah malam, ketiga tim bersiap di posisi masing-masing. Luna mengenakan jubah tempur yang dipinjamkan dari gudang persenjataan istana - jubah yang dulunya milik Ratu Xienna.
"Jubah ini..." Luna menyentuh bordiran mawar perak di lengannya.
"Cocok untukmu," Axel tersenyum, mengencangkan sabuk pedangnya. "Ibuku akan senang melihatnya digunakan untuk menyelamatkan nyawa yang tak berdosa."
Di ruang persenjataan, saat semua orang sibuk dengan persiapan terakhir, Luna menarik Axel ke sudut yang sepi.
"Kenapa?" bisiknya. "Kenapa kau begitu baik padaku? Aku hampir membunuhmu..."
Axel menatap mata violet itu dalam-dalam. "Karena aku melihat ketulusan di matamu. Bahkan saat mengangkat belati itu, tanganmu gemetar. Kau bukan pembunuh, Luna. Kau hanya kakak yang berusaha menyelamatkan adiknya."
"Tapi aku penyihir," Luna menggeleng. "Dan kau... kau Kaisar Vampir. Kita..."
"Ibuku juga penyihir," Axel menyentuh pipi Luna lembut. "Dan dia menjadi ratu terhebat yang pernah dimiliki kerajaan ini. Jangan biarkan siapapun mengatakan kau tidak layak berada di sini."
Air mata Luna mengalir. "Jika... jika sesuatu terjadi padamu karena aku..."
"Tidak akan," Axel menggenggam tangan Luna. "Kita akan menyelamatkan Lily. Dan setelah ini semua selesai... mungkin kita bisa memulai sesuatu yang baru."
Bulan telah mencapai puncaknya. Xyon memberi isyarat pada pasukan pertama untuk mulai bergerak.
"Luna," ia memanggil gadis itu. "Kau siap?"
Luna mengangguk, tangannya menggenggam erat tongkat sihirnya. Di sampingnya, Axel berdiri tegap, pedang vampirnya berkilau ditimpa cahaya bulan.
"Untuk Lily," bisik Luna.
"Untuk kerajaan," tambah Axel.
"Untuk masa depan," Xyon tersenyum, melihat bagaimana tangan putranya dan Luna tanpa sadar saling bertaut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...