Bab 119 : Masa Lalu Ibu Axel

3 0 0
                                    

Axel menunduk, jemarinya meremas jubah hitamnya. Air mata darah masih mengalir di pipinya saat ia berbisik dengan suara bergetar, "Papa... mungkin sebaiknya aku tidak usah lahir saja..."

Xyon tersentak. "Axel!"

"Kalau aku tidak lahir," Axel melanjutkan, suaranya pecah oleh isakan, "Mama masih bisa hidup bahagia bersama Papa selamanya... Aku... akulah penyebab kematian Mama..."

GREP!

Xyon menarik Axel ke dalam pelukannya, erat sekali. "Jangan pernah," bisiknya dengan suara bergetar, "jangan pernah berpikir seperti itu, Axel. Kau adalah anugerah terbesar dalam hidup kami."

"Tapi Papa—"

"Dengarkan Papa," Xyon berlutut, menyamakan tingginya dengan Axel. Tangannya menggenggam bahu putranya erat. "Ada sesuatu yang belum pernah Papa ceritakan padamu. Tentang Mama... dan tentang bagaimana cinta kami mengalahkan kematian itu sendiri."

Axel mengangkat wajahnya, mata merahnya yang basah menatap ayahnya penuh tanya.

"Mamamu," Xyon memulai, suaranya berat oleh emosi, "sebenarnya sudah meninggal sebelum kami menikah."

"A-apa?" Axel terkesiap.

Xyon mengangguk perlahan. "Ada sebuah kejadian... sesuatu yang sangat menyakitkan yang tidak bisa Papa ceritakan sekarang. Kejadian yang merenggut nyawa Mamamu. Tapi Papa... Papa tidak bisa menerima kepergiannya."

Xyon berjalan ke arah lemari besar di sudut ruangan, membukanya dan mengeluarkan sebuah album lukisan tua. "Lihat ini."

Halaman pertama album itu menampilkan lukisan pernikahan mereka. Xienna tampak cantik dalam gaun hitamnya, tapi Axel bisa melihat sesuatu yang berbeda - kulit ibunya terlalu pucat, matanya tertutup seolah tertidur.

"Papa menikahi Mama... dalam keadaan seperti itu?"

"Ya," Xyon tersenyum sedih. "Para tetua kerajaan menentang keras. Mereka bilang aku sudah gila, menikahi seorang mayat. Tapi Papa tidak peduli. Papa ingin membuktikan bahwa cinta kami lebih kuat dari kematian itu sendiri."

"Dan kemudian?"

"Kemudian terjadilah keajaiban," Xyon membuka halaman berikutnya, menunjukkan lukisan-lukisan setelah pernikahan. "Cinta Papa pada Mama, dan cinta Mama yang masih tersisa dalam tubuhnya yang telah mati, menciptakan keajaiban. Kau, Axel."

Xyon melanjutkan, "Jiwa Mama yang masih terikat oleh cinta kami, bersama dengan kekuatan vampir Papa, menciptakan kehidupan baru dalam rahimnya. Kau tumbuh di sana, dalam tubuh Mama yang seharusnya tidak bisa mengandung lagi."

"Tapi... bagaimana mungkin?"

"Para penyihir menyebutnya 'Keajaiban Cinta Yang Mengalahkan Kematian'," Xyon tersenyum, membelai rambut Axel. "Selama sembilan bulan, tubuh Mama yang telah mati perlahan-lahan menghangat, dipenuhi kehidupan karena kehadiranmu."

Air mata kembali mengalir di pipi Xyon saat ia melanjutkan, "Dan saat kau lahir... saat Air Mata Phoenix memberi Mama kesempatan kedua untuk hidup sebentar... dia sangat bahagia, Axel. Sangat, sangat bahagia."

"Benarkah?" bisik Axel.

"Ya," Xyon mengangguk mantap. "Kata-kata terakhir Mama sebelum pergi adalah ucapan terima kasih. Terima kasih karena telah memberinya kesempatan untuk merasakan keajaiban menjadi seorang ibu, meski hanya sebentar."

Axel terisak dalam pelukan ayahnya. "Papa... maafkan aku... maaf sudah berpikir tidak seharusnya aku lahir..."

"Ssh," Xyon mengusap air mata putranya. "Kau adalah bukti bahwa cinta sejati bisa mengalahkan apapun, bahkan kematian. Kau adalah keajaiban yang lahir dari cinta Papa dan Mama yang abadi."

"Tapi kenapa... kenapa Papa tidak pernah mau menceritakan ini sebelumnya?"

Xyon menghela napas panjang. "Karena Papa takut... takut kau akan membenci dirimu sendiri jika tahu kebenaran ini. Tapi sekarang Papa sadar, kau berhak tahu betapa berharganya dirimu bagi kami."

"Papa..."

"Kau tahu kenapa Papa memberimu nama Axel?" Xyon tersenyum, menghapus air mata di pipi putranya. "Axel berarti 'sumber kehidupan'. Karena kaulah yang memberi kehidupan pada kami - pada Papa yang hampir gila karena kehilangan Mama, dan pada tubuh Mama yang telah mati. Kehadiranmu adalah mukjizat terbesar dalam hidup kami."

Untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, Axel tersenyum. Senyum yang sangat mirip dengan senyum Xienna - lembut dan penuh kehangatan.

"Papa berjanji," Xyon memeluk putranya erat, "suatu hari nanti, saat kau sudah lebih dewasa, Papa akan menceritakan semuanya. Tentang bagaimana Papa bertemu Mama, tentang apa yang terjadi padanya, dan tentang cinta kami yang mengalahkan takdir itu sendiri."

"Aku akan menunggu saat itu, Papa," bisik Axel. "Dan aku berjanji akan menjadi anak yang bisa membuat Papa dan Mama bangga."

"Kau sudah membuat kami sangat bangga, Nak," Xyon mencium kening putranya. "Sangat bangga."

Di luar jendela, bunga-bunga mawar merah di taman bergoyang lembut tertiup angin, seolah Xienna sedang tersenyum menyaksikan momen hangat antara suami dan putra yang sangat dicintainya.

Obsesi sang vampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang