Di ruang rumah sakit yang serba putih, Nathan terbaring lemah dengan infus di tangannya. Xienna duduk di samping tempat tidurnya, matanya penuh kekhawatiran."Nathan," Xienna menggenggam tangan sahabatnya yang dingin. "Apa yang sebenarnya terjadi? Dokter bilang kau mengalami kelelahan ekstrem dan... tekanan mental?"
Nathan menatap langit-langit, mencoba menghindari tatapan Xienna. Tapi genggaman tangan gadis itu terasa begitu menenangkan.
"Aku..." Nathan menelan ludah. "Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, Xienna. Semua terlalu... sempurna untuk jadi kebetulan."
"Tentang Kaito Suzuki?" Xienna bertanya lembut.
Nathan mengangguk lemah. "Bukan hanya dia. Vincent, Aaron Wintergale, dan sekarang Kaito Suzuki... mereka semua... ada sesuatu yang..."
"Nathan," Xienna mengeratkan genggamannya. "Kau bisa cerita apa saja padaku. Aku tidak akan menghakimimu."
Tepat saat Nathan hendak membuka mulutnya, pintu ruangan terbuka. Ibu Nathan masuk dengan beberapa kotak hadiah mewah di tangannya.
"Sayang, lihat apa yang datang untukmu," ibunya tersenyum, meletakkan kotak-kotak itu di meja. "Tidak ada nama pengirimnya..."
Nathan menatap kotak-kotak itu dengan pandangan kosong. Entah mengapa, hal ini justru membuat kepalanya semakin berat.
Tiga hari berlalu. Nathan masih terbaring di rumah sakit, sementara Xienna harus membagi waktunya antara sekolah, les, dan menjenguk sahabatnya.
"Xienna," suara familiar itu menghentikan langkah Xienna di koridor sekolah. Vincent berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aku dengar Pierce masih di rumah sakit..."
"Ya, Vincent."
"Bolehkah... bolehkah aku ikut menjenguknya? Aku sangat mengkhawatirkannya."
Xienna menatap wajah Vincent yang tampak tulus. "Tentu."
Di rumah sakit, Nathan sedang menatap keluar jendela ketika mendengar langkah kaki mendekat. Dia menoleh, dan matanya langsung menangkap sosok yang berdiri di samping Xienna di depan pintu.
"Tidak," kata Nathan dengan suara dingin. "Xienna, masuk sendiri."
Xienna masuk dengan ragu. "Nathan, itu Vincent. Dia sangat mengkhawatirkanmu..."
Nathan menggeretakkan giginya. "Suruh dia pergi."
"Tapi Nathan..."
"SURUH DIA PERGI!" Nathan nyaris berteriak, membuat Xienna terlonjak.
Dengan berat hati, Xienna keluar dan mendekati Vincent yang masih menunggu.
"Maaf, vincent... Nathan tidak..."
"Pierce," Vincent berbicara ke arah pintu yang tertutup. "Aku minta maaf jika kehadiranku mengganggumu. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja..."
Hening. Tidak ada jawaban.
"Kumohon," Vincent melanjutkan. "Izinkan aku menjengukmu..."
Masih hening. Xienna bisa melihat ketegangan di wajah Vincent.
Di dalam kamar, Nathan mencengkeram selimutnya erat-erat. Suara itu... suara yang sama dengan Kaito Suzuki, dengan Aaron Wintergale...
'Tidak,' batinnya. 'Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkanku lagi.'
"Vincent," Xienna akhirnya berbicara lembut. "Mungkin sebaiknya kita pergi dulu. Nathan masih butuh istirahat..."
Vincent mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada pintu. "Sampaikan padanya... aku berharap dia cepat sembuh."
Setelah Vincent pergi, Xienna kembali masuk ke kamar Nathan. Dia menemukan sahabatnya itu gemetar.
"Nathan..."
"Kau tidak mengerti, Xienna," suara Nathan bergetar. "Dia... dia bukan siapa yang kau pikir."
Xienna duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan Nathan yang dingin. "Kalau begitu, buat aku mengerti. Ceritakan semuanya padaku."
Di luar rumah sakit, V berdiri menatap jendela kamar Nathan. Seringai tipis muncul di wajahnya.
"Bagaimana keadaannya, Tuan?" tanya Alex melalui earpiece.
