"Xienna!" Nathan berlari menyusul Xienna di koridor sekolah keesokan harinya. "Aku... aku menemukan sesuatu."
"Ada apa?" Xienna menghentikan langkahnya, masih memikirkan suara Aaron yang terus menghantuinya.
Nathan menarik nafas dalam. "Tentang Vincent. Aku... aku berhasil melacak rumah sakit tempatnya dirawat."
"Benarkah?" Xienna terkejut. Selama ini tidak ada yang tahu di mana Vincent berada.
"St. Mary Hospital, kamar VIP lantai 12," Nathan menunjukkan sebuah catatan di ponselnya. "Aku... aku punya firasat buruk tentang semua ini. Kita harus ke sana sekarang."
Di ruang kendali pribadinya, V mengamati CCTV sekolah. Dia melihat Nathan berbicara dengan Xienna dengan gestur tergesa.
"Alex," panggilnya cepat. "Mereka bergerak lebih cepat dari perkiraan. Aktifkan rencana B."
"Baik, Tuan. Semuanya sudah disiapkan di St. Mary."
V melepas topeng peraknya, bergegas mengganti pakaiannya. "Sempurna. Saatnya pertunjukan dimulai."
Di dalam taksi menuju St. Mary Hospital, Nathan menjelaskan teorinya pada Xienna.
"Tidakkah kau merasa ada yang aneh? Vincent menghilang tepat sebelum Aaron mulai muncul di publik lebih sering. Dan cara mereka berbicara..."
"Nathan," Xienna memotong, "apa yang sebenarnya kau curigai?"
"Aku pikir... Vincent dan Aaron mungkin orang yang sama."
Xienna terdiam. Puzzle di kepalanya mulai tersusun: suara familiar Aaron, cara bicaranya yang mirip Vincent, bahkan referensi-referensi yang dia gunakan...
St. Mary Hospital menjulang di hadapan mereka. Nathan dan Xienna bergegas ke resepsionis.
"Kamar Vincent Frost?" tanya Nathan.
"VIP 1204," jawab resepsionis setelah mengecek komputer. "Tapi jam besuk..."
Nathan sudah menarik Xienna ke lift sebelum resepsionis menyelesaikan kalimatnya.
Sementara itu, di kamar 1204...
V berbaring di ranjang rumah sakit, make up pucat sempurna di wajahnya, selang infus terpasang dengan rapi. Dia tersenyum tipis mendengar langkah tergesa di koridor.
"Tuan," Alex berbisik dari sudut ruangan. "Mereka datang."
"Perfect timing," V memejamkan mata, bersiap dengan aktingnya.
Pintu terbuka. Nathan dan Xienna masuk dengan nafas terengah.
"Vincent...senpai?" Xienna memanggil pelan.
V membuka mata perlahan, tampak lemah. "Ah... Xienna? Nathan? Kalian... datang menjenguk?"
Nathan mengamati Vincent dengan seksama. Tidak ada jejak Aaron Wintergale di sini - hanya seorang siswa yang terbaring sakit.
"Maaf tidak memberi kabar," V melanjutkan dengan suara lemah. "Dokter bilang aku butuh istirahat total..."
"Kami... khawatir," Xienna melangkah mendekat. Ada simpati di matanya - tepat seperti yang V harapkan.
Nathan masih berdiri di ambang pintu, otaknya berkecamuk. Semuanya tampak nyata - terlalu nyata.
"Terima kasih sudah datang," V tersenyum lemah. "Tapi aku rasa aku butuh istirahat lagi..."
"Tentu," Xienna mengangguk. "Kami akan datang lagi besok."
Di luar kamar, Nathan masih tampak tidak puas.
"Tapi... tapi aku yakin..." dia bergumam.
"Nathan," Xienna menyentuh lengannya. "Kurasa kau terlalu lelah. Lihat, Vincent jelas sedang sakit. Tidak mungkin dia Aaron..."
Di dalam kamar, V membuka mata, senyum dingin tersungging di bibirnya.
"Bagaimana aktingku, Alex?"
"Sempurna seperti biasa, Tuan."
V melepas selang infus dengan hati-hati. "Nathan Pierce... kau memang cerdas. Tapi sayangnya, aku selalu selangkah di depanmu."
Minggu berikutnya, V memainkan perannya dengan presisi absolut. Sebagai Vincent yang "masih dalam pemulihan", dia mulai masuk sekolah secara bertahap, tampak lebih pucat dan lemah dari biasanya.
"Vincent, apa tidak apa-apa sudah masuk sekolah?" tanya seorang siswi dengan khawatir.
V tersenyum lemah, tangannya yang "gemetar" memegang meja untuk topangan. "Dokter bilang aku butuh adaptasi perlahan. Lagipula... aku tidak ingin ketinggalan pelajaran terlalu banyak."
Para siswi menjerit tertahan melihat sosok idola mereka yang tampak rapuh namun tetap berdedikasi. Bahkan beberapa guru memberi kelonggaran khusus padanya.
Sementara itu, sebagai Aaron, dia tetap menjalankan program mentoring untuk Xienna - melalui video conference tentunya, dengan alasan kesibukan.
"Bagaimana kabar Vincent?" tanya Aaron/V di salah satu sesi mentoring. "Kudengar dia baru keluar dari rumah sakit."
Xienna tampak terkejut. "Anda tahu tentang Vincent?"
"Tentu saja," Aaron terkekeh di balik topeng peraknya. "Aku selalu memperhatikan siswa-siswa berbakat di Excellence High School."
Di sisi lain, Nathan semakin frustasi. Setiap bukti yang dia temukan selalu berakhir buntu. Vincent benar-benar tampak sakit, dengan rekam medis lengkap di St. Mary Hospital. Aaron tetap sibuk dengan jadwal CEO-nya yang padat.
"Tapi tetap saja..." gumam Nathan sambil memandangi foto-foto yang dia kumpulkan. "Ada sesuatu yang tidak beres..."
Suatu sore di ruang OSIS...
"Vincent!" Xienna terkejut melihat V yang bersandar lemah di kursi. "Kau tidak apa-apa?"
"Ah, Xienna..." V tersenyum, sengaja membuat suaranya terdengar serak. "Maaf, sepertinya aku terlalu memaksakan diri hari ini..."
Xienna bergegas mendekat, meletakkan tangannya di bahu Vincent. "Kau masih pucat. Haruskah kupanggil petugas UKS?"
"Tidak perlu," V menggenggam tangan Xienna lembut. "Hanya... bisakah kau temani aku sebentar?"
Jantung Xienna berdebar. Ada sesuatu dalam sentuhan Vincent yang terasa... familiar.
"Bagaimana program mentoringmu dengan Mr. Wintergale?" tanya V pelan.
"Baik... dia... dia mentor yang luar biasa," Xienna menjawab, masih merasakan kehangatan tangan Vincent.
V tersenyum dalam hati. Semua berjalan sesuai rencana. Sebagai Vincent, dia mulai membangun kedekatan fisik yang 'tidak sengaja' dengan Xienna. Sebagai Aaron, dia memberinya bimbingan intelektual. Dan sebagai Shadows_Whisper... Tentunya, dia tetap menjadi tempat curhat favoritnya.
"Kau tahu," V berbisik, sengaja membuat suaranya mirip dengan nada bicara Aaron. "Aku sangat mengagumi determinasimu, Xienna..."
Xienna membeku. Kata-kata itu... nada itu...
Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, V "terbatuk" pelan, mengalihkan perhatiannya.
"Maaf," V tersenyum lemah. "Sepertinya aku benar-benar harus istirahat sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...