"Tepat seperti yang direncanakan," V menjawab pelan. "Biarkan dia tenggelam dalam ketakutannya sendiri. Semakin dia mencoba menjelaskan, semakin tidak masuk akal dia akan terdengar."
"Nathan?" Xienna menunggu dengan sabar.
Nathan menggeleng pelan. Bayangan tentang kekuasaan dan kekayaan Wintergale Corp berkelebat di benaknya. Satu kata salah, satu tuduhan tanpa bukti, dan seluruh keluarganya bisa hancur dalam sekejap.
"Maaf, Xienna," suaranya serak. "Aku... aku ingin istirahat."
Xienna menghela napas, tapi mengerti. "Baiklah. Istirahatlah." Dia mengusap lembut tangan sahabatnya sebelum beranjak pergi.
Di kantornya yang mewah, Aaron berdiri menatap kota dari jendela lantai teratas gedung Wintergale Corp. Dia baru saja melepas topeng peraknya.
"Tuan," Alex melaporkan. "Pierce masih di rumah sakit. Kondisinya stabil tapi..."
"Biarkan dia istirahat," Aaron memotong dengan suara dingin. "Kita tunda permainan ini. Biarkan dia merasa aman... untuk sementara."
"Baik, Tuan."
Sementara itu, di sekolah, sosok Vincent tetap aktif dalam berbagai kegiatan OSIS. Tapi ada yang berbeda. Senyum hangatnya mulai berkurang, digantikan oleh tatapan dingin dan sikap yang lebih tegas.
"Vincent," salah satu anggota OSIS memanggilnya saat rapat. "Tentang festival sekolah..."
"Lakukan sesuai rencana," Vincent menjawab tanpa mengangkat wajah dari dokumen di tangannya. Suaranya mengandung otoritas yang membuat ruangan itu hening seketika.
Di tengah rapat, tiba-tiba Vincent mencengkeram dadanya, wajahnya memucat.
"Vincent!" beberapa siswa bergegas menghampiri.
"Aku... baik-baik saja," dia tersenyum lemah, mengatur napasnya. "Hanya... kambuh lagi."
Semua orang menatapnya dengan simpati dan khawatir. Tidak ada yang menyadari kilat dingin di matanya saat dia 'kesakitan'.
"Mungkin sebaiknya kau istirahat," usul wakil ketua OSIS.
"Tidak," Vincent berdiri tegak, masih memegang dadanya. "Ada banyak yang harus dikerjakan."
Sikapnya yang keras kepala namun dedicated membuat semua orang semakin mengaguminya. Tidak ada yang menyadari bahwa ini hanyalah satu babak dari drama panjang yang dia mainkan.
Di rumah sakit, Nathan menatap kosong ke luar jendela. Dia tahu Aaron di luar sana, mungkin sedang tertawa melihat kondisinya sekarang. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Melawan seseorang sekuat Aaron Wintergale sama saja dengan menantang badai dengan payung kertas.
"Maafkan aku, Xienna," bisiknya pada keheningan. "Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui."
Di gedung Wintergale Corp, Aaron membuka laptop-nya, melihat laporan tentang kondisi Nathan.
"Sepertinya dia mulai mengerti posisinya," gumamnya puas. "Bagus. Biarkan dia merasakan betapa tidak berdayanya dia."
Alex yang berdiri di sampingnya bertanya hati-hati, "Sampai kapan kita akan menunda permainan ini, Tuan?"
Aaron tersenyum dingin. "Sampai dia benar-benar merasa aman. Sampai dia mulai melupakan ketakutannya." Dia menutup laptop dengan suara pelan. "Dan kemudian... kita akan mengingatkannya lagi bahwa dia tidak pernah benar-benar bebas dari permainan ini."
Di sekolah, Vincent berjalan di koridor dengan langkah tegap, mengabaikan bisikan-bisikan khawatir tentang kondisi kesehatannya. Di balik topeng kepeduliannya, dia menyimpan senyum dingin, menikmati setiap momen dari pertunjukan sempurnanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi sang vampir
RomancePertemuan Takdir yang Gelap Dalam keheningan malam yang mencekam, istana Kekaisaran Veliau dipenuhi dengan cahaya lilin dan tawa merdu para tamu undangan. Di tengah keramaian itu, seorang gadis kecil berambut pirang keemasan dan mata sebening rubi...